SASTRA JAWA MODERN PRA-KEMERDEKAAN BESERTA KARYA-KARYANYA


          Sastra Jawa ada sezaman dengan manusia Jawa. Sejak manusia Jawa dapat menuliskan berbagai masalahnya, maka mulai saat itu sebenarnya sastra Jawa secara tertulis ada. Sebagai bukti autentik tertua ditemukannya prasasti Harinjing di daerah Sukabumi. Naskah dan prasasti yang berbahasa Jawa pada abad awal itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa dari daerah India Selatan, bahasa yang lebih terkenal dengan nama Sanskerta.
         Bahasa Sanskerta ini merupakan bahasa awal yang mempengaruhi bahasa Indonesia, sejalan dengan datangnya orang India ke Indonesia.  Salah satu contohnya adalah naskah-naskah Uphanishat merupakan sebuah karya sastra Jawa kuna yang berisi nasihat dengan latar agama Hindu yang banyak diteladani sampai sekarang.
          Sastra jawa modern di dalam masyarakat Jawa merupakan obyek studi yang rumit dan menarik dari isinya, pada permulaan abad masyarakat Jawa telah mengalami perubahan-perubahan. Sastra merupakan sastra klasik yang adiluhung sebagai warisan terdahulu. Dalam sastra Jawa modern mempunyai dua jenis, yang terdiri dari sastra Jawa tertulis dan sastra Jawa lisan. 
         Sastra Jawa tertulis dibagi dua bagian : sastra tradisional sebagai patokan-patokan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan sastra modern merupakan hasil dari rangsangan kreatif dalam masyarakat modern. Naskah-naskah yang sering digunakan seperti karya-karya bersifat sejarah misalnya Babad Diponegoro, karya-karya bersifat mendidik seperti Serat Wedatama karangan Mangkunegara IV atau Serat Wulangreh karangan Paku Buwana IV.
Bentuk-bentuk dari sastra lisan seperti kisah-kisah yang diceritakan semalam suntuk di desa-desa (kentrung) dan berbagai teater (wayang purwa, wayang wong, ketoprak, ludruk). Ranggawarsita berfikiran bahwa dialah orang terakhir yang melakukan pekerjaan “pujangga keraton” dan sastra Jawa pun telah berakhir. Jenis-jenis sastra lisan sifatnya bercorak tradisional dan bisa dinamakan “modern”. Karena isi cerita-ceritanya berhubungan dengan naskah-naskah dari sastra klasik. Sebagai contoh ialah permainan dalang dalam wayang kulit.
          Wayang kulit di setiap daerah daerah berbeda, sering juga dijumpai seperti pertunjukan wayang krucil dan wayang golek yang dilakukan dengan boneka-boneka kayu pipih dan boneka-boneka yang diberi pakaian lengkap dengan repertoar ceritanya sendiri-sendiri, misalnya kisah Damarwulan, Siyung Wanara, Panji, dan siklus Amir Hamzah. Dalang-dalang panggung wayang kulit dan wayang krucil atau wayang golek, dan juga tukang-tukang cerita kentung dan jemblung.
          Kentrung dan jemblung adalah nama-nama yang berasal dari iringan music untuk menceritakan kisah itu dengan rebana-rebana kecil dan besar. Kisah-kisah yang diceritakan terutama tradisi pseudo-historis, misalnya kisah Aji Saka, Jaka Tarub, Roman Damarwulan, kisah-kisah para wali sebagai penyebar agama Islam di Jawa, cerita-cerita Arab dan Indo Persia yang masuk Jawa bersama Islam. Selain itu juga ada teori yang bertentangan dengan wayang kulit dan kentrung merupakan pertunjukan solo semalam suntuk disampaikan oleh seorang seniman pada saat pesta menjamu tamu.
      Salah satu bagian dari sastra jawa merupakan genre sastra barat digunakan sebagai bacaan kesukaan pribadi seperti novel, cerita pendek, esai, atau sajak bebas. Pada abad ke-19 di Malaya berhubungan dengan intelektual dengan bangsa Eropa sehingga dapat mengakibatkan penulisan beberapa karangan yang ada di luar lingkup sastra tradisional. Kegiatan ini berjalan di sekitar Instituut voor de Javaansche Taal di Surakarta pada tahun 1832 sampai 1843.  Kegiatan ini untuk menyusun naskah-naskah berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah sastra klasik.
