Sejarah Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan



Pada buku yang berjudul “Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir” karya J.J. Ras halaman 8 mengatakan bahwa genre sastra barat seperti novel, esai cerita pendek , atau sajak bebas, itu merupakan bacaan pribadi sebagai manfaat atau kesenangan semata. Sastra gagrag anyar atau sastra gaya baru adalah istilah untuk menyebutkan hasil dari sastra modern. Perkembangan sastra modern di Jawa awalnya agak lambat, ini sangat tidak diherankan karena genre-genre baru yang bersangkutan di datangkan dari luar negeri di dalam suatu periode saat masyarakat Jawa belum siap menerima serta belum membutuhkannya.
Sastra Jawa modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda di Jawa saat abad ke-19 M, para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan lain sebagainya. Hubungan-hubungan cerdas dengan bangsa Eropa mengakibatkan penulisan beberapa karangan yang ada di luar lingkup sastra tradisional. Dalam hubungan ini perlu disebut kegiatan yang berjalan di dalam dan di sekitar Instituut voor de Javaansche Taal di Surakarta dari tahun 1832 sampai 1843, naskah-naskah istimewa yang dihasilkan oleh C.F. Winter yaitu versi-versi prosa atas beberapa karya klasik dalam tembang macapat. Kegiatan ini memberikan dampak untuk menyusun naskah-naskah baru yang berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah-kaidah sastra klasik. Sebagai contoh Cariyos Bab Lampah-Lampahipun Raden Mas Arya Purwa Lelana karya M.A. Candranegara, bupati Demak. Karya itu merupakan kisah perjalanan dalam prosa , ditulis dengan bahasa jurnalistik sehingga dapat dengan mudah dipahami, sudah pasti buku tersebut dibuat dengan tujuan untuk pendidikan.
Ada pula contoh lain yang dihasilkan oleh Rd. Abdullah Ibnu Sabar bin Arkebah dengan judul Cariyos Nagari Walandi. Itu bercerita tentang perjalanan Rd. Abdullah ke negeri Belanda. Sebuah karya yang tidak sampai dicetak dalam bentuknya yang asli, tetapi dikemudian hari menjadi bahan bacaan yang sangat populer, yaitu Cerita Janda yang Cerdik (Randa Guna Wecana), karangaan Surya Wijaya. Sebelumnya Surya Wijaya juga sudah pernah menghasilkan karya dengan tujuan pendidikan berjudul Surya Ngalam dan sebuah kumpulan cerita nasehat dengan judul Seca Wardaya. Karya selanjutnya yakni Lelampahaning Sarira, bercerita tentang suatu perjalanan dari Surakarta menuju Semarang yang dilanjutkan ke Batavia dengan menggunakan kapal. Berbeda dengan Serat Darma Yasa, karya yang ini sudah berbentuk prosa. Pada karya yang berjudul Janda yang Cerdik bahasa yang digunakan sangat puitis dan kaku sehingga sulit untuk dipahami. Berkat campur tangan dari D.F. van der Pant, karya itu diperbaiki oleh Ki Padmasusastra. Ki Padmasusastra merupakan tokoh terbesar dibidang pengajaran bahasa Jawa sekitar tahun 1900. Beliau memulai kariernya sebagai sekretaris D.F. van der Pant, tetapi beliau dapat melebihi kmampuan dari tuannya. Karya beliau yang paling terkenal adalah Serat RangsangTuban (Surakarta, 1912), itu merupakan sebuah novel kebatinan.
Penulisan nontradisional dari masa awal itu terutama menghasilkan cerita fiksi dengan kecenderungan didaktik yang jelas dan kisah-kisah perjalanan yang dimaksud sebagai catatan tentang pengalaman istimewa atau cenderung ke arah jurnalisme. Cerita prosa yang tertulis semata-mata hanya untuk hiburan saja tampaknya belum disenangi dan masih harus menempuh jalan panjang. Dengan demikian, kecuali mungkin Serat Rangsang Tuban, belum ada di antara karya-karya tersebut di atas yang dianggap sebagai novel.
