Sejarah Perkembangan Sastra Jawa Pra Kemerdekaan
Sastra merupakan
sebuah karya yang digunakan sebagai sebuah objek penelitian yang memuat sumber
informasi mengenai sebuah peradaban berdasarkan perilaku, nilai, dan tata cara
yang menjadi sebuah identitas dari suatu kalangan masyarakat. Namun kebanyakan
orang menganggap bahwa sastra hanya semata-mata sebagai karya seni saja,
padahal pada hakikatnya karya sastra memiliki banyak ulasan mengenai sebuah
gejala yang terjadi di dalam karya tersebut. Penilaian karya sastra tidak akan
dapat dilakukan secara mendalam apabila kita tidak memahami bahwa karya sastra
tersebut memiliki keindahan pada isi yang terdapat karya tersebut berhubungan
dengan apa yang dituju oleh pengarang, yaitu mengenai masyarakat itu sendiri
beserta ciri khasnya. Dari hal tersebut menunjukan bahwa sastra yang berkembang
di Jawa memiliki sesuatu yang menarik untuk dikaji.
Seiring berjalannya waktu, terjadi peristiwa-peristiwa
pada masyarakat Jawa yang mengakibatkan banyak perubahan di dalamnya termasuk
ketika berakhirnya era kapujanggan yang ditandai dengan wafatnya R.Ng.
Ronggowarsito sebagai pujangga terakhir dari era kerajaan di Jawa. Namun juga
terdapat faktor yang memengaruhi perubahan tersebut, ditandai dengan: pesatnya
peningkatan jumlah penduduk, sejak awal tahun 1900-an mulai banyak masyarakat
melek huruf, perubahan Masyarakat Jawa juga diakibatkan oleh kebangkitan
nasionalisme, keinginan Masyarakat Jawa terhadap Bangsa Barat atas kemerdekaan,
lenyapnya hubungan masyarakat feodal.
Sebelumnya,
Sastra di Jawa hanya milik masyarakat golongan atas seperti raja, para pejabat
pemerintahan dan para keturunan raja. Namun setelah terjadinya faktor-faktor di
atas, seluruh lapisan masyarakat pada masa itu dapat menuangkan idenya melalui
sastra. Karena adanya pengaruh Barat, bentuk dan isi karya sastrapun mengalami
banyak perubahan. Perbedaan tersebut terllihat sangat jelas. Dalam penyajian
karya sastrapun juga berbeda di antara zaman kapujanggan sampai dengan Sastra
Jawa modern. Sastra Jawa karena pengaruh Barat sudah menyajikan sebuah karya
sastra kedalam sebuah prosa dan isi ceritanya pun bukan seperti pada masa
kerajaan di Jawa Klasik yang menceritakan mengenai kehidupan di Istana,
diwujudkan dalam sebuah tembang.
Namun
sastra yang masih tetap berkembang adalah sastra lisan, karena sastra lisan
memiliki kebebasan, dalam artian boleh dilakukan oleh siapapun tanpa ada
batasan antara golongan atas maupun rakyat jelata dan sastra lisan menjadi
berpengaruh sangat kuat karena keaadaan tersebut. Hal tersebut menjadi sebuah
anggapan bahwa sastra merupakan sebuah ucapan secara lisan yang harus
didengarkan. Dengan perkembangnya pendidikan pada masa itu, mebaca merupaka
sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mendaptkan informasi, berbeda dengan
mendengarkan. Namun kegiatan membaca bukan sebagai sarana untuk menghibur, hal
tersebut mangakibatkan timbulnya anggapan bahwa sastra sebagai sarana hiburan
tidak dianggap sebagai sastra namun hanya dianggap sebagai bacaan saja.
Sedangkan sastra yang sebenarnya adalah Sastra Klasik yang sudah turun temurun
dan memiliki sebuah isi yang begitu mendalam. Sastra Klasik dalam bentuk puisi
atau tembang disajikan dalam sebauh nyanyian secara lisan, sedangkan prosa yang
diakui sebagai sebuah sastra hanya dapat dijangkau oleh masyarakat golongan
atas yang mampu memiliki kesempatan bersekolah dan dapat mengerti mengenai
Bahasa Belanda namun karena keterbatasan masyarakat terhadap Bahasa Belanda,
mengakibatkan tujuan dari sastra sebagai sebuah kegiatan yang menghasilkan
sebuah penuangan dari kreatifitas tidak
tercapai.