     Selain munculnya beberapa pengarang yang menonjolkan kemampuannya masing-masing. Mereka mempunyai kemampuan masing-masing menciptakan suatu karya. Dalam sastra klasik tidak hanya menciptakan suatu karya yang tidak lepas dari hal-hal tradisional. Tetapi didalam sastra klasik ini lebih menjurus kedalam hal-hal yang sekira menarik. Misal bacaan yang sering disukai banyak orang seperti novel, cerita pendek, esai, atau sajak bebas. Beberapa pengarang pada masa zaman sastra Jawa modern sebelum pra-kemerdekaan.
       Pada novel Indiani yang diterbitkan oleh Boekhandel Putra yang berasal dari keluarga priayi karena dalam cerita tersebut menggambarkan suasana dalam kehidupan priayi tentang seorang guru desa yang menggemari dalam bidang kesenian (wayang orang). Novel tersebut ditulis menggunakan bahasa jawa karma dan menonjolkan peran aktif wanita. Namun pengarang tidak diketahui keberadaannya dan menjadikan sastra jawa kurang lengkap.(Tirto Suwono, 2006)
       Seorang penulis novel yang berjudul Kyai Franco yang diketahui berasal dari Surakarta atau Yogyakarta diduga mempunyai nama samara Asmara Asri. Novel ini menceritakan tentang perkumpulan Muhammadiyah dan juga memuat nilai-nilai yang terkait dengan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. (Tirto Suwono, 2006)
       Pendukung sastra “Indonesia-Jawa” pengarang-pengarangnya adalah Pramoedya Ananta Tur, Trisno Sumardjo, Muhammad Dimyati, Kirdjomuljo, Toto Sudarto Bachtiar, Rijono Pratikto, W.S. Rendra, Subagio Sastrowardojo, Nh.Dini, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, dan lainnya.                     Pada tahun 1925-1930 seseorang menjadi pengarang sastra Jawa terbaik yang bernama M.W. Asmawinangoen. Pengarang sangat ahli dalam pemilihan tema, dan pandai dalam melukiskan suasana, dialog-dialog yang hidup dan bahasanya yang enak dan bisa menarik para pembaca. Pengarang ini berasal dari keluarga pendidik (guru), mampu mengidentifkasikan kondisi geografi suatu daerah secara detail. Asmawinangoen menulis novel Jawa sejak tahun1926 hingga 1930. Asmawinangoen juga menulis karya-karyanya yang berjudul Saking Papa dumugi Mulya, Mungsuh mungging Cangklakan dan Pepisahan Pitulikur Taun. Asmawinangoen tidak hanya menulis novel Jawa, tetapi juga menulis novel bahasa Indonesia. Salah satu contohnya novel yang berjudul Merak Kena Jebak, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda oleh R. Satiadibrata dengan judul Istri Kasasar. Novel-novel karya Asmawinangoen dapat menjadi 2 kelompok yaitu novel detektif dan nondetektif.
           M. Ardjasoeparta pada zaman Wirjawarsita atau Kamsa menulis sekaligus menerbitkan sebuah novel yang berjudul Swarganing Budi Ayu pada tahun 1923. Pengarang terebut yang mempunyai nama lengkap M. Ardjasoeparta, huruf “M” di depan kemungkinan kependekan dari Mas yang sering dipakai oleh orang yang berpendidikan. Novel tersebut menonjolkan seorang M. Ardjasoeparta yang menolak tradisi kawin paksa, lebih mementingkan kemandirian berpikir untuk generasi muda. Selain menolak adanya kawin paksa, pengarang juga menolak adanya tradisi pengangkatan anak. Tetapi novel tersebut mendapat tanggapan cukup baik yang diungkapkan pada buku yang berjudul Novel Jawa Baru dalam Abad Dua Puluh oleh Subalidinata. (Tirto Suwono, 2006)
Contoh buku (Carios Bab) Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwa Lelana, yang ditulis kan dengan gaya jurnalistik untuk tujuan pendidikan yaitu karangan M.A. Candranegara Bupati Demak. Dalam bentuk lain terbitlah Cariyos Nagari Walandi oleh Rd. Abdullah Ibnu Sabar bin Arkebah, dalam perjalanannya ke Belanda. Karya yang tidak sampai selesai pencetakan dalam bentuk asli, tetapi di kemudian hari menjadi bacaan terpopuler ialah cerita Janda yang Cerdik diterbitkan oleh Surya Wijaya. Karya lainnya yaitu lelampahaning Satria, yang berisi kisah perjalanan penulis dari Surakarta ke Semarang kemudian ke Batavia mengendarai kapal. Karya-karya tersebut di tulis dalam tembang macapat pada zaman itu.