Novel memang merupakan genre sastra yang di negeri Barat pun melalui periode perkembangan yang sangat panjang. Tradisi penulisan novel yang subur hanya mungkin terjadi bila terdapat sekelompok penulis novel berbakat dan kreatif, sejumlah penerbit dan percetakan yang kuat keuangannya, aparat distribusi yang berjalan dengan lancar dan -mungkin yang paling penting dari semuanya itu – masyarakatpembaca yang cukup luas yang mampu menyisihkan sejumlah uangnya untuk bacaan itu, sehingga secara ekonomis semuanya dapat berjalan. Syarat-syarat ini tidak terpenuhi ketika novel diperkenalkan di Jawa. Kenyataannya, genre ini baru dapat timbul ketika sebuah badan penerbit yang dimiliki pemerintah, yaitu Balai Pustaka telah mulai memberikan rangsangan terhadap penulisan cerita yang dapat dipakai sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi masyarakat bagi rakyat, serta mengantarkan buku-buku yang dicetaknya kepada publik pembaca, yaitu denagn menaruhnya di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Oleh karena itu, dengan mantap dapat kita katakan bahwa genre Barat ini masuk ke dalam sastra Jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa ke dalam masyarakat Jawa.
Peran Balai Pustaka sebagai badan penerbit yang menyediakan kebutuhan sekolah itu dimulai tahun 1911. Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan penulisan cerita yang dimulai kala itu, kami berikan di bawah ini tinjauan ringkas karya-karya asli dalam bahasa Jawa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Demi kepentingan dokumentasi, di belakang tiap-tiap judul ditambahkan nomor seri, tahun penerbitan, dan jumlah halaman. Huruf L setelah jumlah halaman menunjukkan bahwa buku itu dicetak dalam huruf Latin. Tidak perlu dikatakan bahwa yang dapat kita lakukan di sini tidak lebih hanya sekadar menyebut buku-buku itu satu per satu. Tujuan pengantar ini semata-mata hanya hendak melengkapi pembaca dengan informasi barang sedikit yang diperlukan, agar naskah-naskah yang tercakup dalam antologi ini dapat ditempatkan di dalam wacana sastra dewasa. Penulisan sejarah sastra Jawa modern merupakan masalah yang baru saja dimulai. Di antara penerbitan-penerbitan pertama Balai Pustaka, kita jumpai buku dengan unsur-unsur fiksi yang dipadu dengan kecenderungan diaktik atau ajaran moral yang jelas. Contohnya karya dari Prawirasudiraja dengan judul Serat Panutan (Balai Pustaka 136, 1913, 96 halaman) dan Isin Ngaku Bapa (Balai Pustaka 306, 1918, 84 halaman). Karya Kuswadiarja dengan judul Rara Kandreman (Balai Pustaka 183, 1916, 33 halaman). Karya Harjawisastra yang berjudul Pamoring Dusun (Balai Pustaka 295, 1917, 130 halaman) adalah sebuah buku diaktik, semata-mata hanya untuk rakyat desa yang sederhana, sedangkan karya Mangunwijaya, Wuryalocita (Balai Pustaka 199, 1917, 54 halaman) merupakan kumpulan 22 cerita ajaran moral yang pende-pendek dan yang oleh penerbitnya dinyatakan mengandung petunjuk dan teladan. R. Ng. Kartasiwaya mengambil sikap pendidik dengan karyanya Darma Sanyata  (Balai Pustaka 214, 1917, 39 halaman), berisi tentang seorang gadis yang sedang tumbuh ke kedewasaannya, sebuah buku yang penuh dengan contoh-contoh yang baik bagi wanita. Ada pula karya dari Sumaatmaja  yang berjudul Serat Sadrana ini sangat baik untuk seorang kepala desa, dan beberapa karya-karya dari pengarang lainnya.
