SASTRA JAWA
SASTRA
JAWA
Dalam
bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta, dari akar kata
‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk/instruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana sehingga sastra
berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran. Kata
sastra yang biasanya diberi awalan ‘su’ yang berarti baik atau indah,
sehingga menjadi susastra. Memiliki arti sebagai pengajaran atau petunjuk yang
tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah.
Sastra
mengalami perkembangan dari masa ke masa seiring dengan perkembangan zaman.
Karya sastra merupakan cermin keadaan sosial budaya tertentu karya sastra juga
dipakai sebagai materi untuk mengungkap suatu budaya yang telah hilang
jejaknya. Sastra Jawa merupakan salah satu hasil dari budaya Jawa dengan media
lisan atau tulisan yang menggunakan bahasa Jawa. Sastra Jawa dalam bentuk
tulisan dibedakan menjadi dua yaitu: Prosa (gancaran) dan Puisi (tembang).
Berkembangnya sastra Jawa dari periode sebelumnya ke periode berikutnya selalu
meninggalkan karya sastra dengan ciri khasnya masing-masing. Sastra Jawa banya
di pengaruhi oleh budaya asing yang masuk ke tanah Jawa, pengaruh budaya asing
yang paling menonjol adalah budaya Hindu dari India (masa Jawa Budha dan Jawa
Hindu), dan budaya Arab.
Sastra
jawa terbagi menjadi dua bagian yaitu: sastra tradisonal yang masih
terikat oleh patokan-patokan yang ditaatiturun-temurun dari generasi ke
generasi dan sastra modern yang merupakan hasil dari rangsangan kreatif
masyarakat modern. Sastra jawa tertulis tradisional sebagian besar diubah dalam
matra macapat. Jenis sastra ini sering menggunakan kata-kata puitis khusus dan
segala jenis arkaisme. Pemilihan
matra dengan lagunya tergantung pada isi naskahnya, misalkan teguran, nasihat,
serius, cinta asmara, nada keras dan lainnya. Sedangkan sastra modern novel,
cerita pendek, esai atau sajak merupakan genre sastra barat yang belum lama
menjadi bagian dari sastra jawa. Perkembangan sastra modern di Jawa
mula-mulanya agak lambat karena genre-genre baru yang bersangkutan didatangkan
dari luar negeri didalam suatu periode ketika masyarakat jawa belum siap
menerimanya dan juga belum membutuhkannya. Genre barat masuk kedalam sastra
jawa sejalan dengan masuknya pengajaran eropa ke dalam masyarakat jawa. Novel
merupakan genre sastra yang di negeri barat.
Dalam perkembangan sastra jawa terdapat beberapa peristiwa penting yang
berpengaruh terhadap masyarakat masyarakat jawa adalah: 1) pesatnya pertambahan
jumlah penduduk ; 2) kira-kira sejak tahun 1900 jumlah melek huruf semakin
bertambah; kedua hal tersebut telah mengakibtan
adanya perubahan masyarakat yang sangat besar dalam hal kebangkitan
nasionalisme, derap ke arah kemerdekaan, serta lenyap hubungan masyarakat
feodal. Dalam perkembangannya sastra jawa dipengaruhi oleh Barat. Genre sastra
barat seperti novel, cerita pendek, esei, atau sajak bebas sering dimaksudkan
sebagai bacaan pribadi demi manfaat pribadi. Sastra jawa modern sebagai upaya
perlawanan terhadap sastra jawa tradisional yang dinilai mengekang atau masih
tunduk pada peraturan-peraturan tertentu. Sastra jawa modern mulai diperbanyak
dan dibaca ke luar keraton.
Contoh
tentang karya-karya yang ada di luar tradisi sastra klasik ialah biografi
Ranggawarsitayang ditulis oleh Padmawarsita atas anjuran D.Van Hinloopen Labberton
(Ranggawarsita sendiri seorang penulis prosa bermutu, meskipun masih dalam
kawasan sastra klasik), kemudian autobiografi Suradipura, sekretaris G.A.J.
Hazeu dan Serat Raga Pasaja, yang berisi catatan-catatan autobiografi ditulis
dalam prosa dengan bahasa jawa ngoko yang informal oleh Raden Sasrakusuma,
seorang guru sekolah, untuk kepentingan anak laki-lakinya sendiri yang juga
seorang guru.
R.Ng. Ranggawarsita dikenal sebaga
pujangga terakhir sastra Jawa. Serat Kalatidha merupakan salah satu karya
sastra termasyhur yang diciptakan R.Ng
Ranggawarsita. Sastra Jawa modern muncul bersamaan dengan munculnya penerbit
dan dan surat kabar, seperti penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Khabar
Bromartani (1885), Surat Khabar Retnodumilah (1895), Surat Khabar Budi Utomo
(1920) dan lain-lain. Pada masa ini tokoh sastra yang muncul adalah Ki
Padmosusatra yang disebut sebagai “tiyang mardika ingkang marsudi
kasussatran Jawi” atau orang merdeka yang menekuni kesusastraan Jawa.
Beberapa karya Ki Padmosusastra antara lain: Rangsang Tuban, Layang Madusaba,
Serat Pathibasa. Cariyos Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Welandi
karya RMA Suryasuparta merupakan karya yang berupa kisah perjalanan, selain itu
juga terdapat karya terjemahan dari sastra dunia, seperti Dongeng Setunggal
Dalu. Sastra Jawa modern periode 1920 – 1945 didukung sepenuhnya oleh
penerbit Balai Pustaka dan Majalah Panjebar Semangat.
Ras
(1985) menyebut sastra Jawa Moder sebagai “sastra Jawa gagrag anyar”
atau sastra Jawa model baru. Oleh Ras sastra Jawa modern dibagi menjadi dua periode, yakni
masa kebangkitan dan masa setelah kemerdekaan. Sastra jawa masa kebangkitan
dimulai dari kegiatan di Instituut voor de Javaansche Taal di Surakarta tahun
1832- 1843 terutama yang dihasilkan oleh CF, Winter. Kemudian muncul
pengarang-pengarang yang menulis karya-karya lainnya seperti Candranagara,
Suryawijaya, Padmasusastra, hingga ke karya-karya para pengarang yang masuk
dalam penerbit Balai Pustaka. Namun diduga bahwa pengarang sastra Jawa yang
karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka merupakan pengarang yang mendapat
dukungan dari pemerintah kolonial, mengingat penerbit tersebut milik pemerintah
kolonial.
Pada tahun 1920 novel yang
pertama diterbitka berjudul Serat Riyanto yang ditulis oleh RM
Sulardi. Mulai tahun 1935 cerita bersambung mulai berbembang dikalangan
pengarang yang kemudian disusul dengan
berkembangnya crita cekak yang dimulai pada tahun yang sama dan geguritan yang
muncul pada tahun 1941. Crita bersambung
dimulaioleh Sri Susinah dengan karyanya yang berjudul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala” ( PS No. 44 Tahun III, 2 November
1935), untuk crita cekak dimulai oleh Sambo dengan karyan berjudul “Netepi Kuwajiban” (PS No 45 Tahun III, 9
November 1935) sedangkan geguritan dimulai dengan “Dawaning Sastra” karya R. Intoyo dalam majalah Kejawen No 26
tanggal 1 April 1941. Untuk periode sastra Jawa modern setelah kemerdekaan
periode 1945 - 1966 dikuasai oleh generasi penuls tua yang mulai muncuk sebelum
1945, periodisasi Suripa Sadi Hutomo dan terakhir angkatan penerus yang mulai
tampil setelah tahun 1966. Periode selanjutnya adalah periode sastra majalah,
yakni 1966- sekarang.
Periodisasi Sastra Jawa
Berdasarkan Umurnya. Sebagai contoh adalah yang terdapat dalam Kapustakan
Djawi (1952) oleh Poerbatjaraka atau terjemahannya oleh Tardjan Hadidjaja
(1952). Meskipun buku tersebut tidak bertujuan menyusun periodisasi sastra Jawa,
namun tampak memberikan saran untuk itu. Kitab-kitab yang memang bercirikan
angka tahun tidak bermasalah. Adapun yang tidak mengandung angka tahun hanya
dapat dikenali dari ciri-ciri yang lazim untuk mengengenal umur kitab, misalnya
penyebutan nama seorang raja atau ciri-ciri lainnya.
Nama-nama
pengarang sastra Jawa oada masa prakemerdekaan dapat diketahui, tetapi riwayat
hidup, profesi, dan latar belakang kehidupan merea tdak banyak yang bisa
diungapkan. Hal ini terjdi karena pad masa itu ada tradisi penulisan riwayat
hidup pengarang, pada masa ini masih dipengaruhi kebiasaan pengarang sebelumnya
yaitu lebih suka menyembunyikan nama (anonim). Selain penerbit Balai Pustaka
pada masa itu ada pula penerbit yang disebut dengan penerbit non-Balai Pustaka.
Penerbit ini bukan alat dari pemerintah kolonial, sert tidak bertujuan
menciptkan mode, corak, bentuk, maupun isi, yang mencerminkan kepentingan
pemerintah kolonial.
Karya-karya sastra
yang terbitan non-Balai pustaka lebih berani mengungkap berbagai hal yang
berkaitan dengan masalah politik. Beberapa penerbit non-Balai Pustaka yang
berperan pada saat itu antara lain Paguyuban Pancasudara, Book Astra, Purnama,
Panjebar Semangat, Pusaka Surakarta dan seterusnya. Pada masa penjajahan Jepang
(1942-1945) Balai Pustaka sudah tidak lagi menjadi lahan subur bagi perebangan
para pengarang sastra Jawa. Pada masa ini semua bentuk kegiatan lembaga yang
didirikn pemerintah (kolonial) Belanda maupun swasta pribumi dan non-pribumi
dihentikan atau diubah untuk mendukung kepentingan Jepang.
Pada masa pengarang
masa Balai Pustaka sudah tidak lagi muncul, namun muncul nama Soebagijo I.N.
dan Poerwadhi Atmodiharjdo karena keduanya memng ditugasi oleh Jepang untuk
menangani rubrik berbahasa Jawa dalam Majalah Panji Pustaka yang sebenarnya
digunakan untuk melakukan propaganda oleh Jepang. Sehingga terkadang dengan
terpkasa menggunkaan nama samaran ketika melontarkan idealismenya agar
terhindar dari kecurigaan pemerintah Jepang.
Sistem
pengarang dan kepengarangan sastra Jawa modern sebelum Indonesia merdeka tidak
jauh berbeda dengan sistem kepengarangan pada sastra Indonesia umumnya.
Pengarang sastra Jawa pada masa kemerdekaan tidak lagi memiliki otoritas
sebagai seorang “pekerja sastra” yang karena tugas dan kewajibannya memperoleh
hak perlindungan dan pengayoman dari suatu lembaga tertentu. Para pengarang
sastra Jawa pada era kemerdekaan juga bukan satu-satunya kelompok sastrawan
yang menjadi pemegang kendali pertumbuhan kesusastraan di Indonesia. Pengarang
sastra Jawa hidup berdampingan dengan sastrawan lain yang mengarang dalam
bahasa Indoneia. Selain itu masyarakat yang menjadi sasaran pembacanya pun yang
bukan hanya menguasai bahasa Jawa, melainkan masyarakat menguasai berbagai
macam bahasa.
Ada juga persoalan lain yang menyebabkan kurang
dihargainya para pengarang sastra Jawa yaitu karena kualitas karya mereka
umumnya cenderung mengarah ke selera massa, picisan, dan stereotip. Jika
dibandingkan dengan karya-karya adiluhung seperti karya Ranggawarsita,
Mangkunegaran IV atau Jasadipura. Karena itu, tek heran jika di tengah
kegamangan masyarakat Jawa, banyak orang Jawa yang sebelumnya pembaca setia
karya sastra Jawa beralih ke sastra Indonesia.
Pengarang
sastra Jawa yang berprofesi murni (pengarang) ternyata sangat sedikit, hal itu
kareana adanya kenyataan bahwa pengarang bukanlah profesi yang menjanjikan,
baik dalam dala materi maupun popularitas. Sastra Jawa dapat bertahan hidup tidak
lebih karena peran dan bantuan patron-patron atau pengayom yang masih ada yang
bisa berupa lembaga-lembaga profesi, pers dan penerbit pemerintah maupun
swasta. Beberapa pengarang sastra Jawa perode Prakemerdekaan diantaranya:
·
ADI SOENDJAJA
Adi Soendjaja merupakan pengarang sastra Jawa prakemerdekaan
yang potensial namun jati diri dan keberadaannya tidak diketahui. Novel Indiani
merupakan hasil karya Adi Soendjaja yang ditulis dengan bahasa Jawa Krama yang
diterbitkan oleh Boekhandel Putra (t.t.). Gagasan-gagasan yang terdapat di
dalam novel Indiani tidak dapat dipahami secara lebih utuh dikarenakan
jati diri dan keberadaannya tidak diketahui.
·
ARDJASOEPARTA
Nama lengkapnya M. Ardjasoeparta, karyanya yaitu novel berjudul Swargning
Budi Ayu (Balai Pustaka, 1923) dan Subalidinata dalam Novel Jawa
Bru dalam Abad Dua Puluh. Jati diri M. Ardhasoeparta tidak dapat
diungkapkan secara pasti, yang pasti
bahwa M. Ardjasoeparta merupakan pengarang yang sezaman dengan Wirjawarsita
atau Kamsa yang karyanya diterbitkan tahun1923. M. Ardjasoeparta merupakan
seseorang yang menonjolkan modernitas menolak tradisi kawin paksa dan lebih
mementingkan kemandirian berpikir bagi generasi muda.
·
ASMAWINANGOEN
Walaupun latar belakang kehidupan, tanggal
kelahiran, perkawinan, kematian dan kondisi keluarganya tidak diketahui secara
pasti, Asmawinangoen merupakan pengarang sastra Jawa terbaik pada tahun
1925-1930. Ia menulis novel sejak 1926 hingga 1930 dan termasuk novelis yang
produktif. Novel karya Asmawinangoen antara lain Saking Papa Dumugi Mulya,
Mungsuh mungging Cangklakakan dan Pepisahan Pitlikur Taun.
Asmawinangoen merupakan pengarang prosa yang karyanya diterbitkan melalui Balai
Pustaka. Novel-novel karya Asmawinangoen dapat dikelopokkan menjadi dua, yaitu
novel detektif dan non-detektif. Karya Asmawinangoen masa prakemerdekaan di
antaranya Jejodhoan ingkang Siyal (1926), Saking Papa Dumugi Mulya (1928,
dua jlid), Mungsuh mungging Cangklakakan (1928, dua jilid), Pepisahan
Pitulikur Taun (1929, dua jilid) dan Merak Kena Jebak (1930).
·
ASMARA ASRI
Asmara Asri tidak diketahui secara pasti jat diri,
identitas, maupun biografinya ynag diduga sebagai nama samaran. Berdasarkan
novel yang di tulis Asmara Asri yaitu novel Kyai Franco bisa
dikatakan bahwa kemungkinan besar pengarang ini berasal dari Surakarta atau
Yogyakarta. Novel ini bernuansa Islam yang menceritakan kiprah perkumpulan
Muhammadiyah, novel Kyai Franco termasuk sebagai novel sejarah.
·
DJAJASOEKARSA
Nama lengkapanya L.K (Lurah Kanjeng) Djajasoekarsa.
Ia termasuk pengarang yang kurang produktif pada masa prakemerdekaan. Jati
dirinya sulit diketahui dan diduga bahwa ia berasal dari keluarga priayi yang
bekerja pada pemerintah kolonial Belanda. Novel Sri Kumeyar bisa
dikatakan sebagai nivel yang mewakili kepentingan pemerintah dalam menggiring
masyarakat pribumi agar menerima pemikiran dan budaya Barat. Hal ini menandakan bahwa Djajasoekarsa
merupakan pegawai pemerintah yang mendukung kebijakan kolonil. Novel Sri
Kumeyar mengangkat persoalan perubahan pola pikir masyarakat desa menuju
pola pikir masyarakat modern. Novel ini juga bukanlah novel yang mengankat visi
pengarang yang mengarah ke kehidupan Barat.
·
DJAKA LELANA
Djaka Lelana termasuk dalam kelompok pengarang
sastra jawa prakemerdekaan yang bigrafi atau jati dirinya tidak diketahuiyang
diketahui bahwa ia telah menulis novel Gambar Mbabar Wewados (Balai
Pustaka, 1923). Sama seperti Asmawinangoen dalam novel Mungsuh mungging
Cangklakakan, Djaka Lelana dalam novel Gambar Wewados juga termasuk
ke dalam kelompok pengarang cerita detektif.
·
DOKTER SOETOMO (1888-1938)
Soetomo nama kecilnya Soebroto lahir di Ngapeh,
Kabupaten Nganjuk, Kediri, 30 Juli 1888. Berasal dari keluarga priayi yang kuat
mengikuti adat dan tata cara Jawa. Pada awalnya Soetomo bekerja di Rumah Sakit
Zeding di Blora hingga tahun 1917 sebelum melanjutkan studi ke Eropa. Melalui
majalah Tempo, Suara Parindra, Suara Umun Suluh Rakyat
Indonesia, dan Panjebar Semangat Soetomo menjabarkan berbagai
gagasannya kepada rakyat dan mengajak mereka masuk ke dalam suasana kehidupan
modern. Antologi Puspa Rinonce (1932) merupakan kumpulan karya sastra
Soetomo yang merupakan ekspresi dari pengalaman perjalanannya ke Eropa dan
India. Dicetak ulang pada tahun 1938, 1940, dan 1959. Dalam Puspa Rinonce
juga menunjukkan bahwa antara kisah hidup (biografi) dan karyanya terdapat
hubungan yang sangat mendalam.
·
JASAWIDAGDA (1886 – 1958)
·
M. SAMOED SASTROWARDOJO (1894 – 1982)
·
MANGOENWIDJAJA (1844 – 1914)
·
PADMASOESASTRA (1843 – 1926) dll.
Masih banyak lagi pengarang-pengarang lainnya yang
muncul pada periode prakemerdekaan. Selain pengarang sastra Jawa periode
prakemerdekaan beberapa nama pengarang periode kemerdekaan antara lain:
·
A.Y. SUHARYONO (1952 - )
A.Y. (Antonius Yohanes) Suharyono lahir di
Yogyakarta, tepatnya di Suryoputran, pada 28 Juli 1952.
·
ACHMAD D.S. (1933 - 2002)
·
AGUS SOEGIYANTO (1938 - 2000)
·
ANY ASMARA (1913 - 1990)
·
BASOEKI RACHMAT (1937 - 1985)
·
BENNE SUGIARTO (1962 - )
·
DHANU PRIYO PRABOWO (1961 - )
·
CAHYARINI BUDIARTI (1972 - ) dll.
Demikian pembahasan tentang sastra Jawa dan
perkembangannya, sekarang ini sangat sulit untuk mencari novel-novel berbahasa
Jawa. Kebanyakan novel yang terdapat di toko-toko buku merupakan novel
berbahasa Indonesia dan hanya di penerbit yang menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa yang menjual novel
berbahasa Jawa. Semoga penjelasan diatas bisa menambah pengetahuan tentang
sastra Jawa dari masa ke masa beserta pengarangnya.
Daftar Pustaka
Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi
Ras, JJ.1985.Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir,Jakarta:PT Grfitipers.
Suwondo, Tirto, dkk.2006.Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa
Modern,Yogyakarta: Adi Wacana.
Zoetmulder, PJ.1985.Kalangwan, Sastra Jawa Kuna Selayang
Pandang. Jakarta:Jambatan
EYD sudah benar, tetapi penggunaan bahasa masih 99% sama dengan buku, alangkah baiknya membaca dulu dan diceritakan kembali dengan bahasa sendiri agar tidak dicap sebagai plagiat karya orang(Nur karisma)
BalasHapus