Contoh karya-karya lainnya yang ada di luar tradisi sastra klasik ialah biografi Ranggawarsita yang ditulis oleh Padmawarsita dari D. van Hinloopen Labberton, kemudian autobiografi Suradipura sebagai sekretaris G.A.J. Hazeu dan Serat Raga Pasaja yang berisi tentang catatan-catatan autobigrafi dalam bahasa jawa ngoko oleh Raden Sasrakusuma sebagai guru sekolah. Karangan oleh ide-ide Eropa yang ditulis oleh Soma Reja dalam perjalanannya dari Wanareja (Banyumas) ke Yogyakarta. Kemudian perjalannya dilanjutkan ke Surabaya tetapi melalui Semarang dan berakhir di Bangkalan Madura. Yang membuat menarik bukanlah tema, melainkan penulisan dalam bentuk prosa serta dalam bahasa Jawa ngoko.
Salah satu tokoh terbesar di bidang pengajaran bahasa Jawa pada tahun 1900 ialah Ki Padmasusastra. Ia menjadi sekretaris D.F. van der Pant untuk memulai karirnya. Buku tata bahasanya yang berjudul Layang Parama Basa yang membahas tentang kosakata santun bahasa Jawa yang berjudul Serat Warnabasa, Serat Patibasa tentang kata-kata sinonim, Serat Bauwarna dengan karya ensiklopedinya, Serat Urapsari tentang kumpulan dialog, Layang Basa Sala yang telah di ketahui banyak orang, Serat Tatacara tentang adat istiadat dan tingkah laku orang Jawa pada tahun 1900, Serat Kancil tanpa Sekar , Serat Rangsang Tuban tentang sebuah novel kebatinan. Semua itu dimanfaatkan sebagai contoh dan sumber untuk penyusun buku-buku pelajaran di kemudian hari.
Pada periode perkembangan yang sangat panjang, novel dapat diartikan sebagai genre sastra yang di negeri Barat melalui periode tersebut. Genre ini baru dapat muncul ketika sebuah badan penerbit yang dimiliki pemerintah, yaitu Balai Pustaka yang juga disebut Kantoor voor Volkslectuur, telah mulai memberikan rangsangan terhadap penulisan cerita yang dapat dipakai sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi rakyat, serta menjadikan buku-buku cetakan tersebut bisa di sebar ke public untuk dibaca. Dalam genre Barat ini sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa diantara pengarangnya adalah guu, diantara pembacanya adalah murid pada sekolah-sekolah menurut pola Eropa.
Peranan Balai Pustaka sebagai badan penerbit yang menyediakan kebutuhan sekolah yang dimulai pada tahun 1911. Di antara penerbitan-penerbitan pertama Balai Pustaka, kita bisa jumpai terutama buku-buku fiksi dengan ajaran moral yang jelas.(Bungai Rampai Sastra Jawa Muthakir, J.J. Ras). Buku yang jelas mementingkan ajaran moral dan belum banyak mempunyai arti sastra Serat Panutan dan Isin Ngaku Bapa adalah karya Prawirasudirja, Rara Kandreman tentang sebuah fable seperti karyanya Adisusastra, Kartimaya merupakan karya dari Kuswadiarja, Pamoring Dusun tentang sebuah buku didaktik untuk rakyat desa yang sederhana merupakan karya Harjawisastra, Wuryalocita tentang kumpulan 22 cerita ajaran moral yang pendek-pendek dan penerbitnya sebagai mengandung petunjuk atau teladan merupakan karya Mangunwijaya. (Bungai Rampai Sastra Jawa Muthakir, J.J. Ras).