Buku berukuran kecil semacam ini memang sudah tidak biasa dalam sastra Jawa. Ada banyak suluk suci atau suluk yang dibuat dengan maksud membangun akhlak, ataupun puisi-puisi Islam dari masa lampau yang berukuran kecil. Bahkan novel Jawa yang sekarangpun berukuran kecil, sehingga lebih pantas disebut novelet daripada novel.
Sebuah roman sejarah yang ditulis oleh Suradipura ialah Bedahipun Karaton Nagari Ngayogyakarta (Balai Pustaka 125, 1913, 102 halaman), di sisi lain Sastradiardja menyampaikan nasihat baiknya melalui bukunya yang berjudul Lelampahanipun Sida (Balai Pustaka 304, 1917, 59 halaman, Latin). Yang lebih menarik lagi buku-buku karya dari R. Suyitna Martaatmaja  yang berjudul Catur Tunggil (Balai Pustaka 288, 1920, 114 halaman) berisi tentang kisah seorang kepala sekolah yang dipindah dan empat orang bekas muridnya – anak laki-laki dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda yang ketika sebagai teman sekelas bersahabat, tetapi setelah dewasa terpaksa mengikuti jalan hidup masing-masing di dalam masyarakat. Satu lagi karya beliau yang berjudul Cariyosipun Pambalang Tamak (Balai Pustaka 287, 1921, 118 halaman) bercerita tentang anak seorang pendeta Bali yang menjadi petualang dan orang yang tidak berguna.
Sebuah buku kecil yang menunjukkan kelemahan orientasi Balai Pustaka dalam periode awal ini adalah karya Sindupranata, Lelakone Amir (Balai Pustaka 270, 1918, 43 halaman, Latin), sebuah kisah mengenai seorang anak yatim piatu yang memang bagus penulisannya, tetapi jelas ditujukan pada masyarakat pembaca anak sekolah. Karya R. Siswawinata dengan judul Margining Kautamen (Balai Pustaka 370, 1919, 136 halaman, Latin), berisi tentang seorang istri bupati yang baik hati. Karya R. M. Kartadirja, Tuhuning Katresnan (Balai Pustaka 419, 1919, 34 halaman) merupakan kisah dua orang kekasih yang berpisah karena si gadis dikawinkan oleh kedua orang tuanya dengan orang lain, suatu motif yang berulang-ulang kita jumpai dalam novel-novel Jawa setelah tahun 1920.
Semua buku kecil ini ditujukan kepada anak-anak dan masyarakat sederhana, yang harus diberi bahan bacaan yang bersifat mendidik. Mutunya kerap kali mendekati buku budi pekerti dari tahun-tahun sebelum 1940 di negara-negara Barat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika para ahli sastra Jawa tidak dapat menerimanya sebagai sastra bahkan menganggapnya tidak lebih dari sebuah bacaan belaka. Sedangkan yang dianggap sebagai sastra hanyalah buku hasil-hasil sastra tertulis tradisional dalam bentuk tembang macapat. Walaupun begitu Balai Pustaka tetap memasukkan genre tersebut ke dalam acara penerbitannya. Contohnya karya dari Prawirasudirja yang berjudul Cariyos Tanah Pareden Diyeng (Balai Pustaka 35, 1912, 42 halaman), karya R. R. A. Suryasuparta Serat Cariyos Kekesahan saking Tanah Jawi dateng Nagari Walandi (Balai Pustaka 168, 1916, 234 halaman), dan lain-lain. Dalam buku-buku tersebut memiliki unsur informasi yang sangat menonjol, jalur fiksinya menduduki tempat yang tidak penting. Meskipun demikian, rasanya tidak salah jika dimasukkan ke dalam survei ini, karena semua karya itu merupakan bagian dari unsur pokok dalam sastra modern. Dari jenis penulisan semacam inilah yang kelak akan muncul genre khusus yang bermotif esei yang masih populer hingga saat ini.