Sastra Jawa Modern Pra kemerdekaan
Kesusastraan
berasal dari kata dasar sastra. Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu “sas” yang artinya mengajar dan “tra” yang artinya alat. Oleh karena itu
sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar. Contoh: buku, pena, dan
tulisan. Adapun kesusastraan bermakna: alat untuk mengajarkan ilmu dan buah
karya yang disusun dengan bahasa yang baik. Adapun bentuk kesusastraan ada dua,
yaitu: kesusastraan lesan yang berwujud dongeng, syair, puisi, peribahasa, dan
lain-lain. Lalu ada kesusastraan tulis yang berwujud novel, naskah, babad, dan
juga puisi, syair, dan lain-lain yang sudah ditulis.
Periode dan Karya Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan
Pujangga adalah
predikat yang diberikan kepada seseorang yang telah menciptakan atau menggubah
suatu karya satra. Pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, Pujangga memperoleh
julukan Empu, sedangkan pada zaman Jawa-Islam, pujangga memperoleh julukan
Kyai. Itu sebabnya, mengapa dikenal nama Empu Tantular, Empu Prapanca, Empu
Seda dan Empu-empu yang lainnya. Dikenal pula nama Kyai Jasadipura dan Kyai
Ranggawarsito. Sebutan-sebutan Empu dan Kyai pada hakikatnya menyimpan konvensi
yang aktual dan berlaku pada era zaman masing-masing. Perjalanan sastra Jawa
yang berlangsung sangat panjang telah banyak diwarnai oleh pengaruh-pengaruh
budaya asing yang datang ke tanah Jawa.
Pengaruh budaya
luar yang paling menonjol dan turut mewarnai adalah budaya Hindu dari India,
yaitu pada zaman Renaisan Jawa I antara abad VIII sampai abad XV (masa Jawa
Budha dan Jawa Hindu); dan budaya Islam dari Arab, pada zaman Renaisan Jawa II
antara abad XVI sampai awal abad XX. Pengaruh sastra Hindu dari India terhadap
karya sastra Jawa ditandai dengan munculnya karya sastra Jawa kekawin dan
kitab-kitab parwa. Karya ini banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta.
Akibatnya, banyak karya sastra Jawa itu memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India
menilai kitab-kitab Hindu itu suci karena berisi ajaran religius seperti kitab
Ramayana dan Mahabarata, mereka juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga
berlaku pada masyarakat Jawa. Bahkan penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan
penghormatan terhadap karya-karya tersebut.
Sementara itu,
menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 sampai dengan
abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas, sehingga muncullah karya-karya
sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa yang asalnya dari karya Kakawin
menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Pada era
selanjutnya, aspek historis dalam sastra Jawa semakin kuat dengan munculnya
karya-karya babad (sastra sejarah) yang muncul pada pertengahan abad ke-17.
Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19, sejak kepujanggaan Yasadipura hingga
Ronggowarsito kebanyakan berupa manuskrip. Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa
memasuki babakan baru sebagai pengaruh akibat budaya barat yang mana berakibat
munculnya karya sastra modern dari berbagai jenis sastra atau genre sastra.
Pengaruh
tersebut bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan Eropa terhadap masyarakat
Jawa. Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru
seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro, Mas Reksatanaya, dan Mas
Prawirasudirya. Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan
para siswa sekolah. Sedangkan pada awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak
yang berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi tersebut masih terkesan mengutamakan
pesan-pesan pendidikan. Pada abad itu pula balai pustaka juga menerbitkan
karya sastra dari kalangan non guru yang biasanya ditulis oleh pegawai pamong
praja yang karyanya antara lain, Serat Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja
(Samuel Martaatmaja), Kartimaya (Adisusastra), Isin Ngaku Bapa
(Prawirasudirja), dan Darma Sanyata (Raden Ngabei Kartasiswaya). Sastra Jawa
modern periode 1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah
dengan periode sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa
pertumbuhan genre Barat ke dalam Sastra Jawa.
Menurut Rass
genre barat masuk kedalam sastra jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa
kedalam masyarakat Jawa. Selain itu pemerintah kolonial secara perlahan-lahan
berusaha mewujudkan sastra-sastra Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni
pemerintah maupun swasta. Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha
menyediakan bahan bacaan dan pengembangan sastra Jawa. Sastra Jawa sejak tahun
1920 sampai dengan perang kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan
pengaruh dari sastra barat dalam bentuk pengenalan genre baru.
Karya Sastra
Jawa Pada masa Hindu Budha, para raja memiliki hak-hak istimewa dalam pembinaan
kesenian. Dari awal masa itu sampai dengan awal Majapahit, kesusastraan
berbentuk kekawin, dimana kekawin tersebut hanya dihasilkan oleh raja-raja
istana dan rumit. Contoh kekawin yang terkenal pada masa itu adalahRamayana,
Kresnaya, Arjunawiwaha, Gatotkacasraya, Smaradahana, Sutasoma,
Bharatayudha, Arjunawijaya.
Keterkaitan
raja dengan karya-karya sastra tersebut dapat diketahui dari ada tidaknya
ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada raja yang tertulis di dalam
karya-karya itu sendiri. Peranan istana raja dalam pembinaan seni suara dan
tari pun tersirat dari kutipan karyua-karya sastra sejaman yang menceritakan
betapa penyanyi dan penari yang baik diberi hadiah-hadiah berupa kain, cincin
atau gelang oleh raja.
Keunggulan
putri-putri raja, bahkan raja sendiri dalam berolah seni diceritakan dalam
beberapa karya sastra masa Hindu Budha, baik yang berupa kekawin berbahasa Jawa
kuno maupun yang berupa kidung berbahasa Jawa pertengahan. Salah satu contohnya
adalah Hayam Wuruk dalam Negara Kertagama. Kemudian pada masa Islam,
keterkaitan antara agama Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang
bersifat imperatif moral atau mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa
baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk memberikan sarana
berbagai petunjuk atau nasehat yang secara substansial merupakan petunjuk atau
nasehat yang bersumber daripada ajaran Islam. Karya-karya sastra Jawa baru yang
sering digunakan para pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb.
Ranggawarsita dan Susuhunan Pakubuwono IV) memakai puisi (tembang / sekar
macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya.
Contoh
karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi Jawa baru: (1) Sri
Mangkunegara IV (serat-serat piwulang), karyanya antara lain Serat Warganya
(1784), memakai tembang dandanggula berisi 10 bait; Serat Wirawiyata, memakai
tembang sinom 42 bait dan tembang pangkur 14 bait; Serat Sriyatna, memakai
tembang dhandanggula 15 bait;Serat Nayakawara,memakai tembang pangkur 21 bait
dan tembang pangkur 12 bait; Serat Paliatma (1793), memakai tembang mijil 11
bait dan tembang pucung 11 bait; Serta Seloka Tama (1799), memakai tembang
mijil 31 bait; Serat Dharmalaksita (1807), memakai tembang dhandanggula 12
bait, tembang kinanthi 18 bait dan tembang mijil 8 bait; Tembang
Triparma,memakai tembang dhandanggula 7 bait dan tembang kinanthi 7 bait; Serat
Wedhatama, memakai tembang pucung 15 bait, gambuh 25 bait, pangkur 14 bait dan
sinom 18 bait. (2) karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita, antara lain Serat
Kalatidamemakai tembang sinom 2 bait; Serat Sabjatimemakai tembang megathruh 19
bait; Serat Wedharagamemakai tembang gambuh 38 bait, Serat Sandhatamamemakai
tembang gambuh 22 bait, (3) karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV, diantaranya
Sastra Wulangrehyang memakai tembang-tembang dhandanggula 18 bait, kinanthi 16
bait, gambuh 17 bait, pangkur 17 bait, maskumambang 34 bait, megatruh 17 bait,
durma 12 bait, wirangrong 27 bait, pucung 23 bait, asmaradhana 28 bait, sinom
33 bait dan girisa 12 bait.
Sementara itu
pada era modern, sebagaimana yang dijelaskan Linus dalam bukunya yang berjudul
Dari Pujangga ke Pengarang Jawa, para pengarang sastra Jawa modern tidak
berasal dari lingkungan kraton, bukan pula berdarah pujanga kraton, akan tetapi
berasal dari wilayah pedesaan Jawa. Sesuai dengan trend zaman, mereka pun
bergulat dalam kehidupan dan tantangan kongret, sehingga predikat yang tersemat
di bahunya lebih tepat bila disebut pengarang urban. Mereka tidak memakai
bahasa Sansekerta, tidak pula bahasa Jawa Kuna atau Jawa Kawi – bahkan huruf
yang dipakai untuk menulis pun bukan huruf Jawa melainkan huruf Latin. Karya
sastra yang muncul pada masa itu anara lain, Randha Guna Wacana karangan Surya
Wijaya, Misteri Omah Lawas dan Pingget-pingget Katresnan cerbung karangan
Mohammad Yamin, dan masih banyak lagi yang tidak bisa penulis
Ronggowarsito dan Karyanya
Masyarakat
Jawa, khususnya pecinta budaya Jawa, sudah tidak asing atas kebesaran nama
Raden Ngabei Ranggawarsita, seorang santri, ahli agama Islam, dan seorang
pujangga penulis. Ronggowarsito seorang tokoh penting dalam penggubahan karya
Jawa Kuno ke bahasa Jawa Baru. Ketika para Javanolog Belanda dan kaum bangsawan
Jawa merintis pembentukan Kebudayaan Klasik Jawa. Ronggowarsito adalah
narasumber bagi para Javanolog Belanda. Karena kepandaiannya ia diminta
Universitas Leiden untuk menjadi guru besar bahasa Jawa di universitas ini,
yang pada abad ke-19 sudah memiliki jurusan Javanologi. Namun Ronggowarsito
menolak.
Ronggowarsito
dikenal sebagai pujangga yang dengan sadar membuat jarak dengan pengetahuan dan
metode berpikir Barat. Pada masa kecilnya ia punya kesempatan untuk mengikuti
pendidikan sekolah formal pemerintah kolonial Belanda karena kedudukannya
sebagai bangsawan. Namun orang tua pujangga ini memilih pendidikan pesantren. Ronggowarsito
dikirim ke Pondok Gebang Tinatar yang dipimpin Kyai Imam Besari.
Ronggowarsito
pujangga keraton terakhir pada periode perkembangan sastra Jawa di mana keraton
masih menjadi pusat perkembangan. Sesudah masa Ronggowarsito sastra Jawa
memperlihatkan pergeseran. Pemerintah colonial Belanda memasukkan
prinsip-prinsip Barat ke berbagai institusi budaya pemerintah colonial yang
kemudian menyaingi peran keraton sebagai pusat perkembangan budaya.
Dalam serat
Sabdajati ada pesan Ranggawarsita yang sangat terkenal sebagai berikut.
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu hanglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah karsa Allah
Beja-bejane kang lali
Luwih beja kang eling lawan waspada
(Kalatidha, Sinom I/8)
Terjemahan:
Mengalami jaman
edan
Serba sulit
dalam pemikiran
Ikut menggila
tidak tahan
Tetapi kalau
tidak mengikuti
Aku mungkin
tidak mendapat
Kelaparan
akhirnya
Tetapi kehendak
Tuhan
Seberuntung-beruntungnya
orang yang lupa
Lebih beruntung
yang ingat dan waspada.
Penggambaran
keadaan zaman yang rusak, digambarkan dengan menggunakan pengimajian kata yaitu
dengan sebutan jaman edan. Maksud
tuturan jaman edan yaitu pada masa
itu semua orang sudah berbuat seperti orang gila, tidak mempunyai rasa malu,
semua hanya memikirkan kekayaan maupun kedudukan. Manusia yang selama t dari
kerusakan moral dalam jaman edan,
oleh Ranggawarsito dikonkritkan dengan kata-kata beja-bejane kang lali, luwih
beja kang eling lawan waspada “seberuntung-beruntungnya yang lupa, lebih beruntung
yang ingat dan waspada kepada Allah”. Itulah beberapa ajaran Islam yang termuat
dalam serat Kalatidha, karya dari Ranggawarsita.
Ronggowarsito
tercatat masih melakukan pembaruan sastra Jawa berdasarkan konsep-konsep lokal.
Namun ia menyerap pula tradisi Barat antara lain dengan menuliskan karya sastra
dalam bentuk prosa. Karena itu karya-karyanya menjadi salah satu corong sastra
Jawa pertama yang didengar oleh dunia. Sepeninggalan Ronggowarsito tidak ada
lagi pujangga yang terlihat mencolok sehingga sampai sekarang banyak yang
menyangka bahwa tidak ada lagi pujangga sastra Jawa di era modern sekarang ini.
Banyaknya penulis yang menghasilkan karya sastra Jawa sekarang ini rupanya
belum cukup untuk membuat karya-karya sastra Jawa dikenali oleh masyarakat
umum. Walaupun ini juga kesalahan dari masyarakat yang sekarang sulit sekali
membaca (minimnya budaya literasi), tetapi sebagai sastrawan kita juga harus
berperan aktif membangun masyarakat agar mempunyai minat baca yang tinggi.
Karya Sastra Jawa Pra Kemerdekaan di Beberapa Daerah
Seni sastra
pada masyarakat Bali biasanya ditulis pada batu, tembaga, logam, atau daun
lontar yang memakai bahasa Jawa Kuna dengan menggunakan Aksara Bali. Namun
sesuai perkembangan jaman dan akibat dari datangnya bangsa asing khususnya
Bangsa Belanda ke Indonesia, maka kertas mulai banyak dipergunakan untuk
menulis karya sastra. Walaupun dalam penulisan ini tetap menggunakan Bahasa
Jawa Kuna yang telah memakai aksara Latin.
Penulisan karya
sastra yang disebut naskah kuna pada masyarakat Bali dapat berupa catatan
sejarah yang menggambarkan kehidupan masyarakatnya sejak sebelum kemerdekaan.
Catatan kehidupan ini kemudian menjadi saksi bagi masyarakat generasi
penerusnya, karena di dalamnya terkandung banyak nilai-nilai kehidupan yang
luhur dan dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat serta
menjadi identitas diri bagi orang Bali. Isi dari naskah kuna ini seringkali
berkaitan erat dengan agama Hindu dan adat istiadat masyarakat Bali. Naskah
kuna Bali ada dalam bentuk yang bermacam-macam, diantaranya kakawin, geguritan,
dan kidung.
Sumber Referensi
Astuti, Renggo, dkk. 1998. Kajian Nilai
Budaya Naskah Kuna Kakawin Aji Palayon. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Ras, J.J. 1985. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Buku
OBOR.
Rochkyatmo, Amir. 1996/1997. Pelestarian
dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknik Menulis Aksara
Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Supangkat, Jim. 2006. Ikatan Silang
Budaya: Seni Serat Biranul Anas. Bandung: Art Fabrics.
ini (Bukan) Tokoh Sastra Jawa Pra Kemerdekaan
BalasHapusMasyarakat Jawa, khususnya pecinta budaya Jawa, sudah tidak asing atas kebesaran nama Raden Ngabei Ranggawarsita, seorang santri, ahli agama Islam, dan seorang pujangga penulis. Ronggowarsito seorang tokoh penting dalam penggubahan karya Jawa Kuno ke bahasa Jawa Baru. Ketika para Javanolog Belanda dan kaum bangsawan Jawa merintis pembentukan Kebudayaan Klasik Jawa. Ronggowarsito adalah narasumber bagi para Javanolog Belanda. Karena kepandaiannya ia diminta Universitas Leiden untuk menjadi guru besar bahasa Jawa di universitas ini, yang pada abad ke-19 sudah memiliki jurusan Javanologi. Namun Ronggowarsito menolak.
Ronggowarsito dikenal sebagai pujangga yang dengan sadar membuat jarak dengan pengetahuan dan metode berpikir Barat. Pada masa kecilnya ia punya kesempatan untuk mengikuti pendidikan sekolah formal pemerintah kolonial Belanda karena kedudukannya sebagai bangsawan. Namun orang tua pujangga ini memilih pendidikan pesantren. Ronggowarsito dikirim ke Pondok Gebang Tinatar yang dipimpin Kyai Imam Besari.
Ronggowarsito pujangga keraton terakhir pada periode perkembangan sastra Jawa di mana keraton masih menjadi pusat perkembangan. Sesudah masa Ronggowarsito sastra Jawa memperlihatkan pergeseran. Pemerintah colonial Belanda memasukkan prinsip-prinsip Barat ke berbagai institusi budaya pemerintah colonial yang kemudian menyaingi peran keraton sebagai pusat perkembangan budaya.
Dalam serat Sabdajati ada pesan Ranggawarsita yang sangat terkenal sebagai berikut.
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu hanglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah karsa Allah
Beja-bejane kang lali
Luwih beja kang eling lawan waspada
(Kalatidha, Sinom I/8)
Terjemahan:
Mengalami jaman edan
Serba sulit dalam pemikiran
Ikut menggila tidak tahan
Tetapi kalau tidak mengikuti
Aku mungkin tidak mendapat
Kelaparan akhirnya
Tetapi kehendak Tuhan
Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa
Lebih beruntung yang ingat dan waspada.
Penggambaran keadaan zaman yang rusak, digambarkan dengan menggunakan pengimajian kata yaitu dengan sebutan jaman edan. Maksud tuturan jaman edan yaitu pada masa itu semua orang sudah berbuat seperti orang gila, tidak mempunyai rasa malu, semua hanya memikirkan kekayaan maupun kedudukan. Manusia yang selama t dari kerusakan moral dalam jaman edan, oleh Ranggawarsito dikonkritkan dengan kata-kata beja-bejane kang lali, luwih beja kang eling lawan waspada “seberuntung-beruntungnya yang lupa, lebih beruntung yang ingat dan waspada kepada Allah”. Itulah beberapa ajaran Islam yang termuat dalam serat Kalatidha, karya dari Ranggawarsita.
Ronggowarsito tercatat masih melakukan pembaruan sastra Jawa berdasarkan konsep-konsep lokal. Namun ia menyerap pula tradisi Barat antara lain dengan menuliskan karya sastra dalam bentuk prosa. Karena itu karya-karyanya menjadi salah satu corong sastra Jawa pertama yang didengar oleh dunia. Sepeninggalan Ronggowarsito tidak ada lagi pujangga yang terlihat mencolok sehingga sampai sekarang banyak yang menyangka bahwa tidak ada lagi pujangga sastra Jawa di era modern sekarang ini. Banyaknya penulis yang menghasilkan karya sastra Jawa sekarang ini rupanya belum cukup untuk membuat karya-karya sastra Jawa dikenali oleh masyarakat umum. Walaupun ini juga kesalahan dari masyarakat yang sekarang sulit sekali membaca (minimnya budaya literasi), tetapi sebagai sastrawan kita juga harus berperan aktif membangun masyarakat agar mempunyai minat baca yang tinggi.
Menurut saya dalam artikel ini, masih banyak membahas sastra Jawa tengahan maupun klasik. Padahal dalam judul tertulis sastra Jawa modern pra kemerdekaan sehingga perlu diperbaiki dan diulas lebih mendalam tentang sastra Jawa modern pra kemerdekaan. (Gillian Cahya sintani)
BalasHapus