Banyak juga suluk suci yang bertujuan membangun akhlak, puisi-puisi Islam waktu yang cukup lama. Bahkan novel Jawa masih berbentuk kecil tidak lebih dari 150 halaman. Maka dari itu di sebut sebagai novelet, bukan novel. Ada juga sebuah roman sejarah berjudul Bedahipun Karaton Nagari Ngayogyakarta yang di tulis oleh Suradipura. Dalam karya lainnya yang berjudul Lelampahanipun Sida yang di berikan oleh Sastradiarja sebagai sejumlah besar nasihat yang baik. Yang tidak kalah menarik juga Catur Tunggil karya dari R. Suyitna Martaatmaja menceritakan sebuah kisah tentang seorang kepala sekolah yang di pindah dan empat anak laki-laki bekas muridnya dengan latar belakang social yang berbeda-beda sebagai sahabat saat sekelas, tetapi setelah dewasa terpaksa mengikuti jalan hidup masing-masing di dalam masyarakat. Ada juga sebuah karya berjudul Cariyosipun Pembalang Tamak menceritakan kisah tentang anak seorang pendeta Bali yang menjadi petualang dan orang yang tidak berguna. Dan yang terakhir Tan Lun Tik lan Tan Lun Cong menceritakan kisah tentang dua orang anak laki-laki dari seorang Tionghoa singkeh yang mempunyai istri orang Jawa dan di tinggalkan di Jawa ketika ayah mereka kembali ke Tiongkok.
Sebuah buku kecil yang berjudul Lelakone Amir menunjukkan kelemahan orientasi Balai Pustaka dalam periode awal merupakan karya dari Sindupranata, yang menceritakan sebuah kisah seorang yatim piatu yang bagus dalam menulis, tidak cuman itu tetapi juga hasil tulisannya jelas ditujukan kepada masyarakat pembaca anak sekolah. Karya berjudul Tuhuning Katresnan oleh R.M Kartadirja mengisahkan dua orang kekasih yang berpisah karena si gadis di nikahkan dengan orang lain oleh orang tuanya. Bermacam-macam novel-novel Jawa yang kita jumpai ini setelah tahun 1920.
Semua buku tersebut ditujukan oleh anak sekolah dan bersifat mendidik. Oleh karena itu, para ahli sastra Jawa tidak menerima sebagai sastra dan tidak lebih dari buku bacaan saja. Mengapa demikian, karena yang bisa dianggap sebagai sastra hanyalah hasil-hasil sastra tertulis tradisional dalam bentuk tembang macapat.
Sejarah dan pseudo-sejarah merupakan sifat dari saduran tradisi lisan dan tertulis. Tradisi juga mempunyai sifat lain yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh sejarah, barang peninggalan, monument atau makam, dan juga mengambil dari bentuk sebuah babad. Beberapa contoh karya dari Pujaarja yang berjudul Dongeng Cariyosipun Tiyang Sepuh ing Jaman Kino, Ki Ageng Paker karya dari Mukmin, Babad Maja lan Babad Nglorog karya dari R. Gandawardaya, Babad Arungbinangun karya dari Ki Mangunsuparta, Kyai Ageng Pandanarang karya dari Suwignya.
Dalam periode setelah perang, jenis ini dilanjutkan dalam bentuk kisah sejarah semu yang terkenal, sering juga dimuat di majalah-majalah berbahasa Jawa, tetapi masih terlalu sederhana untuk diterima sebagai novel sejarah dan juga bentuk esei, walaupun diantaranya berbentuk sastra. Dengan di terbitkannya novel karya R. Sulardi yang berjudul Serat Riyanto mulailah saat itu masuk periode baru. Buku ini merupakan buku pertama yang tidak dirusakkan oleh kecenderungan didaktik atau ajaran moral yang berisi kisah dengan plot yang benar-benar bagus, yang dibangun di sekitar tema yang jelas pula. Temanya juga dikaitkan dengan masalah social yang masih tetap hangat selama beberapa dasawarsa mendatang, yaitu pemberontakan generasi muda terhadap perkawinan adat seperti direncanakan oleh para orang tua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan yang harus menjadi pasangan selama hidupnya. (Ras,J.J, 1985)
Ada juga karya yang berjudul Mitra Musibat oleh Buku Jayengutara yang mengemukakan persoalan lama di dalam masyarakat Jawa yaitu ketagihan candu beserta segala akibat sosialnya. Seperti halnya perdagangan candu pada zaman colonial merupakan monopoli Negara, suatu monopoli yang tidak dipatuhi oleh para penyelundup professional. Dunia penyelundupan diperkenalkan oleh Yasawidagda dalam bukunya jarot. Jarot adalah penulis yang berbakat serta termasuk yang paling produktif dari periode setelah tahun 1920.