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang saduran tradisi lisan dan tertulis yang bersifat sejarah atau pseudo-sejarah. Tradisi semacam itu kerap kali hanya bersifat anekdot yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh sejarah, barang peninggalan, monumen atau makam, atau bisa juga mengambil bentuk dari sebuah babad. Sebagai contoh karya milik Pujaarja dengan judul Dongeng Cariyosipun Tiyang Sepuh ing Jaman Kino (Balai Pustaka 17, 1910, 49 halaman), karya Mukmin, Ki Ageng Paker (Balai Pustaka 941, 1931, 48 halaman), karya R. Gandawardaya, Babad Maja lan Babad Nglorog (Balai Pustaka 1210, 1935, 47 halaman, Latin), karya Ki Mangunsuparta, Babad Arungbinangun (Balai Pustaka 1268, 1937, 37 halaman), serta karya Suwignya yang berjudul Kyai Ageng Pandanarang (Balai Pustaka 1271, 1938, 60 halaman, Latin). Dalam periode setelah perang, jenis ini dilanjutkan dalam bentuk kisah sejarah semu yang populer, yang sering dimuat bersambung di dalam majalah-majalah berbahasa Jawa, tetapi masih terlalu sederhana untuk diterima sebagai novel sejarah, dan juga dalam bentuk esei, yang beberapa di antaranya memang mempunyai nilai sastra tertentu.
Dengan diterbitkannya novel karya R. Sulardi yang berjudul Serat Riyanta (Balai Pustaka 432, 1920, 139 halaman) merupakan suatu tanda mulainya periode baru. Ini merupakan buku pertama yang berisi suatu kisah dengan alur atau plot yang bagus, yang dibangun di sekitar tema yang jelas pula. Temanya dikaitkan dengan masalah pemberontakan generasi muda terhadap perkawinan adat yang direncanakan oleh kaum orang tua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan yang harus menjadi pasangan selama hidupnya. Ibu Raden Mas Riyanta yang sudah menjanda bernama Raden Ayu Natasewaya merasa jika sudah saatnya Raden Mas Riyanta untuk menikah, tentu saja dengan calon istri yang telah dipilihkannya. Untuk menghindari adanya perselisihan terbuka dengan sang ibu, Riyanta memilih meninggalkan rumah, sedangkan ibu yang ditinggalkan sangat cemas dan mengkhawatirkannya. Di sini pola yang khas Jawa dikembangkan untuk tema yang kedua, yaitu seorang anak muda yang pada ambang kedewasaannya pergi berkelana, serta memperoleh pengalaman yang akan berguna bagi perkembangan jiwanya. Dalam kekacauan akibat terjadinya kebakaran disebuah gedung pertunjukan, seorang gadis bernama Raden Ajeng Srini terpisah dengan kedua orang tuanya. Ia ditemui oleh Raden Mas Riyanta yang merasa kasihan kepadanya, dan kemudian berjanji hendak membawanya pulang. Di belakang hati ternyata Raden Ajeng Srini ini sebenarnya putri dari teman baik ayah Raden Mas Riyanta yang telah wafat, dan gadis seperti itulah yang diinginkan oleh ibunya untuk menjadi pasangan hidup Raden Mas Riyanta. Terlepas dari cerita itu sendiri, Serat Riyanta juga menarik sebagai lukisan masyarakat bangsawan Surakarta pada awal abad kedua puluh.
Contoh lainnya adalah buku Jayengutara, Mitra Musibat (Balai Pustaka 580, 1921, 87 halaman), berisi tentang persoalan lama di dalam masyarakat Jawa yakni, ketagihan candu beserta segala akibat sosialnya. Perdagangan candu pada masa kolonial adalah monopoli negara, suatu monopili yang tidak dipatuhi oleh para penyelundup profesional. Dunia penyelundupan candu gelap ini diperkenalkan oleh Yasawidagda di dalam bukunya yang berjudul Jawi (terdiri dari dua bagian: Balai Pustaka 404, 1922, 81 halaman, dan 404a, 1931, 107 halaman). Jarot merupakan anak seorang masinis yang setelah ibunya meninggal, ingin meninggalkan Surakarta dan pergi menyusul ayahnya di Batavia. Karena tidak memiliki uang satu sen pun, akhirnya ia bekerja, dan inilah sebabnya mengapa ia sampai berhubungan dengan dunia perdagangan candu. Yasawidagda adalah seorang penulis berbakat serta produktif dari periode setelah tahun 1920. Dalam beberapa bukunya, seperti Purasani (Balai Pustaka 474, 1923, 87 halaman), Kirti Njunjung Drajat (Balai Pustaka 690, 1924, 59 halaman, Latin), dan Ni Wungkuk ing Benda Growong (Balai Pustaka 1281, 1938, 93 halaman, Latin), dilukiskannya gambaran yang menarik tentang masyarakat JawaTengah selama perempat pertama abad ini. Kraton Powan (Balai Pustaka 300, 1917, 55 halaman), dan Mitra Darma (Balai Pustaka 337, 1923, 82 halaman) adalah novel sejarah semu. Buku Yasawidagda yang berjudul Bocah Mangkunegaran telah disebutkan sebagai buku yang termasuk golongan karya yang lebih bersifat jurnalistik.
Dalam bukunya yang berjudul Mrojol Selaning Garu (Balai Pustaka 414, 1922, 86 halaman), Sasraharsana mengemukakan cerita yang hidup mengenai percobaan yang harus dihadapi oleh seorang guru agama. Ki Hasan Ngali, ketika beliau kehilangan rumah dan keluarganya dalam banjir dahsyat yang melanda daerah Banyumas pada tahun 1861. Dalam Banda Pusaka (Balai Pusaka 595, 1922, 88 halaman), Sasraharsana menceritakan tentang pengalaman dari seorang anak laki-laki yang bernama Wahyana yang setelah kematian ibunya dibesarkan oleh seorang pembantu rumah tangga keluarganya, seorang janda, tetapi akhirnya berhasil dan setelah besar menjadi seorang wedana. Kamsa menulis Supraba lan Suminten (Balai Pustaka 636, 1923, 167 halaman), tentang seorang anak laki-laki dan keluarga baik-baik yang terjerumus ke dalam kehidupan gelandangan dan kemudian terpaksa menerima segala pekerjaan kasar, tetapi selanjutnya menjadi juru tulis, kawin, kemudian dapat mencapai hingga wedana, dan beberapa karya penulis lainnya.
Dalam bukunya Swarganing Budi Ayu (Balai Pustaka 594, 1923, 35 halaman, Latin), Arjasaputra menceritakan bagaimana seorang gadis miskin, Kamsirah kawin dengan seorang laki-laki kaya, namun sepeninggalan sang suami, ia kembali jatuh miskin karena ulah anak tirinya yang pemboros. Martayuwana menulis Roman Arja (Balai Pustaka 615, 1923, 80 halaman, Latin), tentang sebuah keluarga yang berantakan ketika sang ayah jatuh ke tangan seorang lintah darat. Kebajikan yang akhirnya menghasilkan ganjaran merupakan tema dari buku Adiwardaya, Kautamaning Kenya (Balai Pustaka 692, 1925, 69 halaman, Latin). Di pihak lain, Satyawadu (Balai Pustaka 687, 1925, 68 halaman, Latin) karangan dari Imam Supadi yang menceritakan tentang seorang raja yang memerintah Sawangan, sebuah negeri antah-berantah. Buku ini, demikian diterangkan oleh penulis, merupakan suatu usaha menjembatani cerita-cerita babad dan wayang, yang sudah kuno tetapi masih saja selalu digemari, dengan cerita fiksi roman modern. Mungkin ini dapat dianggap sebagai pengakuan terhadap kenyataan bahwa cerita-cerita roman sebagaimana yang dibicarakan disini pada waktu itu masih belum diakui sebagai sastra, tetapi pengakuan semacam itu memang diinginkan, setidak-tidaknya oleh beberapa di antara pengarangnya. Sastradiharja mengajak kita, baik dalam tema maupun dalam gaya penceritaan, kembali ke akhir abad 19 melalui buku kecilnya yang memesonakan, Suwarsa Warsiah (balai Pustaka 750, 1926, 57 halama, Latin). Di dalamnya dilukiskan sebuah gambaran menarik mengenai perkawinan dan pengajaran pangkat dalam aparat pamong praja Pangeran Mangkunegara. Hal-hal menarik lain dalam sebuah buku kecil adalah gaya percakapan yang segar serta tidak dibuat-buat, itu merupakan suatu ciri yang jarang kita jumpai dalam buku-buku yang ditulis untuk pembaca yang lebih tua untuk periode ini. Namun tentu saja hampir tidak mungkin menerimanya sebagai kesusastraan.
Penulis terbaik di tahun 1925-1930 adalah Asmawinangun. Beliau tidak hanya pandai dalam memilih tema, tetapi beliau juga pandai melukiskan suasana, dialog-dialog yang dibuatnya terasa hidup, serta bahasa yang digunakan sangat enak, hal itu membuat beliau berhasil membuat para pembaca menjadi tercekam. Di dalam bukunya yang berjudul Jejodoan Ingkang Siyal (Balai Pustaka 755, 1926, 115 halaman, Latin) berisi tentang seorang gadis yang bertentangan dengan kemauannya sendiri, dikawinkan dengan seorang anak petani yang kaya raya, namun perkawinan itu tidak memberikannya kebahagiaan. Setelah lama menunggu kedatangan seorang anak, akhirnya ia dikaruniai dua orang anak laki-laki. Dan kedua anak itu sangat dimanja oleh sang ayah, sehingga saat mereka tumbuh besar mereka terjerumus ke dalam kejahatan tindak pidana kecil-kecilan, yang menghancurkan kehidupan mereka dan ibunya. Saking Papa Dumugi Mulya (Balai Pustaka 782, 1928, 141 halaman, Latin) memiliki nada yang berbeda. Ini bercerita tentang dua orang anak desa Jupri dan Ciptadi yang telah kehilangan ayahnya, serta ditipu oleh ayah tiri mereka yang berprofesi sebagai petani kaya dengan nama Kartadipa. Seusai dipukuli habis-habisan oleh ayah tirinya, ia minggat dari desa kelahirannya, Jupri menyusulnya. Setelah mengembara selama bertahun-tahun akhirnya mereka bertemu dengan keadaan yang membahagiakan. Dan beberapa karya penulis lainnya.
Kemudian gaya yang agak serupa dikembangkan oleh beberapa penulis lainnya pada zaman ini, yang semuanya menghasilkan buku-buku yang besar-besar serta enak dibaca. Dan berpusat di sekitar masalah-masalah yang terjadi pada zamannya, yaitu Dwijasami, dengan Tuking Kasusahan (Balai Pustaka 774, 1927, 50 halaman, Latin), Kusumadigda disekitar dengan Gawaning Wawatekan (Balai Pustaka 788, 1928, 157 halaman, Latin), dan beberapa karya penulis lainnya.
Selama tiga puluh tahun, perkembangan yang dimulai dalam periode sebelumnya berjalan terus, tidak berhenti atau berubah banyak-banyak. Para penulis tetap menggunakan tema-tema yang telah menjadi lazim seperti perselisihan antara generasi muda dengan generasi tua, baik karena pandangan yang berbeda mengenai pemilihan teman hidup maupun mengenai karier pilihan sang anak. Selanjutnya akibat-akibat menyedihkan dari kawin paksa, beristri dua, sifat manja karena salah asuhan, atau kesukaan berjudi. Penderitaan yang disebabkan oleh terjadinya musibah, retaknya keluarga, atau karena dibesarkan sebagai anak yatim piatu, pengalaman selama hidp terasing dari tempat kelahiran, baik karena disengaja maupun terpaksa dan akhirnya, tentang kejahatan dan pembongkarannya,
Penggunaan huruf Latin, yang mula-mula dilakukan pada buku-buku untuk anak-anak, seperti karya Sindupranata, Lelakone Amir (1918), dan dalam buku-buku yang bersifat jurnalistik, seperti karya Yitnasastra, Kesah Layaran dateng Pulo Papuwah (1919), menjadi lebih umum sekitar tahun 1925, bahasa Jawa ngoko sejak awal mula umum digunakan untuk buku-buku anak-anak. Sindupranata (1918), Suratman Sastradiarja (1923, 1928, 1928), Sastrasutiksna (1925), Kamsa Wiryasaksana (1926), dan Kamit Nataasmara (1927, 1929, 1932). Maka ketika Kusumadigda (1928) dan Sukarna (1929) juga memilih gaya ngoko ini di dalam buku-buku yang ditulisnya untuk pembaca yang lebih dewasa, buku-buku yang dimaksud sebagai sastra, itu merupakan pembaruan yang penting. Setelah tahun 1930, contoh ini lama-lama diikuti oleh jumlah penulis yang semakin bertambah setelah tahun 1960 penggunaan bahasa krama di dalam cerita prosa merupakan perkecualian yang langka.
Penyusunan plot yang baik masih saja merupakan kesulitan bagi setengah penulis. Akibatnya, banyak buku yang tetap hanya “cerita” saja tentang suatu peristiwa yang menarik hati sang penulis serta yang dianggapnya patut diceritakan kepada masyarakat luas. Akan tetapi, cerita semacam ini biasanya cepat selesai dan akibatnya buku-buku seperti itu umunya hanya kecil-kecil. Bacaan yang luas, sebagai syarat untuk mengembangkan gagasan-gagasan yang diperlukan guna membangun plot yang memuaskan, merupakan sebuah jalan yang hanya terbuka bagi mereka yang mampu membaca sastra dalam bahasa Barat, dan mempunyai waktu luang untuk menikmatinya.
Beberapa buku dari periode ini masih tercetak dalam bahasa Jawa : Dwikarsa (Balai Pustaka 896, 1930, 105 halaman) karangan R. Sastraatmaja, yang berisi cerita tentang seorang wanita yang malang karena dimadu suaminya; juga buku-buku karya Siswamiharja, Serat Tumusing Panalangsa (Balai Pustaka 885, 1930, 69 halaman) dengan pokok masalah yang sama, dan Maryati lan Maryana (Balai Pustaka 922, 1030, 78 halaman).
Jelaslah bahwa fasilitas penerbitan dan distribusi yang diterbitkan oleh balai Pustaka merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangfan cerita prosa modern. Sesungguhnya orang dapat mengatakan bahwa sastra modern yang sedang tumbuh itu ditopang oleh badan penerbit pemerintah ini dalm tahun 1911-1941. Penerbitan dan percetakan swara, sepertai Tan Koen Swie di Kediri. Mardu Mulya di Yogyakarta, Siti Syamsiyah, Rusche, Sadu Budi, Kalimasada, dan Mars di Yogyakarta, Van Dorp di Semarang, dan G. Kolff & Co di Surabaya, tidak aktif di bidang ini, dan baru setelah 1933 Panyebar Semangat di Surabaya mulai memainkan perannya. Oleh karena itu, seksi di Balai Pustaka yang menilai dan menyunting naskah-naskah Jawa yang diterima  untuk diterbitkan melakukan fungsi yang sangat penting. Ketua redaksi, M. Suyud Martadiharja, yang ada pada tahun 1930 digantikan oleh M. Kusrin, bersama-sama dengan anggota stafnya, Harjawiraga dan Sastrasuwignya, R. Ranggawirawangsa dan Suharda, selama bertahun-tahun menetapkan patokan tentang mana-mana yang dapat diterima dan mana-mana yang tidak dapat diterima. Baik dari sudut cerita maupun gaya bahasa.
Referensi

Rass.J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Percetakan PT Temprint.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Modern 


Komentar

  1. tambah sumber dan referensi sehingga tidak nampak subyektif. (widodo)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan