SASTRA JAWA ZAMAN PRA KEMERDEKAAN
Nama : Langgeng Hidayatullah
NIM : 2611416014
Prodi : Sastra Jawa
A.
Sastra
di Dalam Masyarakat Jawa
Sastra
telah diakui oleh para ahli sosiologi sebagai sumber informasi mengenai tingkah
laku, nilai-nilai, dan cita-citayang khas pada anggota-anggota setiap lapisan
yang ada di masyarakat. Sosiologi sastra adalah karya sastra yang tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat. Akan tetapi, sosiologi sastra sebagai bidang
penelitian sendiri justru masih sering diabaikan. Hal ini juga disebabkan
karena para penelaah sastra dan sastrawan terlalu menyibukkan diri memandang
karya sastra hanya sebagai sebuah karya seni dan pada pengarangnya saja,
sehingga mereka melupakan bahwa sastra merupakan gejala yang berisi
permasalahan yang sangat komplek, dan semua permasalahan itu harus mendapat
perhatian yang sama oleh para penelaah sastra. Selain itu, kita tidak dapat secara tepat menilai
sastra dalam periode waktu tertentu dan suatu daerah tertentu pula bila kita
tidak dapat melihat target kreatif pengarang terhadap sasaran masyarakat yang dituju dan dijadikan target kreatif
pengarang, terutama masyarakat jawa sudah banyak mengalami perubahan-perubahan
penting pada permulaan abad ini.
Perubahan-perubahan
penting tersebut seperti: a) pertumbuhan penduduk yang sanagt pesat; b) jumlah
melek huruf yang kira-kira bertambah sejak awal tahun 1900. Karena 2 perubahan
tersebut sangat membawa perubahan besar pada masyarakat Jawa, termasuk juga
semangat menuju kemerdekaan, mulai lenyapnya system masyarakat feudal, sastra
tulis yang tadinya hanya bisa dinikmati oleh golongan atas dan dimonopoli pun
sekarang masyarakat golongan bawah pun mulai bisa menjangkau nya. Selanjutnya,
karena adanya pengaruh Barat, genre-genre baru pun mulai bermunculan, dengan
bentuk dan isi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Di pihak lain, popularitas
berbentuk sastra lisan yang masih
lestari, yang golongan tak terpelajar pun bisa mengikuti, ternyata juga
memiliki pengaruh yang kuat. Hal itu yang menumbuhkan mindsite bahwa karya sastra tidak untuk dibaca tetapi untuk didengarkan.
Pikiran itu muncul karena
Pertumbuhan
penduduk yang pesat dan serempak dengan meluasnya pendidikan, mulai menumbuhkan
mindsite bahwa menbaca merupakan awal
dari segala seuatu yang berhubungan dengan pendidikan, bukan dengan hiburan.
Dengan demikian pula, penulisan prosa merupakan suatu kegiatan yang lazim
dilakukan oleh golongan terpelajar. Akan tetapi, hasil karya-hasil karya
tersebut belum dikatakan suatu karya
sastra, karena karya sastra yang sesungguhnya adalah karya sastra yang
adiluhung dan merupakan hasil karya dari golongan-golongan terdahulu. Karena
jenis sastra ini umunya berbentuk puisi yang biasa dinyanyikan dan didengarkan.
Prosa yang diakui nilai sastranya hanya tersedia bagi mereka yang bisa membaca
bahas Belanda saja. Namun karena Bahasa Belanda hanya tinggal bahasa asing
saja, maka jenis bacaan ini jarang sekali dapat memberikan dorongan menuju arah
kreatif sastra.
Setelah
kemerdekaan, Bahasa Belanda mulai semakin jarang digunakan, dan para pengarang
karya sastra menggunakan Bahasa Nasional yaitu Bahasa Indonesia. Periode inilah
mulai berkembang karya-karya sastra berupa prosa dan puisi dalam bahasa
Indonesia. Di periode ini pula mulai banyak bermunculan nama-nama sastrawan dan
pengarang seperti W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan masih banyak lagi. Namun
daripada itu, perlu di ingat bahwa sastra jenis baru ini terutama ditujukan
kepada golongan masyarakat terpelajar dan modern yang sudah menerima
emansipasi. Sedangkan sayangnya sebagian besar orang Jawa yang berjumlah
sekitar 60 juta atau bisa disebut sebagian besar, tinggal di daerah pedesaan
yang notabenmya belum memperoleh emansipasi tersebut.