Dalam beberapa bukunya, seperti Purasani, Kirti Njunjung Drajat, dan Ni Wungkuk ing Benda Growong dilukiskannya gambaran yang menarik tentang masyarakat Jawa Tengah selama perempat pertama abad ini. Kraton Powan dan Mitra Darwa adalah novel-novel sejarah semu. Buku Yasawidagda yang berjudul Bocah Mangkunegaran telah disebutkan sebagai buku yang termasuk golongan karya yang lebih bersifat jurnalistik. Pada pihak lain, Satyawadu karangan Imam Supadi menceritakan seorang raja yang memerintah Sawangan, sebuah negeri yang tidak di ketahui keberadaannya. Kemudian diterangkan oleh penulis buku tersebut, bahwa suatu usaha menjebatani cerita-cerita babad dan wayang, yang sudah kuno tetapi masih saja selalu digemari, dengan cerita fiksi roman modern. (Ras,J.J, 1985)
Suratman Sastradiarja menulis Sukaca, sekadar kisah mengenai orang yang tidak berguna, tetapi akhirnya mendapat nasib yang sepantasnya. Pengarang menciptakan tiga buku dengan menggunakan bahasa ngoko dan ditujukan untuk pembaca yang lebih muda. Buku-buku itu ialah Katresnan mengisahkan sederhana tentang dua orang kekasih yang setelah mengalami berbagai peristiwa akhirnya bertemu kembali, Kanca Anyar, dan Bocah ing Gunung, yang keduanya mengungkapkan pasang surut kehidupan anak-anak. Buku-buku lain yang ditulis dengan napas yang serupa adalah karya Sasrasutiksna, Glompong Lucu, karya Kamsa Wiryasaksana, Lelakone Bocah Kampung dan buku-buku karangan Kamit Nataasmara, Crah Bubrah, Kucing lan Jago dan Rasa Sasmita. (Ras,J.J, 1985)
Adapun gaya serupa yang di kembangkan oleh penulis lainnya, hasilnya juga benar-benar memuaskan untuk dibaca dan mengandung masalah-masalah pada zaman itu,seperti : Dwijasasminta dengan Tuking Kasusahan, Kusumadigda dengan Gawaning Wawatekan., Suradi Wiryaharsana dengan Wisaning Agesang, Suradi dengan Anteping Wanita, dan Sukarna dengan Panca-kawarna.
Pada tahun tiga puluhan, perkembangan yang dimulai dalam periode sebelumnya berjalan terus, tidak berhenti atau berubah banyak-banyak. Penggunaan huruf Latin, yang mula-mula hanya dilakukan pada buku-buku untuk anak-anak, seperti karya Sindupranata, Lelakone Amir dalam buku-buku bersifat jurnalistik, seperti karya Yitnasastra, Kesah Layaran dating Pulo Papuwah, menjadi lebih umum sekitar pada tahun 1925. Bahasa Jawa ngoko sejak awal mula umum digunakan untuk buku-buku anak-anak Sindupranata, Suratman Sastradiarja, Sastrasutiksna, Kamsa Wiryasaksana dan Kamit Nataasmara.
Maka, ketika Kusumadigda dan Sukarna juga memilih gaya ngoko ini di dalam penulisan bukunya untuk pembaca yang lebih dewasa, buku-buku yang dimaksud sebagai sastra, itu merupakan pembaruan yang penting. Setelah tahun 1930, contoh ini lama-lama diikuti oleh jumlah penulis yang semakin bertambah, sehingga setelah tahun 1960 penggunaan bahasa karma di dalam cerita prosa sangat jarang ditemui. Beberapa buku dari periode ini masih tercetak dalam huruf Jawa, Dwikarsa karangan R. Sastraatmaja, yang berisi cerita tentang seorang wanita yang malang karena dimadu suaminya, juga buku-buku karya Siswamiharja, Serat Tumusing Panalangsa dengan pokok masalah yang sama dan Maryati lan Maryana. (Ras,J.J, 1985)
Jakalelana menulis Becik Ketitik Ala Ketara dan Gambar Mbabar Wewados yang kedua-duanya dalam bahasa Jawa karma. Penulis lain dari awal tahun tiga puluhan adalah : Sugeng Cakrasuwigya dengan Ayu Ingkang Siyal, Jayadiharja dan Harjasecayuda, yang bekerja sama dalam menulis novel Ngedol Maratuwa, sedangkan M. Harjadisastra dengan Tri Jaka Mulya menulis menggunakan bahasa jawa ngoko dan Demang Pancal Panggung menulis menggunakan bahasa jawa karma dan dicetak dengan huruf Jawa. Empat tahun kemudian, muncullah Margana Jayaatmaja dengan Ngulandara dalam bahasa karma, Jayasukarsa dengan Sri Kumenyar juga dalam karma, Sri (M. Kusrin) dengan Larasati Modern menulis menggunakan bahasa jawa ngoko, R. Srikuncara (R. Sriekoentjara) dengan Pameleh juga dalam bahasa jawa ngoko. Sementara itu, di luar Balai Pustaka, M.T. Suphardi menerbitkan Sala Peteng dan Rahayu Abeya Pati yang kedua-duanya dalam ngoko.
Sesungguhnya orang dapat mengatakan bahwa sastra modern sedang dipertanggung jawabkan oleh badan penerbit pemerintah pada tahun 1911-1941. Penerbitan dan percetakan swasta, seperti Tan Koen Swie di Kediri. Mardi Mulyo di Yogyakarta, Siti Syamsiah, Rusche, Sadur Budi, Kalimasada dan Mars di Surakarta, Van Dorp di Semarang dan G. Kolff dan Co diSurabaya, tidak aktif di bidang ini, dan baru setelah 1993 Penyebar Semangat di Surabaya mulai memainkan peranannya.
Pada tahun 1930 ketua redaksi M. Suyud Martadiharja digantikan oleh M. Kusrin dengan para anggota stafnya, Harjawiraga dan Sastrasuwignya, R. Ranggawirawangsa dan Suharda, selama bertahun-tahun menetapkan patokan tentang mana-mana yang dapat diterima dan mana-mana yang tidak baik dari sudut ceritanya maupun gaya bahasanya. Inisiatif Balai Pustaka yang penting lainnya adalah penerbitan majalah Kejawen. Kejawen diterbitkan tahun 1926-1942, mula-mula sekali seminggu, tetapi sejak tahun 1938 dan seterusnya menjadi dua kali seminggu.
Kepala redaksinya adalah Sumantri Harjadibrata. Bagian yang sangat popular adalah dialog-dialog antara kedua pelawak Petruk dan Gareng, yang membicarakn masalah-masalah yang hangat dalam masyarakat pada saat itu, yang ditulis oleh kepala redaksinya sendiri. Dalam percakapan tersebut kemudian dikumpulkan dalam buku yang berjudul Obrolanipun Petruk. Dalam menulis karyanya dalam sebuah novel kecil, dengan nama samaran Sri Kusrin bersama Larasati Modern juga membuat sebuah buku untuk anak-anak dengan judul Piet Pon Bles dan bersama-sama dengan Harjawiraga pengarang menulis naskah Ayo Menyang Kolonisasi tentang transmigrasi orang-orang Jawa ke Sumatera.
Ada buah antologi yang memberikan gambaran mengenai sastra yang berkembang di bawah naungan Balai Pustaka selama bertahun-tahun sebelum Perang Dunia II. Kedua buku itu adalah Kembar Mayangyang dikumpulkan oleh Sastrasuwignya dan Eenvoudig HedendaagschJavaansch Proza pada terbitan G.W.J. Drewes. Disamping Harjawiraga beberapa penulis lainnya juga memberikan karyanya yang baru, misalnya : Cakradireja dengan Warawurcita, R.M. Panji Sumahatmaka dengan Ki Ageng Derpayuda, Muhammad Dohiri dengan Kembang Jaya, M. Kamit Nataasmara dengan Cobaning Ngaurip dan Wiryasumarta dengan Puji Ora Dadi.
Saluran lain yang penting untuk penerbitan karya sastra sebelum Perang adalah majalah mingguan Panyebar Semangat, yang diterbitkan di Surabaya mulai tahun 1933 dan seterusnya. Dibawah pimpinan Imam Supardi yang sangat cakap, Penyebar Semangat menjadi majalah independen berbahasa Jawa yang paling berpengaruh dalam tahun-tahun sebelum Perang Dunia II. Pengarang-pengarang utama di dalam medium pers bebas ini adalah : Sri Susinah dengan Sandal Jinjit ing Sekaten Sala yang mengolah tema lama tentang pilihan bebas teman hidup dan Sri Panggung Wayang Wong, Br, Yudyatma dengan Gumebyar Lir Kencana Sinangling, Aspirasi dengan Sawahe Ibu Pertiwi, Isbandi Paramayuda dengan Gagak Gaok, Mardanus dengan Sawijining Wadi, Sri Biman dengan Gagak Seta dan Lum Min Nu dengan Kereme Kapal Brantas, Macan Setan dan Urip Saburine Layar, sebuah kisah tentang kesulitan kehidupan para seniman ketoprak. (Ras,J.J, 1985)
Sekitar tahun 1936 jenis cerita pendek muncul dalam Kejawen dan Panyebar Semangat. Dalam Kejawen dimuat secara anonym, seperti kebanyakan sumbangan-sumbangan tulisan lainnya dalam majalah ini. Dalam panyebar semangat, genre ini dimulai oleh Sambo dengan cerita Netepi Kwajiban.
Pengarang-pengarang yang menerbitkan karyanya lebih dari satu kali adalah Pangripta (Imam Supardi), Kelana Jaya, Zilvervos, Lum Min Nu, Daddy, Suyani, I.S. Hart (Suharta), Elly dan Jaka Balung. Selama penduduk Jepang, penerbitan Kejawen dan Panyebar Semangat dihentikan. Satu-satunya medium yang masih ada hanyalah Panji Pustaka, diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dua orang penulis muda yang tampil dalam periode ini ialah : Puwadhie Atmadiharja dan Subagiya Ilham Natadijaya. Puisi modern dalam bahasa Jawa barangkali lahir pada tahun 1929 dengan terbitnya tiga buah puisi bergaya nontradisional yang anonym dalam Kejawen.
Pada waktu 1930-1940, hanya ada tujuh buah puisi lagi menyusul tanpa nama maupun menggunakan nama samaran. Penyair lain yang menerbitkan karyanya dalam tahun-tahun 1941-1945 adalah  Nirmala, S.R. Sumartha dan Subagiya I.N. Puisi-puisi dari periode permulaan ini masih sering menggunakan kata-kata Kawi, gayanya agak bombastis dan pola-pola bentuk yang digunakan masih kaku keras.
Teater nontradisional merupakan sebuah awal yang diwakili oleh naskah satu lakon pentas, yaitu Cariyos Menmen Lampahipun Cobaning Sesemahan. Naskah ini mungkin ditulis untuk pertunjukan oleh sebuah kelompok amatir. Sejumlah lakon semacam ini barangkali pernah dituliskan, tetapi tidak pernah sampai ke percetakan.
Sumber Referensi                                                                                                                    
Ras, J.J.1985.Bungai Rampai Sastra Jawa Mutakhir.Jakarta:Grafitipers
Suwondo Tirto, dkk.2006.Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern.Yogyakarta:Adiwacana

Komentar

  1. Sebagai pembaca, ada sedikit ketidak nyambungan antara paragraf 1,2, dan 3. Yang awalnya membahas Sansekerta tiba-tiba menjadi membahas novel.

    Mungkin seperti itu maaf jika ada tang tidak berkenan di hati penulis. ~(‘▽’~) (~’▽’)~

    BalasHapus
  2. Anda menyebutkan bahwa Pramoedya Ananta Tur, Trisno Sumardjo, Muhammad Dimyati, Kirdjomuljo, Toto Sudarto Bachtiar, Rijono Pratikto, W.S. Rendra, Subagio Sastrowardojo, Nh.Dini, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono adalah pengarang sastra Jawa terbaik, keahlian beliau-beliau itu apa sehingga bisa dikatakan sebagai pengarang sastra Jawa terbaik (Nur Karisma)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan

Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan