SEJARAH SASTRA JAWA
SEJARAH
SASTRA JAWA
3.1 Awal Mula Sastra Jawa Modern
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah
Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi. Saat
itu berdirilah Lembaga Bahasa Jawa (Instituut Voor de Javaansche Taal) di
Surakarta (1832) sebagai tempat pusat kajian bahasa dan naskah-naskah Jawa,
Kemudian di Breda (1836) di Negeri Belanda dan Dellf (1843) di Swis. Kegiatan
sastra yang dilakukan lembaga-lembaga tersebut yaitu menyiapkan bahan-bahan
ajar berupa naskah. Naskah tersebut berbentuk prosa yang digubah dari
karya-karya klasik menjadi karya baru. Para
cendekiawan Belanda memberi saran kepada para pujangga Jawa untuk menulis
cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita
wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia
Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah
tentang perjalanan. Sastra Jawa
Pada awalnya perkembangan Sastra Jawa hanya terbatas
pada naskah yang sederhana, barulah pada awal abad ke-20 berkembang dongeng dan
protonovel. Unsur-unsur penciptaan dan kehidupan sastra yang bersifat istana
sentris sedikit demi sedikit tergeser dengan sistem penerbitan dan percetakan.
Melalui penerbit Balai Pustaka (1917) karya sastra Jawa banyak dibaca oleh
masyarakat luas. Banyak Pengarang Jawa yang menulis karya-karyanya dan
diterbitkan oleh lembaga tersebut.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan
utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata
Belanda. Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf
cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa
Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
Bahasa Jawa semakin berkembang dengan adanya Komisi
Bacaan Sekolah dan Bacaan Rakyat pada 1908 (Pada 1911 komisi ini berubah
menjadi Balai Pustaka. Sejumlah karya Sastra
Jawa Modern disampaikan dengan ragam bahasa Jawa Krama. Namun pada masa
selanjutnya Sastra Jawa semakin populer ditulis dalam bahasa Jawa ragam Ngoko,
terutama pada era penerbitan majalah Panyebar Semangat sekitar tahun 1933.
Beberapa Pengarang dan karyanya yang terbit pada masa
awal Sastra Jawa Modern ini adalah: R.Ng. Ranggawarsito, Ki Padmasusastra
dengan Paramabasa, Urapsari, Erang-erang, Warnabasa, Serat Kancil,
Durcara-arja, dsb.; M.Ng. Mangunwijaya
dengan Jiwandana, Asmara-laya, Kridhasastra, Purwakanthi Gita-gati.; R.M.
Sulardi dengan Serat Riyanta; M. Sastratama dengan Tri Jaka Suwala; M.
Prawirasudirdja dengan Serat panutan.
3.2 Beberapa Pelopor
Sastra Jawa Modern
1.Ronggawarsito
Tokoh penting pada perkaembangan susastra Jawa Modern. Beliau adalah seorang pegawai negara yang kerap bersinggungan erat dengan pemerintahan barat pada masa itu. Kedekatannya dengan orang-orang barat itulah yang akhirnya membuka pikirannya untuk menulis bentuk tulisan baruseperti sastra-sastra orang barat misalnya novel dan cerpen.
Tokoh penting pada perkaembangan susastra Jawa Modern. Beliau adalah seorang pegawai negara yang kerap bersinggungan erat dengan pemerintahan barat pada masa itu. Kedekatannya dengan orang-orang barat itulah yang akhirnya membuka pikirannya untuk menulis bentuk tulisan baruseperti sastra-sastra orang barat misalnya novel dan cerpen.
2.C. V. Winter:
Beliau adalah tokoh yang berhasil menulis kamus Jawa-Belanda
3.A. B Cohen Stuart
4.D. F Vander Pant
5.R. M. A. Tjandranegara
6.R. A. Sastradarma
7.R. Sastrawidjaja
8.R. Abdoellah Ibnoe Sabar: Cariyos Negeri Walandi (1876)
9.R. A. Darmabrata
10.Soerjawidjaja: Lelampahing Sarira
11.Padmosoesastra
Karangan-karangan Padmosoesastra yang berhasil terekam antara lain adalah Layang Pratama Basa (1898), Serat Warna Basa (1990), Serat Pati Basa (1912), Serat Bau Warna (1898), Serat Urapsari (1898), Serat Tata Cara, Serat Kancil Tanpa Sekar (1908), Kanda Bumi, Prabangkala, Rangsang Tuban (1912).
12.Raden Mas Purwalelana (jeneng sesinglon) : Lelampahaning Purwalelana 1875-1880
3.3 Beberapa novel periode Sastra
Jawa Modern Prakemerdekaan
1.Indiani : Adi Soendjaja
2.Swarganing Budi Ayu : Ardjasoeparta 1923
3.Saking Papa Dumugi Mulya : Asmawinangoen 1928
4.Merak Kena Jebak : Asmawinangoen 1930
5.Jejodhohan Ingkang Siyal : Asmawinangoen 1928
6.Mungsuh Mungging Cangklakan : Asmawinangoen 1928
7.Sri Kumenyar : Djajasoekarsa 1938
8.Ngulandara : Djojoatmojo 1936
9.Gambar Mbabar Wewados : Djaka Lelana 1932
10.Sawitri : Endang Wahjoeningsih 1932
11.Lelakone Bocah Kampung : Kasma Wiryasaksana 1926
12.Tuwuhing Katresnan : Kartadirdja 1919
13.Gawaning Wewatekan : Koesoemadigda 1929
14.Sala Peteng : MT. Soephardi
15.Serat Riyanto : RB. Soelardi 1938
16.Serat Sarwata : R. B. Soelardi 1939
17.Prawira Sudirja : Isin Ngaku Bapa (1918)
Karya lain selain novel :
1.Antologi Puspa Rinonce : Soetomo 1932
2.Cerbung Sandhal Jinjit ing Sekaten Solo : Imam Supardi 1935
3.Cerpen Man Kemidhi : Elly 1940
4.Cerpen Kepaten Obor : Endang Wahyoeningsih 1931
5.Cerpen Dayaning Lebaran : Krendhadigdaja 1941
6.Majalah Jaya Baya
7.Majalah Panyebar Semangat : 1933
Penerbitan-penerbitan
swasta yang mengiringi perkembangan sastra Jawa Modern prakemerdekaan antara
lain:
1.Tan Koen Swie
di Kediri
2.Mardi Mulya di Surakarta
3.Siti Syamsiah, Rusche, Sadu Budi, Kalimasada, Mars di Surakarta
4.Van Dorp di Semarang
5.G. Kolff dan Co di Surabaya
6.Panjebar Semangat di Surabaya tahun 1933
3.5 Ciri-Ciri Karya Sastra Jawa Modern Prakemerdekaan
Adapun sebuah karya sastra bisa termasuk dalam periodisasi/ masa tertentu adalah karena terdeteksi lewat ciri-ciri yang menonjol. Pada karya sastra Jawa Modern prakemerdekaan terlihat ciri-ciri seperti:
1.
Cerita menggambarkan masyarakat
di luar istana yang dipengaruhi oleh kehidupan pengarangnya yang sebagian besar
adalah para priyayi. Sebagai contoh cerita Serat Riyanto)
2.
Berbahasa Jawa baru dengan
tataran krama (Surakartanan), beberapa novel sudah menggunakan kata-kata asing
seperti bahasa Melayu dan Belanda.
3.
Ditulis menggunakan huruf Jawa.
4.
Mengisahkan tentang perjalanan
seperti dalam karangan R. Abdoellah Ibnoe Sabar: Cariyos Negeri Walandi (1876),
dan Soerjawidjaja: Lelampahing Sarira
5.
Mulai bergeser dari kebiasaan
klasik yang menceritakan seputar cerita pewayangan menjadi cerita dalam
kehidupan nyata tetapi masih dalam bentuk/ format yang sederhana
3.6. Perjalanan
Kepengarangan Sastra Jawa Modern Sesudah Kemerdekaan
Pertumbuhan ke arah kedewasaan sastra modern mulai
sesudah tahun 1950, ketika perjuangan untuk kemerdekaan telah selesai,
sementara berlangsung suatu rangkaian perkembangan sosial dan politik yang
baru. Sayang
bahan-bahan dari periode 1940-1970 agak langka pada koleksi–koleksi yang ada di
Barat. Oleh karena itu, sebagian besar survey ini
didasarkan pada data yang dipinjam dari sumber-sumber Indonesia.
Perkembangan sastra
didukung oleh tiga generasi penulis :
1. Angkatan kasepuhan (telah tampil
sebelum tahun 1945)
2. Angkatan perintis (tampil tahun
1945 dan sesudahnya)
3. Angkatan penerus (tampil tahun
1960 dan sesudahnya)
Suripan Sadi Hutomo
membedakan tiga periode pokok dalam sejarah sastra Jawa modern, yaitu :
1. Periode Balai Pustaka (1920-1945)
: genre novel diutamakan.
2.
Periode Perkembangan Bebas
(1945-1966) : di samping novel juga cerita pendek dan puisi bebas dikembangkan
sebagai genre penting.
3.
Periode Sastra Majalah
(1966-sekarang): eksplosi roman penglipur wuyung diikuti oleh peranan
majalah-majalah berbahasa Jawa menjadi saluran publikasi terpenting.
Sesudah revolusi, ketiga genre utama dalam sastra
modern, yaitu novel, cerita, dan puisi bebas, mendapat perhatian sewajarnya
dalam kalangan masyarakat yang lebih luas. Tiga faktor mungkin telah memainkan peranan
dalam hal ini, yaitu :
1. Revolusi sosial
2. Meningkatkan kemampuan baca tulis
3. Semakin sedikitnya sastra klasik
yang beredar dalam masyarakat
Sastra Jawa Modern sangat pesat kemajuannya, khususnya dari segi oplah dan jumlah pembaca terutama antara 1950-1960-an. Karya yang terbit dikenal dengan novel-novel picisan (novel panglipur wuyung). Nama-nama seperti Any Asmara, Esmiet, Suparto Brata, dan lainnya sangat populer sebagai sastrawan Jawa pada masa itu.
Sastra Jawa Modern sangat pesat kemajuannya, khususnya dari segi oplah dan jumlah pembaca terutama antara 1950-1960-an. Karya yang terbit dikenal dengan novel-novel picisan (novel panglipur wuyung). Nama-nama seperti Any Asmara, Esmiet, Suparto Brata, dan lainnya sangat populer sebagai sastrawan Jawa pada masa itu.
Para penulis muda dari
generasi sesudah perang sebagian besar terlibat aktif dalam pendidikan, pers,
dan radio. Banyak di antara mereka mulai menulis pada
waktu masih sekolah atau kuliah. Generasi ini yang oleh Suripan disebut
angkatan perintis atau generasi pelopor, dipimpin oleh Subagiya Ilham
Natadijaya. Tokoh yang paling tua di antara pengarang-pengarang angkatan
perintis adalah Any Asmara.
Penyair-penyair yang termasuk angkatan penerus adalah Anie Sumarna, Priyanggana, Herdian Suharjana, Kus Sudyarsono, Susilomurti,dll.
Penyair-penyair yang termasuk angkatan penerus adalah Anie Sumarna, Priyanggana, Herdian Suharjana, Kus Sudyarsono, Susilomurti,dll.
Kurun waktu setelah tahun1966 mulai dengan eksplosi
roman penglipur wuyung atau roman picisan, yang mencapai puncaknya dalam tahun
itu juga. Roman penglipur wuyung adalah buku kecil ukuran buku saku. Umumnya
buku itu buruk mutu cetakannya dan dijual dengan harga murah. Isinya kerap kali
terbatas pada kisah-kisah cinta atau tema-tema lainnya yang menggelitik. Akan
tetapi, bukanlah tema, ukuran serta kualitas kertas percetakannya atau harga
penjualan yang menentukan mutu sastra sebuah buku, melainkan cara pengarang
menggarap temanya, menggunakan bahasa, dan kecermatan dalam gaya dan komposisi.
Itulah yang tetap menjadi kriterium apakah sebuah buku harus dicap sebagai
“roman picisan” atau bacaan kelas rendahan.
Eksplosi roman picisan
berlangsung dari tahun 1964-1968, dan memuncak pada tahun 1966. Tahun 1970 gelombang ini telah surut dan hampir-hampir tidak ada
buku kecil lagi yang dicetak. Para penerbit
menyatakan bahwa mencetak buku-buku kecil semacam ini pada saat ini tidak
menguntungkan, tetapi mereka sudah dan akan selalu berkata demikian, bila hal
itu dapat dipakai sebagai dalih untuk mengurangi honorarium pengarang. Pihak
lain mengatakan bahwa penghapusan subsidi kertas dari pemerintah merupakan
pukulan besar bagi pasaran buku. Akan tetapi, mungkin pula ada kejadian lain
lagi yang mempunyai pengaruh besar. Sesuatu yang mencolok mata ialah kuatnya
perkembangan pers bahasa Jawa yang mulai sejak tahun 1966.
3.7 Sastrawan Jawa Modern Sesudah Kemerdekaan
1. Suparta Brata
Suparta Brata lahir di
Surabaya pada tahun 1932. Ia memulai kariernya sebagai
seorang wartawan yang menulis untuk berbagai surat
kabar dan majalah yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, pada tahun
1958, ia memperoleh hadiah untuk novel terbaik dari Panjebar Semangat dengan
bukunya Lara-lapane Kaum Republik (diterbitkan dalam bentuk buku di Surabaya, 1966), sebuah
novel yang indah sekali yang mengupas psikologi sekelompok manusia yang
terlibat dalam satu peristiwa dalam perjuangan kemerdekaan. Bersama-sama dengan
dua buah buku lainnya, yaitu Kaduk Wani dan Kena Pulut, yang ditulis sebagai
sambungannya, buku ini merupakan trilogi berjudul Kelangan Satang.
Meskipun ia juga menulis
cerita pendek, sandiwara, dan esei, Suparta Brata pertama-tama adalah seorang
penulis novel. Caranya mengolah bahasa, dialog-dialog
dan gaya
penuturannya yang hidup, imajinasi dan kemampuannya membangun plot yang bagus
membuatnya menjadi penulis novel Jawa terbaik pada zaman ini. Ia juga sangat
produktif. Tema-tema pokoknya adalah cinta, kejahatan, dan perjuangan
kemerdekaan. Tema-tema ini selalu digarap dengan perhatian sepenuhnya bagi
watak manusia dan dengan lukisan tempat dan suasana yang sangat indah.
2. Esmiet
Setelah tahun 1960, sejumlah penulis muda, yang oleh
Suripan disebut angkatan penerus, mulai tampil ke depan. Mereka lahir di antara
tahun 1935 dan 1945. Karena dibesarkan dalam periode kemerdekaan, sedikit saja
ingatan mereka tentang zaman penjajahan, atau mungkin tidak ada sama sekali.
Salah seorang penulis yang terkemuka dari kelompok ini adalah Esmiet, seorang
guru yang lahir di Mojokerto tahun 1938.
Ia telah
memperoleh beberapa hadiah untuk karyanya. Esmiet seorang penulis cerita pendek
yang sangat produktif, tetapi juga menulis puisi dan novel. Di antara novel
masa permulaannya dapat kita sebutkan Oyot Mimang (JB, 1966), Rokok Kretek Bale
Kambang (PS, 1970), Inspektur Kikis Mungsuh Swara Kubur (PS, 1970), dan Godane
Randa Halimah (PS, 1972).
Novelnya yang terbaru yang berjudul Tunggak-Tunggak Jati
(Jakarta, 1977) mengemukakan sebuah tema baru dalam penulisan novel Jawa bahwa
kedudukan orang Tionghoa yang sudah membaur dalam masyarakat dan ekonomi
pedesaan Jawa serta masalah-masalah yang timbul dari kawin campuran antara suku
Jawa dan Tionghoa.
3. Ag. Suharti
Di antara para pengarang
angkatan 1966, Ag. Suharti, yang lahir di Yogyakarta tahun 1920, menempati kedudukan yang agak
tersendiri. Pada tahun 1975 ia menerbitkan novel Anteping Tekad, cerita tentang
seorang gadis yang lari dari rumahnya untuk menghindari perkawinannya dengan
orang kaya raya sedesanya yang sudah direncanakan orangtuanya. Sebagai pembantu
rumah tangga kemudian ia mengetahui kehidupan sebuah keluarga modern yang
tinggal di kota.
Dalam buku ini digarap tema
lama, tetapi para pelakunya adalah orang modern. Dalam
hal-hal tertentu, novel ini boleh dianggap sebagai cermin masyarakat Jawa, tetapi
cara hidup dan persoalan yang sangat kuno dan yang sangat modern kadang-kadang
berdampingan. Novel lain karangan penulis ini ialah Mendung Kesaput Angin (BP,
Jakarta 1980).
4. Suharmono Kasiyun
Pada tahun tahun 70-an muncul
nama Suharmono Kasiyun yang dikenal sebagai pengarang novel, cerita cekak dan
geguritan. Karya-karyanya terus mengalir mengisi majalah-majalah berbahasa
Jawa. Selain itu, itu juga menulis karya-karya sastra berbahasa Indonesia,
seperti cerita pendek dan novel. Saat mengikuti peringatan Hari Sastra di
Trengganu, Malaysia, ia mendapat ilham menulis cerita cekak Tatu-tatu Lawas
yang berkisah tentang percintaan satu rumpun Melayu yang harus terpisah karena
konfrontasi Indonesia – Malaysia.
3.8. Ciri-ciri Karya Sastra Modern
Sesudah Kemerdekaan
Sebuah karya sastra bisa
termasuk dalam periodisasi atau masa tertentu adalah karena terdeteksi lewat
ciri-ciri yang menonjol. Pada karya sastra Jawa modern
sesudah kemerdekaan memiliki cirri-ciri seperti :
1.
Karya sastra tidak lagi tumbuh
dalam istana, tetapi berkembang pula di tengah-tengah masyarakat umum.
2.
Berbahasa Jawa modern dengan
tataran ngoko.
3.
Ditulis menggunakan huruf
latin.
4.
Mulai bergeser dari kebiasaan
klasik yang menceritakan seputar cerita pewayangan menjadi cerita dalam
kehidupan nyata.
Pada Dekade yang lebih kini, kesusastraan Jawa lebih
banyak dikenal sebagai kesusastraan Jawa Modern atau Kesusastraan Jawa
Mutakhir, dan terbit secara berkesinambungan dalam majalah-majalah berbahasa
Jawa. Ratusan Pengarang Jawa Modern ikut serta mengambil bagian dalam proses
pelangsungan kehidupan sastra ini.
Beberapa pengarang Sastra Jawa Modern yang dapat
ditasbihkan sebagai pengarang terkenal antara lain: Suparto Brata, Poerwadhi
Admodihardjo, Any Asmara, Soebagijo IN, Tamsir AS, Esmiet, Anjar Any, St
Iesmaniasita, Poer Adhi Prawoto, Suripan Sadi Hutomo, Aryana KD, Suharmono
Kasiyun, dan Moch Nursyahid P.
3.9. Deskripsi Karya sastra Jawa Modern
1. RANGSANG TUBAN, Padmasoesastra, 1913
Ceritanya Pangeran Warihkusuma akan menikahi Endang
Wresti. Penggambaran wanita dalam sebuah Historiografi tradisional sangat
lengkap. Tidak hanya wanita, untuk menggambarkan situasi dan suasana alam.
Endang Wresti digambarkan sebagai wanita yang cantik laksana dewi dan bidadari
kahyangan. Ketika itu Raden2 Warsakusuma menjadi raja di Tuban menggantikan
ayahnya yang sudah meninggal3 mengantarkan kakandanya melamar Endang Wresti.
Melihat wajah dan tubuh Endang Wresti yang aduhai bagai
gitar Spanyol, Raden Warsakusuma malah jatuh hati padanya. Dia merasa iri
melihat kakandanya menikahi wanita secantik Endang Wresti. Timbul keinginan
Warsakusuma untuk memiliki Wresti. Dan setelah Warihkusuma memboyong Wresti,
Warsakusuma melakukan fitnah terhadap kakandanya, yang berakibat diusirnya
Warihkusuma dari Kerajaan Tuban. Berhasil mengusir kakandanya, Warsakusuma
menikahi Wresti dengan “paksaan”. Nantinya lahir seorang anak dari “perkawianan
paksa” ini yang bernama Udakawimba.
Raden Warihkusuma yang terusir dari Kerajaan Tuban
melalang buana berkelana ke hutan. Sampai suatu ketika dia sampai pada suatu
kerajaan yang bernama Banyubiru. Di kerajaan ini Warihkusuma mengabdi kepada
Prabu Hertambang, Raja Kerajaan Banyubiru. Suatu ketika Warihkusuma mengaku
kepada Sang Prabu bahwa dia adalah seorang pangeran dari nagari Tuban yang
diusir oleh Raja Tuban. Mendengar kisah ini Prabu Hertambang merasa trenyuh
hatinya.
Melihat kinerja dari Warihkusuma, Prabu Hertambang
menjadikannya sebagai Adipati (bagian dari keluarga raja). Dan Sang Prabu
berniat untuk mengawainkannya dengan putrinya yang bernama Dewi Wayi. Dewi Wayi
ini merupakan putrid satu-satunya dari Prabu Hertambang yang nantinya akan
menggantikan bertahta di Kerajaan Banyubiru. Dewi Wayi merupakan putri yang
hebat dalam seni berperang dan strategi. Karena itulah Prabu Hertambang mengawinkan
putrinya dengan Warihkusuma.
Raden Warihkusuma dan Dewi Wayi akhirnya menikah. Tapi
terjadi suatu peristiwa yang buruk. Ketika Wayi melahirkan putrid pertamanya,
dia meninggal. Permaisuri Prabu Hertambang menuduh Warihkusuma sebagai “biang
sial” yang menyebabkan putrinya,Dewi Wayi meninggal. Sang Prabu pun juga
ikut-ikutan menuduh Warihkusuma sebagai “biang kerok”. Hal ini berdampak
diusirnya Warihkusuma dari Nagari Banyubiru. Tidak hanya Warihkusuma yang
diusir. Anak dari perkawinannya denga Wayi juga ikut dibuang dengan dialirkan
di sungai. Anaknya nantinya ini ditemukan oleh Kyai Bulud Wulusan dan
menamakannya Rara Sendang4. Rara Sendang ini nantinya akan menjadi istri dari
Udakawimba.
Kasihan ya Raden Warihkusuma ini, mengalami pengusiran
sampai dua kali. Dia berkelana lagi dan menjadi pertapa. Tapi dalam kisah serat
ini, Warihkusuma bermimpi bertemu dengan istrinya Endang Wresti. Nah mimpi
inilah yang membawa Warihkusuma kembali ke Tuban. Ternyata Raja Tuban yang
tidak lain adalah adiknya yaitu Prabu Warsakusuma telah meninggal. Pemeritahan
kerajaan sementara dipegang oleh Patih Toyamarta.
Patih Toyamarta sangat senang dengan kembalinya
Warihkusuma, karena patih sangat sayang dengan Warihkusuma. Warihkusuma pun
menjadi raja di Tuban dan bertemu lagi dengan Endang Wresti. Tapi ada yang
mengganjal di hati Prabu Warihkusuma, yaitu anak yang lahir dari “kawin paksa”
Wresti dengan Warsakusuma yang bernama Udakawimba. Ketidaksukaan Warihkusuma
dengan Udakawimba berdampak dengan diusirnya Udakawimba dari Kerajaan Tuban.
Sebenarnya Udakawimba tahu kalau dirinya bakal diusir.
Akhirnya dia ganti yang berkelana. Sampai akhirnya dia sampai di sebuah desa
yang disebut Sumbereja. Di desa ini Udakawimba berguru agama Islam dengan Kyai
Wulusan. Udakawimba merupakan orang yang cerdas, dia sangat ahli menata kota, membuat benteng,
dan strategi perang. Karena itulah Ki Wulusan ingin Udakawimba menikahi
putrinya yang bernama Rara Sendang. Dan akhirnya mereka pun menikah.
Udakawimba senang sekali bertapa. Suatu ketika dia bertapa
di sebuah gunung dan menemukan sebuah istana yang didalamya terdapat banyak
sekali emas. Emas inilah yang menjadi modal Udakawimba untuk membangun Desa
Sumbereja menjadi sebuah kota
yang mewah. Desa ini dipersiapkan Udakawimba untuk menyerang Kerajaan Tuban.
Rupanya Udakawimba masih sakit hati karena Prabu Warihkusuma mengusirnya.
Akhirnya tibalah waktunya untuk menyerang Kerajaan
Tuban. Udakawimba sangat ahli dalam taktik perang. Dengan mudahnya dia dan
pasukannya menerobos masuk hingga ke pusat Kerajaan Tuban. Serangan ini
mengakibatkan Prabu Warihkusuma melarikan diri ke hutan dan berencana
menanggalkan pakaian kebesarannya dengan menjadi biku.
Di Kerajaan Banyubiru, Prabu Hertambang telah
menghembuskan nafas terakhir. Tahta kerajaan diberikan kepada Putrinya, Dewi
Wayi5. Selama Ratu Wayi bertahta, rakyat Banyubiru aman sejahtera. Suatu ketika
Dewi Wayi ingin berkelana membaur dengan rakyatnya.
Sampai suatu ketika dia sampai di sebuah gunung. Di
gunung itu bertapa seorang biku. Dan ternyata biku itu adalah Raden
Warihkusuma. Warihkusuma kaget ternayta istrinya, Dewr Wayi masih hidup.
Akhirnya mereka bertemu dan melepaskan rindu. Keesokan paginya mereka kembali
keKerajaan Banyubiru.
Warihkusuma menceritakan tentang keadaannya kepada
istrinya juga tentang serangan dari Sumbereja. Dia meminta bantuan istrinya
untuk menghadapi pasukan Desa Sumbereja. Dewi Wayi bersedia membantu suaminya.
Ketika itu Kerajaan Banyu biru mendapat serangan dari Desa Sumbereja.6. Tapi
dengan kecerdikan dan keahliannya, Dewi Wayi berhasil memukul mundur pasukan
Udakawimba (Desa Sumbereja).
Perang masih berlanjut. Strategi demi strategi dilakukan
oleh Udakawimba maupun Wayi. Mereka melakukan gelar pasukan (formasi pasukan
tempur) untuk saling menyerang. Tapi akhirnya Udakawimba kalah, karena Wayi
menggunakan strategi Gelar Garuda Melayang. Strategi yang menyerang dari udara
dengan menaiki sebuah benda yang bisa terbang7.
Setelah menyerah, Udakawimba disuruh oleh Wayi untuk
membawa istri dan mertuanya untuk menghadap. Dewi Wayi tertegun dengan istri
Udakawimba yang amat rupawan8. Kemudian dia berrtanya kepada Ki Wulud apakah
Rara Sendang adalah anaknya? Ki Wulud mengaku bahwa Rara Sendang bukan anak
kandungnya. Rara Sendang ditemukan oleh Ki Wulud di Sungai dan merawatnya
hingga dewasa. Wayi menjadi curiga bahwa Rara Sendang adalah anaknya yang
dibuang disungai. Dan dia semakin percaya kalau Rara Sendang adalah anaknya
ketika Ki Wulud memperlihatkan keranjang tempat Rara Sendang dibuang.
Akhirnya terjadi reuni keluarga. Udakawimba yang
merupakan suami dari Rara Sendang diampuni dan boleh menjadi bagian dari
keluarga Kerajaan Sendang Biru. Raden Warihkusuma juga memaafkan tindakan dari
Udakawimba yang menyerang Kerajaannya.
Serat ini menceritakan intrik dalam suatu keluarga.
Dalam suatu kerajaan, dihuni oleh kerabat-kerabat dari raja itu sendiri. Jadi
ada hubungan keluarga antar kerajaan jaman dahulu.
2. SUPARTO BRATA’S OMNIBUS
Roman telu dadi siji: Astirin Mbalela, Clemang-Clemong,
Bekasi Remeng-remeng. Ditambah oncek-oncekan bab novel-novel kuwi dening Darni
Ragil Suparlan, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, FBS Unesa Surabaya.
Astirin Mbalela: Perjuwangane wanita mudha tumaruna aran Astirin anggone
ngranggeh gegayuhane minangka wanita kang ora mung pasrah marang kungkungane
budaya lan kahanan, nanging ndarbeni kekuwatan lan jatidhiri. Crita iki ora
mung isine wae kang mentes, bungkuse kang dumadi saka paraga, alur, lan latar,
uga ginarap kanthi mateng. Clemang-Clemong: Kang nambahi ngese carita iki anane
tembung-tembung kang ngemu teges erotis. Kaya ta ‘aku seneng karo susune Mbak
Jujur’. Nanging rinasa ora porno, amarga dibungkus kanthi permati. Bekasi
Remeng-remeng: Iki crita genre detektif sing dadi kadibyane pengarange. Nanging
ora nyuguhake alibi kang kuwat lan muyeg kaya modhele roman seri Detektip
Handaka. Luwih wigati pangripta ngaturake wawasane prekara kalungguhane kaum
wanita, para wanita kang mandhiri, lantip, uga kendel, sawijine emansipasi kang
mligi Jawa. Wanita bisa mandhiri lan dikurmati dening priya, nanging uga ora
perlu ninggalake titah kodrate, kaya ta ditresnani, mangun bale wisma, duwe
anak, nduweni tindak-tanduk kang alus, tetep nglungguhi tata susila utawa kasusilan
Jawa.
3. JARING KALAMANGGA.
Sanggar, sawenehe wakil direktur perusahakan dagang
mbutuhake jurutulis kanggo kantor cabange sing ana ing Tretes, kutha cilik ing
wilayah pegunungan. Dheweke ngirimake surat
panggilan marang calon jurutulise sing anyar supaya gage mlebu nyambutgawe.
Jurutulis anyar mau jenenge Handaka, pakaryane dadi detektif. “Sing dibutuhke
niku jurutulis. Ning sing sampeyan timbali kok detektif? Enten napa?” Lan kuwi
uga dadi pitakone para sing maos novel iki. Nimbali detektif mesthi ana bab
kang ngenani prakara kriminal. Buku iki pancen crita genre detektif.
4. EMPRIT ABUNTUT BEDHUG.
Magerip malem Jumuwah mambu kutug, Jarot numpak sepedhah ngliwati praliman Blawuran Surabaya, srempetan karo sepedhahe cah wadon. Ana kanthonge cah wadon mau sing mencelat saka setange. Dijupuk Jarot, diulungake marang sing duwe. Nanging bocahe nampik kipa-kipa, jare kuwi dudu kanthonge. Apa isine kanthong? Jebul buntute crita perlu karo panylidikane Detektif Handaka. Crita misteri kriminal.
5. DOM SUMURUP ING BANYU.
Iki crita spion Jawa, kaya dene James Bond, ora kalah muyege karo 007. Herlambang spione Walanda nlusup menyang dhaerah RI, saperlu njupuk formula kimia. Kajaba kepranggulan mungsuh uga dikancani wong ayu kenalan ing ndalan, Ngesthireni, jebul ya kanca spion. Ngesthireni sing kudu memba-memba dadi wong RI, ora kena nganggo kutang nylon, underok sutra, dilucuti dening Herlambang. Malah banjur diprawasa pisan, ben ora prawan maneh. Mengkono kurbane wong dadi spione Walanda jaman taun 1948. Apa para spion mau kasil maneni tugase? Kepriye wong RI anggone nanggulangi?
6. LELAKONE SI LAN MAN.
Si pinter, nanging lelaranen. Man bodho, nanging waras. Kepengin weruh sepur, Man ngeterake goncengan pit saka ndesane. Tekan kutha, Si kumat, tumekane pati. Digawa mulih dening Man goncengan pit. Kuwi salah siji crita ing kumpulan 20 crita cekak. Para maos bisa melu jengkel marang tumindake dr Hasan, Uun, lan Marleni, upamane ing cerkak Pasien Pungkasan, utawa melu gronjalan atine nalika maos basa ragam dhialek Surabaya kang ethes, nggemesake, ing cerkake Ruwete Benang Tenun.
Tirto Suwondo, dkk: Antologi Biografi PENGARANG SASTRA JAWA MODERN,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_baru#Daftar_Cuplikan_Karya_Sastra_Jawa_Baru)
Hutomo, Suripan Sadi. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa. Jakarta: Offset Bumirestu.
Hutomo, Suripan Sadi. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa. Jakarta: Offset Bumirestu.
Komentar
Posting Komentar