Bentuk-bentuk
sastra lisan yang ditampilkan semalam suntuk seperti wayang, kentrung,sekarang
ini hanya sedikit mendapat perhatian dari mereka yang mempelajari sastra
modern. Karya sastra semacam ini disampaikan berdasarkan improvisasi dan kreasi
jalan ceritanya, sehingga pada zaman tersebut, sastra tulis jarang dijumpai.
Hal ini menyebabkan banyak orang beranggapan bahwa masyarakat Jawa miskin akan
karya sastra tulis.
Rangga Warsito merupakan orang terakhir yang
melakukan pekerjaan “pujangga keratin” model feudal. G.W.J.Drewes (dalam Oriens
Extremus, 1974) memperoleh pengetahuan bahwa dengan kematian tokoh Rangga
Warsito, maka rangsangan kreatif dalam sastra jawa pun berakhir.
Sastra
jawa tertulis yang ada di masyarakat sekarang ini dibagi menjadi dua bagian:
yaitu sastra tradisional yang masih terikat dengan patokan-patokan yang
ditaati turun temurun dari generasi ke generasi, yang sebagian diubah dalam
bentuk tembang macapat yang menggunakan tembung
kawi dan sastra modern yang
merupakan hasil rangsangan kreatif dalam masyarakat modern. Untuk penyampaian
karya sastra berupa tembang macapat sendiri, diadakan acara bersifat selapan
sekali (5x7hari), dengan duduk bersama, santai, semua orang mendengarkan
nyanyian oleh salah seorang yang mendapat giliran, kemudian dilakukan pembahasan
mengenai nyanyian tersebut. Biasanya karya tersebut berupa karya sastra yang
berupa sejarah, seperti Babad Diponegoro, Serat Wedatama karangan Mangkunegara
IV, serat Wulangreh karangan Paku Buwana IV. Jenis karya temnbang macapat ini
merupakan karya sastra yang adiluhung, dan mempunyai nilai filsafat yang sangat
dalam.
Di
pihak lain, sebuah pertunjukan juga merupakan sebuah karya seni yang unik dan
modernyang diwujudkan secara lisan, seperti pagelaran wayang. Yang mebuat
terlihat sangat tradisional yaitu permainan dalang dalam pagelaran wayang
tersebut. Meskipun bukan dari golongan terpelajar, namun oleh para penontonya
dianggap sebgai orang yang ahli dalam seni sastra. Seorang diri, ia menyajikan
pagelaran drama drama dalam rangkaian adegan yang berisi unsure-unsurf
penceritaan dan lukisan yang bersifat stereotype, diungkapkan dengan bahasa
puisi yang kuno, dialog-dialog yang setengah stereotype setengah bersifat
improvisasi, berganti dengan bagian-bagian naratif, dan diselang selingi dengan
sajak kuno (suluk).
Di
samping wayang kulit, di daerah-daerah tertentu juga ditemui pertunjukan wayang
krucil dan wayang golek yang dilakukan dengan bonek-boneka yang berasal dari
kayu pipih dan diberi pakaian lengkap., juga denga repertoar ceritanya
sendiri-sendiri, misalnya kisah Damarwulan, Siyung Wanara, Panji, dan siklus
Amir Hamzah. Disini pun terdapat hubungan dengan sastra klasik seperti
puisi-puisinya, meskipun tidak seklasik pagelaran wayang kulit. Adaptasi modern
dari cerita-cerita wayang dalam bentuk prosa berasal dari synopsis-sinopsis
yang digunakan oleh para dalangmerupakan feature
tetap dalam majalah dan surat kabar mingguan Bahasa Jawa, tetapi juga dapat
disangsikan apakah cerita-cerita semacam itu boleh dianggap sebagai sastra,
mengingat bentuknya yang kerap kali agak polos, sedangkan unsure fisiknya
biasanya tidak melebihi unsure cerita seperti yang diturunkan melalui tradisi.