Sebelum
kemerdekaan, sastra lisan yang terdapat di dalam kalangan Masyarakat Jawa masih
sangat populer seperti pertunujkan semalam suntuk, kethoprak, ludruk dsb. Namun
karena penyampaiannya yang tak lazim dan penuh dengan improvisasi, sinopsis atau
naskah dari cerita yang disampaikan dianggap sebagai sastra itu sendiri.
Kurangnya
sastra tertulis dalam Bahasa Jawa memunculkan anggapan bahwa Masyarakat Jawa
telah kehilangan kesusastraan dalam kehidupannya. Hal tersebut didukung dengan
munculnya pendapat bahwa dengan kematian Ronggowarsito menjadi titik akhir bgai
masyarakat jawa dalam bersastra (G.W.J. Drewes dalam Oriens Extremus, 1974).
Namun
dalam perkembangannya hingga saat ini, Karya Sastra Jawa terbagi menjadi dua
bagian antara lain sastra modern dan sastra tradisonal. Sastra tradisonal
terikat pada suatu konvensi yang telah turun temurun dari generasai ke generasi
berikutnya. Sastra tradisonla disajikan ke dalam sebuah puisi yang menggunakan
bahasa puitis yang indah dan sebagian menggunakan bahasa kawi, contohnya adalah
macapat. Namun cara penyampaian karya
sastra tersebut dengan cara dinyanyikan. Sastra Jawa Tradisional pada waktu
tertentu sering digunakan dalam sebuah acara pagelaran ataupun yang lainnya
dengan membawakan cerita mengenai sebuah kisah pada masa lalu di suatu Kerajaan
Mataram ataupun yang lain dalam bentuk babad, ataupun serat.
Sastra
lisan yang bercorak tradisonal juga memiliki segi modern, dalam seni pagelaran
wayang misalkan, walaupun konteks yang diceritakan merupakan sebuah karya
tradisonal, namun dapat dikaitkan dengan kejadian- kejadian modern. Hal
tersebut juga dikarenakan pengaruh lingkungan.
Naskah
wayang yang dihasilkan baik masa lalu maupun masa sekarang tidak dapat
dibandingkan dengan naskah yang ada pada suatu pertunjukan teatrikal bangsa
barat yang di pertontonkan dengan sesuatu yang baru. Sastra Pewayangan yang ada
di Masyarakat Jawa tidak perlu adanya sebuah perubahan karena adanya konvensi
atau pakem yang berlaku, walaupun pementasan dengan lakon yang sama pernah
dipentaskan oleh seorang dalang, dalang yang lainnya boleh menapilkannya.
Selain wayang kulit dan wayang golek, sastra lisan yang berkembang di daerah
pesisir yaitu kentrung dan jemblung yang menceritakan selain cerita sejarah:
Ajisaka, Damarwulan, dll. Sedangkan jemblung menceritakan mengenai menak yang
menjadi dasar reptoar wayang golek.
Tradisi
wayang dan kentrung merupakan tradisi yang berkembang dikalangan masyarakat
dengan menyajikan cerita yang dapat dimanipulasi dan disesuaikan secara bebas
sesuai keadaan lingkungan sekitar dan secara perlahan dapat memoderenisasi
teknik dan relevansi baru.
Wayang merupakan sebuah bentuk pengembangan dari
sastra jawa lisan terutama wayang wong yang mengadopsi cerita wayang kulit
namun peran bobeka sebagai alat peraga yang menjadi karakter cerita dalam
wayang digantikan oleh manusia. Sedangkan kethoprak merupakan seni peran yang
menyajikan seni peran sebagai wujud dari sastra lisan.
Kethoprak
dikenal sebagai kethoprak lesung, pada mulanya tahun 1912 masyarakat pada masa
Kasuhunan Pakubuwono X untuk menghibur masyarakat yang kala itu terkena wabah
pes. Disebut kethoprak lesung karena pada saat itu untuk mengiringi kethoprak
digunakan lesung sebagai pengiringnya.
Pada
tahun 1924 hingga 1926 kethoprak hadir dengan pemain dan pengiring yang lengkap
dan menjadi sangat terkenal di kalangan masyarakat Yogyakarta pada saat itu dan
cerita diperbanyak, mengadopsi dari cerita cerita babad dan menak dan kisah
kisah historis lainnya yang diadaptasi dari cerita kentrung.
Seiring
perkembangan zaman, kethoprak mengalami beberapa perubahan tepatnya tahun 1938
dimana jogetan digantikan oleh penekanan pemain pada kostum dan properti dan
disiarkan di Radio Republik Indonesia di Yogyakarta pada masa peperangan.
Selanjutnya adalah ludruk yang berkembang pada masa PD II dimana ludruk
berkembang di Jawa Timur tepatnya di Mojokerto. Ludruk berisi tentang sebuah
sastra lisan yang mengisahkan Besut dan Asmunah sebagai seorang Suami dan
Istri. Ludruk bergenre komedi dan banyak membahas mengenai fenomena sosial yang
disajikan dengan pemetansan yang jenaka namun masih memerhatikan fisafat yang
dalam.
Perkembangan
sastra tertulis di Jawa mulai mengalami perkembangan dengan adanya pengaruh
budaya barat yang menyajikan karangan bebas, novel, cerita pendek, dll. Dalam
hal tersebut menyatakan bahwa Sastra Jawa mulai memasuki era modern dengan isi
yang terkandung dalam karya sastra tersebut merupakan sebuah gambaran
masyarakat Jawa yang mulai menulis karangan dalam bentuk cerita pendek maupun
yang lainnya. Pada masa itu Sastra Jawa Modern juga dikenal sebagai Sastra Gagrag Anyar. Tahun 1932 hingga
1943 C.F. Winter banyak menulis bacaan-bacaan yang mudah dipahami oleh pelajar
yang ada di Jawa dengan mengubah hasil- hasil Sastra Jawa Kalsik menjadi sebuah
prosa yang mudah dipahami. Cerita Lelampahan-lelampahanipun
Raden Mas Arya Purwa Lelana (Batavia:1865) adalah kisah perjalanan
dalam yang ditulis selayaknya sebuah
kegiatan jurnalistik. Cariyos Nagari
Walandi (Batavia:1876), Randa Guna Wecana oleh Surya Wijaya dll.
Namun Justru Ki Padmasusastra-lah yang sangat berjasa dan berpengaruh besar
dalam pengajaran bahasa Jawa tahun 1900-an yang sukses melalui bukunya mengenai
tatanan bahasanya yang berjudul Layang
Parama Basa, Serat Wanabasa berisi
tentang kosa kata santun, Serat Patibasa yang
membahas tentang sinonim, Serat Bauwarna
yang berisi ensiklopedi, Serat Urapsari
tebtang percakapannya sehari-hari. Dan Layang Basa Sala.
Pada
awal tahun 1900-an hingga sekian, sastra jawa non tradisional berisi tentang
karangan fiksi yang menggunakan gaya jurnalistik, sedangkan karya sastra prosa
berupa hiburan seperti novel belum banyak diminati oleh kalngan masyarakat
Jawa. Novel yang berkembang. Segala upaya dilakukan untuk memperkenalkan novel
supaya lebih populer, namun segala upaya tersebut gagal, baru kemudian ketika Balai
Pustaka (Kantoor der Volkslectuur) melakukan upaya dengan memperkenalkannya
di perpustakkan, dan berkembangnya novel sebagai sastra Jawa Modern baru bisa masuk bersamaan dengan
datangnya pengajaran Eropa.
Balai
Pustaka menjadi lembaga yang berperan aktif dalam mengembangkan karya sastra
modern dengan memberikan gambaran mengenai karya-karya bahasa Jawa. Sastra Jawa
modern yang mulai berkembang pada mulanya diterbitkan Balai Pustaka yang pada
awalnya hanya buku mengenai fiksi dan ajaran moral yang jelas. Namun buku yang
berisi ajaran moral belum banyak memiliki arti
sastra. Seperti karya Padmasuwirja Serat
Panutan, Rara Kandreman oleh Kuswadiarja merupakan sebuah fabel.
Sebuah
buku yang menunjukan kelemahan Balai Pustaka terdapat pada orientasi buku Sindupranata yang berjudul Lelakone Amir yang menceritakan kisah
seorang anak yatim piatu yang sebenarnya bagus, namun kurang cocok dikalngan
siswa.
Pada
awal tahun 1900, buku novel terbitan Balai Pustaka memiliki pola yang sama,
yaitu menceritakan seorang tokoh sederhana dan memiliki budi pekerti luhur, hal
tersebut membuktikan bahwa Balai Pustaka masih menerbitkan novel yang memiliki
ajaran moral yang jelas. Namun hal tersebut mengakibatkan para pengamat sastra
pada masa itu menganggap novel hanya sebagai bacaan saja dibandingkan karya
Sastra Klasik yang lebih dahulu muncul.
Sejak
dari awal penerbitan Balai Pustaka juga selalu menerbitkan karya sastra yang
menggunakan gaya jurnalistik, memuat informasi yang menonjol dan fiksi yang
sering diabaikan. Hal ini menjadi cikal bakal sebuah karya yang bergenre khusus
bercorak esei. Hal tersebut merupakan sesuatu yang memiliki kesamaan dengan
sebuah tradisi baik lisan maupun tulisan yang bersifat historis. Dalam periode
sesudah peperangan, kisah sejarah populer serung dibuat sekuel atau bersambung
namun belum dapat disebut sebagai novel sejarah maupun dalam bentuk esei.
Periode baru sastra
Jawa modern ditandai dengan terbitnya novel Serat
Rijanta yang telah terbebas dari
ajaran moral. Dalam novel tersebut, isi cerita menjadi semakin menarik dan
kompleks karena selain sudah tidak terpaku pada suatu hal, tema, alur dan unsur
lainnya semakin menarik. Tema pada novel tersebut memuat fenomena sosial, dan
mengenai kehidupan seorang pemuda dan lebih masuk kedalam kehidupan
sehari-hari. Buku Jayengutara yang berjudul Mitra
Musibat yang berisi tentang persoalan lama masyarakat Jawa yang ketagihan
segala candi beserta akibatnya. Yasawidagda dalam bukunya berjudul Jarot yang menceritakan tentang sebuah
mafia yang memonopoli candu. Dalam bukunya yang lain antara lain ditahun
1920-an Purasani, Kirti Njunjung Draja, dan
Ni Wungkik ing Benda Growong
menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa bagian tengah pada masa itu. Namun
karya lain dari Yasawidagda yaitu Kraton
Powan dan Mira Darma merupakan
novel yang menceritakan tentang sejarah, sedangkan Bocah Mangkunegaran justru termasuk ke dalam golongan gaya
jurnalistik. Sasraharsana dalam bukunya Mrojol
Selaning Garu, ia menceritakan mengenai kehidupan sosial seorang pemuka
agama bernama Ki Kasan Ngali yang menerima ujian dengan lenyapnya rumahnya oleh
banjir di banyumas. Karyanya yang lain yaitu Banda Pusaka menceritakan seorang laki-laki bernama Wahyana yang
dirawat oleh seorang pembantu rumah tangga karena wafatnya ibu dari Wahyana,
dan meraih kesuksesasnnya menjadi seorang wedhana. Penulis lain yaitu Kamsa
dalam bukunya Supraba lan Suminten,
menceritakan seorang anak laki-laki yang berasal dari keluarga yang baik-baik
yang menjadi gelandhangan dan terpaksa hidup dan bekerja keras dan menjadi
orang yang sukses diakhir kisahnya.
Karya Danuja Tumusing Lampahipun
Tiyang Sepuh, Karya Tubiran Yatawiharja Kontrolir
Sadiman, dan M. Prawisumarja Ikhtiar
Ngupados Pasugihan semua karya tersebut
memiliki gaya yang sama, yaitu menceritakan keadaan sosial seorang tokoh
menjadi mapan karena rajin berusaha. Dari kesimpulan tersebut menyatakan bahwa
sastra jawa modern pra kemerdekaan berisi tentang masalah sosial yang terjadi
dalam karya sastra pada masa itu.
Referensi
Ras, J.J.1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta:
Grafitipers.
Membaca artikel ini serasa membaca buku "Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir", ternyata setelah saya lihat referensinya memang hanya itu. Perlu lebih banyak referensi. (Mey Lusi)
BalasHapusMenurut yang saya baca masih banyak penulisan yang salah,kurang huruf atau kesalahan penulisan misalnya
BalasHapussebauh nyanyian secara lisan,
Yang benar sebuah.
(Elma Ayu Suryani)
Apakah ada dari referensi lain Gan?. Dari artikel anda juga banyak yg typo.
BalasHapus(Ghulam Rosikh)