Disamping
dalang wayang kulit, wayang krucil, maupun wayang golek, kita jumpai juga
tukang-tukang cerita kentrung dan jemblung, terutapa di daerah lembah sungai
Berantas, dan daerah antara Semarang dan Surabaya. Kentrung dan Jemblung adalah
nama-nama yang berasal dari iringan musik khusus untuk penceritaan cerita itu.,
yaitu dengan rebana-rebana kecil maupun besar. Kisah-kisah yang diceritakan
terutama tergolong pada tradisi pseudo-historis, misalnya kisah Aji Saka, Jaka
Tarub, roman Damarwulankisah-kisah para wali yang dipercaya ebagai penyebar
agama Islam di Jawa, atau pada cerita-cerita Arab dan Indo-Persia yang masuk ke
Jawa bersama-sama agama Islam. Cerita-cerita Jemblung tergolong pada siklus
Menak Amir Hamzah yang juga merupakan repertoar dasar wayang golek. Disini juga
terdapat jelas hubungan dengan sastra klasik, terutama nskah-naskah yang dapat
dihubungkan dengan zaman yang disebut dengan zaman Pesisir, kira-kira akhir
abad ke 15 dan abad ke 16.
Tradisi
wayang dengan radisi kentrung/jemblung memiliki kesamaan, yaitu keduanya
sama-sama merupakan tradisi hidup, dimana pemainya memiliki “demokrasi” dalam
menuangkan cerita-ceritanya sehingga sedikit dem,I sedikit mereka terus-menerus
memodernkan repertoar dan teklnik mereka dengan dimasukkan unsure-unsur modern.
Kemudian
sesuai perkembangan zaman, muncul sebuah kreatifitas baru dalam penyampaian
sebuah karya sastra. Lain hal nya denga pagelaran wayang yang memakan waktu
semalam sunttuk, pada tahun 1912 lahirlah Ketoprak
Lesung dengan waktu pageklaran lebih singkat dari pageklaran wayang di
atas. Sejarah lahirnya ketoprak lesung ini yaitu ketika banyak orang untuk
sementara ditempatkan di barak-barak kayu, dikarenakan adanya wabah pes yang
berjangkit, rumah-rumah bamboo mereka harus dimusnahkan. Untuk memberikan
hiburan kepada para pengungsi tersebut, Susuhuinan Pakubuwana X menghadirkan
seorang penari wireng dan seorang penyanyi wanita untuk mempertunjukkan
sandiwara sederhana, yang menceritakan sepasang petani pengantin baru yang
sedang melakukan pekerjaan sehari-hari nya. Sebagai alat pengiringnya, mereka
diberi seperangkat orkes yang terdiri dari 10 lesung , yang dimainkan dengan
duduk sambil memukul-mukul kayu, dan salah seorang sambil berdiri dengan antan
sebagai gong nya, dan disertai kentrung dan kendang . tontonan ini
dipertontonkan 2 kali seminggu tiap pukul 8-11 malam. Oleh karena rkesnya yang
istimewa itulah, maka pertunjukan ini dinamakan ketoprak lesung (ngetoprak
berate memukul atau menumbuk).
Ketika
wabah telah berlalu, oleh anak-anak muda dibentuk rombongan pemain, kemudian
mereka berkeliling desa mempertunjukkan ataupun mempersembahkan sandiwara
sederehana dengan mengangkat cerita-cerita rakyat seperti Ande-Ande Lumut,
Endang Tompe. Pertunjukan ini biasanya dimulai dengan tarian-tarian (joged), kemudian baru ceritanya
dimainkan. Rol nya sebagian besar dinyanyikan dalam tembang dengan diiringi
tembang-tembang macapat yang dimainkan oleh orkes yang terdiri dari lesung dan
ditambah dengan beberapa alat music gamelan.
Perkembangan
ketoprak lesung menjadi pertunjukan teater yang sebenarnya adalah ketika
menginjak pada tahun 1924-1926. Ketika itu ketoprak lesung yang diperkenalkan
di daerah Yogyakarta dan kemudian disana menjadi sangat populer. Pada waktu itu
dibentuk rombongan-rombongan dengan jumlah pemain yang lebih banyak dan dengan
iringan orkes yang lebih baik. Repertoar cerita juga diperbanyak, dengan
membawakan cerita Babad DEmak yang menggarap periode Majapahit dan Mataram,
disamping cerita-cerita tentang wali, siklus Menak Amir Hamzah dan beberapa
kisah tiongkok seperti kisah Sin Jin Kui
(Jaka Sudira) yang terkenal itu juga dibawakan pula. Karena banyak kesamaan
dengan repertoar kentrung, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kentrung, tradisi
yang mulai lenyap di Jawa Tengah ini
merupakan cikal bakal lahirnya ketoprak.
Memasuki
tahun 1938, unsure joged dihapuskan, namun kostum dan dekor lebih diselaraskan
dengan jalan ceita yang diambil, dan peranan wanita tidak lagi diperankan oleh
laki-laki. Jika dilihat dari sisi lain, meskipun ketoprak hanya sebuah
pementasan yang notabenya berasal dari pedesaan, namun persaingan dengan
bioskop-bioskop di kota tidak perlu dicemaskan. Karena selama dan sesudah
perang, ketoprak terus menunjukkan peningkatan nya yang pesat, malah mulai
merambah ke bentuk yang baru yaitu
ketoprak radio, yang pada saat itu disiarkan oleh Radio Republik Indonesia
(RRI) Yogyakarta. Melalui radio ini, ketoprak semakin menunjukkan
perkembanganya, mulai bisa direkam sehingga bisa dilakukan evaluasi untuk
pagelaran sebelumnya. Kemudia dari sini juga mulai ada penataan untuk naskah
yang lebih rapid an teratur, sehingga pemain dapat menjalankan dialog maupun
monolog dengan baik, dan pemain juga bisa menggunakan diksi yang lebih tepat lagi
sehingga pagelaran ketoprak bisa lebih dan lebih baik lagi kedepanya. Namun,
keharusan pemain untuk menghafal naskah dengan baik dan benar, mempelajari
naskah dan diksi nya, hal ini membuat unsure tembang macapat yang lama kelamaan
jarang digunakan dan terkesan menjadi kurang penting.
Jenis
pertunjukan yang tidak boleh diabaikan sebagai sastra yang hidup yaitu ludruk yang ada di daerah delta sungai
Brantas, yaitu Surabaya, Gresik, Sidoarjo,Bangil, Mojokerto, dan Jombang.
Biasanya disediakan karcis untuk menonton pertunjukan ini. Pertunjukan rakyat
yang sudah ada sejak sebelum Perang Dunia II dan sekarang sudah punah yaitu
Ludruk Besutan, yang jalan ceritanya selalu berkisar pada cerita yang sama
yaitu mengisahkan seorang pelawak bernama Besut dan istrinya yang bernama
Asmunah yang bekerja sebagai penari. Pertunjukan ini lebih bersifat kejenakaan,
tetapi tetap selalu mengandung nilai-nilai filsafat yang menarik. Bahasa yang
digunakan juga Bahasa Jawa sehari-hari sehingga jalan cerita lebih mudah
ditangkap oleh penonton. Dagelan ludruk juga terkadang mengandung unsur kritik
sosial. Bagian terpenting dari ludruk yaitu adanya parikan, semacam pantun Melayu, dan juga adanya wangsalan, ungkapan atau baris-baris
sajak yang maknanya perlu diterka pada kalimat terakhirnya. Ajaran moral dalam
selubung lelucon memang unsure terpenting dalam teater rakyat ini.
B.
Kebangkitan
Sastra Jawa Modern
Genre sastra
barat yang masuk ke dalam budaya sastra di jawa ini, membuat banyak karya
sastra mengalami perubahan-perubahan baik itu mengalami kemajuan ataupun
kemunduran. Dalam segi kemajuan banyak karya sastra yang terbit sudah dalam
bentuk cetak, deng kemasan yang lebih rapi. Contoh karya yang terbit dalam
bentuk cetak antara lain Cariyon Nagari
Walandi (Batavia, 1876), Randa Guna
Wecana karya Surya Wijaya, Lelampahaning
Sarira. Ketiga karya ini masih dalam
bentuk tembang macapat. Akan tetapi, karya yang berjudul Serat Darma Yasa sudah berbentuk prosa. Namun pada karya yang satu
ini, penggunannya masih terlalu puitis dan kaku, dimana hal itu memang lazim
pada zamanya. Namun, karena campur tangan D.F.Van der Pant, karya ini
diperbaiki oleh Ki Padmasusastra yang sangat cakap itu.
Tidak dapat
disangsikan bahwa Ki Padmasusastra merupakan tokoh besar di bidang pengajaran
Bahasa Jawa karena beliau sering mengkritisi unsure-unsur dalam suatu karya
sastra, bahkan beliau juga kadang memperbaiki sebuah karya sastra yang kemudian
unsure-unsur nya menjadi lebih indah. Beliau juga sering menulis buku-buku
tentang pengajaran dan bisa dijadikan bahan ajar pula.selain mnerbitkan karya
sastra murni, beliau juga membuat “bacaan sederhana” berbentuk prosa. Salah
satu hasil dari usahanya kea rah sini adalah saduran yang dibuatnya dari karya
Surya Wijaya,Randa Guna Wecana , yang
dipersiapkan untuk D.F.Van der Pant (Serat
Durcara Arja, Tijdschrift Batav, Genootschap vol 31, 1886).
Novel, memang
merupakan genre sastra yang di negri Barat pun mengalami masa perkembangan yang
sangat panjang. Namun dalam penyebaranya, novel merupakan sastra yang sarat
akan factor-faktor yang harus dipenuhi, seperti pihak distributor yang kuat
keuanganya, penulis yang handal dan kreatif, pihk percetakan dan penerbit yang
kuat, juga tidak kalah penting, luasnya masyarakat yang minat mengkonsumsi karya sastra tersebut dan
bersedia menyisihkan uangnya untuk bacaan tersebut. Dan disini Balai Pustaka
sangat berperan. Peranan Balai Pustaka sebagai penerbit yang menyediakan
kebutuhan-kebutuhan sekolah itu dimulai pada tahun 1911. Dengan beberapa indeks
nya yang merupakan informasi dari konten dan unsur yang ada di dalam buku
terbitan Balai Pustaka, seperti huruf L setelah jumlah halaman menunjukkan
bahwa buku tersebut ditulis dengan menggunakan huruf latin. Pada
penerbitan-penerbitan pertama Balai Pustaka, kita jumpai terutama buku-buku
dengan unsure-unsur fiksi yang dipadu dengan kecenderungan didaktik atau ajaran
moral yang jelas.
Karya Kuswardiarja, Rara Kandreman, adalah sebuah fabel seperti
karya Adi Susastra Kartimaya. Karya Harjawisastra Pamaring Dusun merupakan
semata-mata karya untuk rakyat desa yang sederhana. Sedangkan karya Mangunjaya
Wuryalucita merupakan kumpulan 22 cerita untuk ajaran moral yang pendek-pendek
mengandung petunjuk dan teladan. Mangunjaya menulis dua buah cerita yang lebih
romantis, Trilaksita dan Gita-Gati. R. Ng Kartasiswaya mengambil sikap penerbit
dengan karyanya Darma Sanyata, kisah seorang gadis yang sedang tumbuh
kedewasaannya. Sebuah buku yang penuh suri tauladan bagi wanita. Yange lebih
menarik yaitu karya-karya Suyitna Martaatmaja, Catur Tunggil yang menceritakan
tentang kepala sekolah yang dipindah dan empat belas orang bekas muridnya- Anak
laki-laki dengan latar yang berbeda-beda
yang ketika teman sekelas bersahabat tapi setelah dewasa terpaksa memilih jalan
hidupnya masing-masing.
Sebuah buku kecil yang menunjukkan kelemahan Balai Pustaka pada
periode awal yaitu karya Sindupranata, Lelakone Amir. Semua buku kecil ini
ditujukan pada anak sekolah masyarakat desa yang sederhana yang harus diberi
bahan bacaan yang mendidik.
Mutunya kerapkali mendekati “budi-budi pekerti” di tahun-tahun
sebelum 1940 di negara-negara barat. Oleh karenanya ahli sastra jawa tidak bisa
menerima karya tersebut sebagai sastra bahkan dianggap sebagai buku bacaan
saja. Sedangkan yang dibilang sastra adalah karya-karya tulis tradisional dalam
bentuk tembang macapat.
Bagi kita, buku-buku yang disebutkan diatas sangat menarik karena
menunjukan betapa lamban dan sulit proses berakarnya suatu karya sastra genre
Barat yang terdiri dari cerita-cerita untuk dbaca bukan untuk didengar. Sejak
awal Balai pustaka menggunakan genre ini dalam penulisannya. Disebutkan
beberapa karya diantaranya Prawirasudirja, Cariyos tanah Pareden Diyeng, karya
R. R. A Surya Suparta, Serat Cariyos kekesahan saking Tanah Jawi dhateng Negari
Walandi.
Dalam buku-buku ini yang didalamnya terdapat unsur informasi yang
sangat menonjol jalur fiksinya menempati posisi yang tidak penting. Meskipun
demikian rasanya tidak salah jika dimasukan dalam survei ini karena semua karya
itu merupakan bagian dari arus pokok sastra modern.
Hal yang sama dapat dikatakan saduran tradisi yang bersifat lisan
dan tertulis mengenai sejarah dan pseudo-sejarah. Tradisi demikian kerap kali
hanya bersifat anekdot yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh sejarah. Barang
peninggalan, makam atau monumen, atau juga babad. Beberapa contohnya karya
Pujaarja, Dongeng cariyosipun tiyang sepuh ing jaman kina. Karya Mukmin, Ki
Ageng Paker, dan lain-lain.
Dalam periode sesudah perang, karya tersebut dilanjutkan menjadi
karya sejarah semu yang populer yang sering dimuat cerita bersambung di
majalah-majalah berbahasa Jawa. Tapi terlalu sederhana untuk dikatakan sebagai
novel atau esei, walau beberapa memuat nilai sastra tertentu.
Terbitnya karya R. Sulardi, Serat Riyanta maka mulailah periode
baru. Buku pertama yang tidak dirusakkan oleh kecenderungan didaktif dan ajaran
moral. Buku ini memuat tema yang jelas dan plot yang bagus. Serat Riyanta
menggambarkan kehidupan keraton Surakarta pada awal abad ke dua puluh.
Buku Jayengutara, Mitra Musibat. Mengemukakan persoalan lama di
masyarakat Jawa yaitu ketagihan candu beserta akibat sosialnya. Seperti
kecanduan berdagang pada masa monopoli kolonialisme. Dunia penyelundupan candu
gelap ini diperkenalkan oleh Yassawidagda dalam hukunya, Jarot. Jarot adalah
seorang anak yang setelah ditinggalkan ibunya, ia ingin menyusul ayahnya ke
Batavia. Namun karena tidak punya uang, ia bekerja sampai mengenal pada
perdagangan candu gelap ini.
Dalam bukunya Mrojol Selaning Garu, Sasraharsana mengemukakan
kisah seorang guru agama yang kehilangan keluarganya setelah banjir di Banyumas
pada tahun 1861 sampai akhirnya ia menjadi wedana. Beberapa kisah yang serupa
yaitu, Banda Pusaka karya Sasraharsana serta Suparba dan Suminten karya Kamsa
yang sama-sama menceritakan perjalanan hidup seseorang sampai mencapai wedana.
Setelah beberapa cerita yang serupa, Satyapadu karangan Imam
Supadi menceritakan kisah seorang raja yang memerintah Sawangan, negeri antah
berantah. Penulis menuturkan buku ini menjembatani cerita babad dan wayang yang
sudah kuno namun masih digemari, dengan alur fiksi roman modern. Pengakuan
semacam itu merupakan kenyataan bahwa pada zaman itu, karya-karya roman belum
disebut sebagai sastra oleh ahli sastra tapi pengakuan semacam itu memang
diingini setidaknya oleh beberapa pengarang.
Sukaca, pengarang yang menulis tiga buku dengan bahasa jawa ngoko,
sudah jelas ditujukan kepada mereka yang berusia lebih muda. Karyanya yaitu,
Katresnan yaitu tentang sepasang kekasih yang telah melewati berbagai rintangan
dan halangan kemudian bersatu kembali, Bocah ing Gunung, serta Kanca Anyar.
Buku-buku yang ditulis dengan napas serupa yaitu, Glompong lucu karya
Sasrasutiksna, Lelakone bocah kampung karya Kamsa Wiryasaksana, serta buku-buku
karangan Kamit Nataasmara. Buku-buku kecil itu menarik dengan penulisan
percakapan yang ringan, segar dan tidak dibuat-buat. Jelas sekali buku ini
tidak banyak dijumpai gaya bahasanya dibuku yang ditujukan untuk orang yang
lebih tua.
Penulis terbaik pada 1925-1930 adalah Asmawinangun. Bukan karena
pandai memilih tema atau yang lainnya, melainkan pandai dalam kebahasaan
menghidupkan suasana percakapan sehingga mencekam para pembacanya. Beberapa
karyanya Jejodoan ingkang Siyal dan Saking Papa dumugi Mulya serta Mungsuh Mungging
Congklakan mempunyai nada yang berbeda.
Yang berbeda lagiagak serupa dengan karya Asmawinangun yang
dikembangkan oleh para penulis diantaranyakarya Dwijo Sasmito yang berjudul
Tuking Kasusahan. Kusumadigdo dengan judul Gawaning Wawatekan dan beberapa
karya lain. Penggunaan huruf latin, yang mula-mula hanyadilakukan pada buku
untuk anak-anak seperti karya SindhuPranoto, Lelakoning Amir (1918), dan dalam
buku yang bersifat jurnalistik karya Yitnosastro, Kesah Layaran Dateng Pulo
Papuah (1919) menjadi lebih umum sekitar tahun (1925). Bahasa Jawa ngoko mulai
umum digunakan untuk buku anak-anak: Sindhu Pranata (1918), Suratman
Sastradiarja (1923, 1928).
Beberapa buku yang masih tercetak dalam huruf Jawa: Dwikarso
karangan Sastaradmaja. Serat Tumusing Panelangsa
dan Maryati dan Maryana. Jelaslah
bahwa fasilitas penerbitan dan distribusi yang diberikan oleh Balai Pustaka merupaka
factor yang sangat penting dalam perkembangan cerita prosa modern. Inisiatif
Balai Pustaka yang lain adalah penerbitan majalah kejawen.
Ada 2 buah antologi yang memberikan gambaran mengenai sastra yang
berkembang dibawah naungan Balai Pustaka selama tahun-tahun sebelum Perang
Dunia II, diantaranya: Kembar Mayang yang
dikumpulin oelh Sastrasuwignya, dan Eenvoudig
HedendaagschiJavansch oleh G.W.J.Drewes. Dari terbitan Harjawiraga tampak bahwa
tembang macapat baginya masih merupakan medium penting untuk ekspresi sastra.
Selain Harjawiraga, ada juga yng lainya seperti Cakradiraja dengan Warawurcita.sekitar
tahun 1936, jenis cerita pendek muncul dalam kejawen dan Panyebar Semangat.
Dalam kejawen dimuat secara anonim, dalam Panyebar Semangat, genre ini kerap
digunakan untuk tema-tema kecenderungan nasionalisme kebanyakan pengarang
menggunakaan nama samaran ,seperti Pangripta (Imam Supardi). Selama pendudukan
Jepang, penerbitan Panyebar Semangat dan kejawen.
Puisi-puisi dari periode permulaan ini masih sering menggunakan
kata-kata kawi, gayanya agak
bombastis dan pola-pola bentuk yang digunakan (bentuk stanza dan sajak) masih
laku keras.
Dalam teks masih banyak penulisan typo. Spasinya kurang diatur. Tidak dilampirkan daftar pustaka juga (Ari Fitrianingrum)
BalasHapus1. "Dengan demikian pula, penulisan prosa merupakan suatu kegiatan yang lazim dilakukan oleh golongan terpelajar" = kalimat kuramg efektif
BalasHapus2. Penggunaan tanda baca yang belum benar.
3. "Tidak dapat disangsikan bahwa Ki Padmasusastra merupakan tokoh besar di bidang pengajaran Bahasa Jawa karena beliau sering mengkritisi unsure-unsur dalam suatu karya sastra" = disangsikan????
4. Kesalahan penulisan / typo.