Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan
Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan
Dalam bahasa
Indonesia kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tulisan. Jadi
sastra Jawa adalah segala bentuk pemikiran yang dicurahkan dalam bentuk tulisan
dan dibukukan yang menggunakan bahasa Jawa adalah sastra Jawa. Salah satu
contoh wujud hasil karya sastra Jawa adalah prosa, cerkak, dan
lain-lain.
Selama abad
ke-19, hubungan-hubungan Intelektual dengan bangsa Eropa mengakibatkan
penulisan beberapa karangan yang luar biasa di luar lingkup sastra tradisional.
Dalam hubungan ini kegiatan yang berjalan di dalam dan disekitar instituut voor de Javaansche Taal di Surakarta dari tahun 1832
sampai 1843, naskah-naskah yang dihasilkan oleh C.F.Winter atau yang ditulis di bawah pengawasannya dengan tujuan memberikan
bahan bacaan bagi para pelajar bahasa Jawa, seperti versi-versi prosa atas
beberapa karya klasik dalam tembang macapat.
Sementara itu,
menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 sampai dengan
abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas, sehingga munculah karya-karya
sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa yang asalnya dari karya Kakawin
menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Pada era
selanjutnya, aspek historis dalam sastra Jawa semakin kuat dengan munculnya
karya-karya babad (sastra sejarah) yang muncul pada pertengahan abad ke-17.
Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19, sejak kepujanggaan Yasadipura hingga
Ronggowarsito kebanyakan berupa manuskrip.
Kegiatan itu
memberikan perangsang untuk menyusun naskah-naskah berisi cerita baru yang
terlepas dari kaidah sastra jawa klasik. Salah satu contoh antara lain,
buku lampah-lampahipun
mas-Arya Purwa Lelana (Batavia,
1865) karangan M.A Candranegara, bupati Demak karya ini merupakan kisah
perjalanan dalam prosa, ditulis dengan gaya jurnalistik, dan jelas dimaksutkan
untuk tujuan pendidikan.
Salah satu prosa yang berjudul Janda
Yang Cerdik karya Surya
Wijaya, dalam buku ini bahwa prasangka dan kecongkakan dapat dengan mudah
ditaklukan dengan kepandaian dan kecerdikan. Sayang bahasa naskah ini masih
menggunakan bahasa yang puitis atas campur tangan D.F van der Pant karya ini
diperbaiki oleh Ki Padmasusastra yang sangat cakap itu. Contoh-contoh lain
tentang karya-karya yang ada diluar tradisi sastra klasik ialah biografi Ranggawarsita
yang ditulis oleh Padmawarsita atas anjuran D. van Hinloopen Labberton dan
lain-lain.
Tidak dapat disangsikan bahwa Ki-Padmasusastra-lah yang merupakan tokoh yang
berperan besar di bidang pengajaran bahasa Jawa tahun 1900. Ia memulai karir
sebagai sekertaris D.F van der Pant, tetapi segera dapat melampaui mejikannya.
Kebanyakan buku-buku hasil karyanya dimanfaatkan sebagai contoh-contoh dan
sumber bagi para-para penyusun buku-buku pelajaran
dan penerbitan-penerbitan kamus di kemudian hari. Di samping menerbitkan karya
sastra murni yang disusun oleh penulis lain, sebagai seorang pendidik
Padmasusastra juga telah berjasa dengan menghasilkan “bacaan sederhana” dalam
bentuk prosa. Hasil pertama dari usahanya kearah ini adalah saduran yang
dibawahnya dari karya Surya Wijaya, Randa
Guna Wecana, yang
dipersiapkan untuk D.F van der Pant, yang kemudian diterbitkan kembali oleh
Balai Pustaka (no.11, 1911).
Penulisan nontradisional dari masa awal ini terutama menghasilkan cerita fiksi
dengan kecenderungan didaktik yang jelas dan kisah-kisah perjalanan yang
dimaksud sebagai catatan tentang pengalaman istimewa atau cenderung kearah
jurnalisme. Cerita prosa dibuat dengan tujuan untuk hiburan saja tampak belum
disenangi dan masih harus menempuh jalan panjang. Dengan demikian, kecuali
serat rangsang tuban belum ada diantara karya-karya tersebut di atas yang dapat
dianggap sebagai “novel”.
Novel murupakan genre sastra yang dinegeri Belanda pun melalui periode
perkembangan yang sangat panjang. Tradisi penulisan novel yang subur hanya
mungkin terjadi bila terjadi sekelompok penulis novel berbakat dan kreatif,
sejumlah penerbit dan pencetakan yang kuat keuanganya, aparat distribusi
yang berjalan dengan lancar dan mungkin yang paling penting dari semuanya
itu masyarakat pembaca yang cukup luas yang mampu menyisihkan sejumlah uang
untuk bacaan itu, sehingga secara ekonomis semuanya dapat berjalan lancar.
Syarat-syarat ini tidak terpenuhi ketika novel diperkenalkan di Jawa.
Kenyataanya genre ini baru dapat timbul
ketika Balai Pustaka (badan penerbit), telah mulai memberikan rangsangan terhadap penulis cerita yang
digunakan sebagai “bahan bacaan yang bermanfaat bagi rakyat”, serta mengantakan
buku-buku yang dicetaknya kepada publik pembaca, yaitu dengan menaruh
diperpustakaan-perpustakaan sekolah. Oleh karena itu, dapat kita katakan genre
Eropa ini masuk kedalam sastra Jawa sejalan dengan masuknya Eropa kedalam
masyarakat Jawa : banyak dari pengarang-pengarang adalah guru, dan para pembaca
adalah murid dari sekolah-sekolah yang di dirikan
menurut pola Eropa.
Peranan Balai Pustaka sebagai penerbit yang menyediakan kebutuhan sekolah itu
dimulai tahin 1911. Penulisan sejarah sastra Jawa modern merupakan masalah yang
baru saja dimulai. Diantara penerbitan-penerbitan pertama Balai pustaka, kita
jumpai terutama buku-buku dengan unsur fiksi yang dipadu dengan kecenderungan
didaktik atau ajaran moral yang jelas.
Contoh buku yang jelas hanya mementingkan ajaran moral dan belum banyak
mempuyai arti sastra adalah karya Pawiryasudirja, Serat
Panutan (BP
136,1913,96 hlm) dan masih banyak lagi. Buku berukuran mini semacam ini memang
bukannya tidak lazim dalam satra Jawa. Banyak suluk suci atau suluk yang bertujuan
membangun akhlak, puisi-puisi Islam dari masa lalu, juga berukuran kecil. Bahkan novel Jawa sekarang pun umumnya masih
berbentuk buku kecil yang tidak lebih dari 150 halaman, sehingga lebih tepat
disebut novel.
Sebuah buku kecil yang menunjukan kelemahan orientasi Balai Pustaka dalam
periode awal ini adalah karya Sindupranata, Lelakone Amir (BP 270, 1918, 43 hlm, L),
sebuah kisah tentang yatim piatu yang memang bagus
penulisanya, tetapi jelas ditujukan kepada masyarakat pembaca anak sekolah.
Semua buku kecil ini ditujukan pada anak sekolah dan masyarakat desa yang
sederhana, yang harus diberi bahan bacaan yang bersifat mendidik. Mutunya kerap
kali mendekati “buku budi pekerti” dari tahun-tahun sebelum 1940 di
negeri-negeri Barat. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau para ahli sastra
Jawa tidak dapat menerimanya sebagai sastra, hanyalah hasil-hasil sastra
tertulis tradisional dalam bentuk tembang macapat. Namun bagi kita buku-buku
yang disebutkan di atas sangat menarik, karena menunjukan betapa lamban dan
suklit proses berakarnya suatu genre sastra Barat yang terdiri dari
cerita-cerita untuk “dibaca”dan bukunya untuk “didengar”. Kisah-kisah
perjalanan dan lukisan-lukisan tentang tempat-tempat atau catatan-catatan
mengenai peristiwa-peristiwa mengesankan kerap kali di tulis dengan pendekatan
dan gaya jurnalistik. Di sini dapat kita sebutkan karya Pawiryasudirja, Cariyos Tanah Pareden Diyeng (BP 35, 1912, 42 hlm). Dalam buku
itu unsur informasi sangat menonjol, jalur fiksinya memduduki tempat yang tidak
penting. Meskipun demikian, rasanya tidak salah jika dimasukan kedalam survei
ini, karena semua karya itu merupakan bagian dari arus pokok dalam sastra
modern. Dari jenis penulisan seperti ini lah kelak akan muncul genre khusus yang
bercorak esei yang masih populer sampai saat ini.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang saduran tradisi lisan dan tertulis yang
bersifat sejarah atau pseodo-sejarah. Tradisi demikian kerap kali hanya
bersifat anekdok yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh sejarah, barang
peninggalan, monumen atau makam, atau dapat juga mengambil bentuk sebuah babad.
Dalam periode sesudah perang, jenis ini dilanjukan dalam bentuk kisah sejarah
semu yang populer, yang sering dimuat bersambung di dalam majalah-majalah
berbahasa Jawa, tetapi masih terlalu sederhana untuk diterima sebagai “novel
sejarah”, dan juga dalam bentuk esei, yang beberapa diantaranya memang
mempunyai nilai sastra tertentu.
Dengan diterbitkannya novel karya R Sulardi yang berjudul serat Riyanta (BP 432,1920,139 hlm), mulai
periode baru. Ini buku pertama yang tidak dirusakan oleh kecenderungan didaktik
atau ajaran moral, dan berisi kisah dengan plot yang benar-benar bagus, yang
dibangun disekitar tema yang jelas pula. Temanya dikaitkan dengan masalah
pemberontakan generasi terhadap perkawinan adat seperti direncanakan oleh para
orang tua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan yang harus menjadi
pasangan selama hidupnya. Terlepas dari cerita itu sendiri, Serat Riyanta juga menarik sebagai lukisan
masyarakat bangsawan surakarta pada awal abad kedua puluh.
Penulis terbaik dari kurun 1925-1930 adalah Asmawinaguna. Ia tidaklah luar
biasa dalam pemilihan tema, tetapi dengan kepandaianya melukiskan suasana,
dialog-dialognya yang hidup, dan bahasanya yang enak, ia mencekam para
pembacanya. Di dalam Jejodohan
Ingkan Sinyal (BP 755, 1962,
115 hlm, L), ia menceritakan kisah mengharukan tentang seorang gadis yang,
bertentangan dengan kemauan sendiri, dikawinkan dengan seorang petani kaya
raya. Perkawinan ini tidak memberikan kebahagiaan kepadanya.
Gaya yang agak serupa dikembangkan oleh beberapa penulis lainya pada zaman ini,
yang semuanya menghasilkan buku-buku yang benar-benar enak dibaca, dan berpusat
disekitar masalah-masalah yang terjadi padazamannya, yaitu Dwijasasmita dengan Tuking Kasusahan (BP 774, 1927, 50 hlm,L).
Selama tahun tiga puluhan, perkembangan yang dimulai dalam periode sebelumnya
berjalan terus, tidak berhenti atau berubah banyak-banyak. Para penulis tetap
menggunakan tema-tema yang telah menjadi lazim: perselisihan antara generasi
tua dan generasi muda, baik karena pandangan yang berbedamengenai pemilihan
tema hidupmaupun mengenai karier pilihan anaknya; selanjunya akibat-akibat
menyedihkan dari kawin paksa, beristri dua, sifat manja karena salah asuhan,
atau kesukaan berjudi; penderitaan yang disebabkan oleh terjadinya musibah,
retaknya keluarga, atau karena disebarkan sebagai anak yatim piatu; pengalaman
selama hidup terasing dari tempat kelahiran baik disengaja maupun dipaksa, dan
akhirnya , tentang kejahatan dan pembongkarannya.
Penggunaan huruf latin, yang mula-mula hanya dilakukan pada buku-buku untuk
anak-anak, seperti karya Sindupranata, Lelakone
Amir(1918), dan dalam buku-buku yang bersifat jurnalistik, seperti karya
Yitnasastra, Kesah Layaran
dateng Pulau Pupuwah (1919),
menjadi lebih umum tahun 195, Bahasa Jawa ngko sejak awal mula umum digunakan
untuk buku-buku anak-anak Sindupranata (1918), Suratman Sastradiarja (1923,
1928, 1928), Sastrasutiksna (1925), Kamsa Wiryasaksana (1926), dan Kamit
Nutaasmara (1927, 1929, 1932). Maka ketika Kasumadigda (1927) dan Sukarna
(1929) juga memilih gaya ngko ini didalam buku-buku yang ditulisnya untuk
pembaca yang lebih dewasa, buku-buku yang dimaksud sebagai sastra, ini
merupakan pembaruan yang penting. Setelah tahun 1930, cantoh ini lama-lama
diikuti oleh jumlah penulis yang makin lama makin bertambah, sehingga setelah
tahun 1960 penggunaan bahasa krama di dalam cerita prosa merupakan pengecualian
yang langka.
Penyusunan plot yang baik
masih saja menjadi kesulitan bagi setengah penulis. Akibatnya, banyak buku yang
tetap hanya “cerita” saja tentang sesuatu peristiwa yang menarik hati sang
penulis sehingga dianggap patut diceritakan kepada masyarakat luas. Akan
tetapi, cerita semacam ini biasanya cepa selesai dan akibatnya buku-buku
seperti itu umumnya hanya kecil-kecil. Bacaan yang luas, sebagai syarat untuk
mengembangkan gagasan-gagasan yang diperluhkan guna membangun plot yang memuaskan,
merupakan sebuah jalan yang hanya terbuka bagi mereka yang mampu membaca sastra
dalam bahasa Barat, dan memiliki waktu luang untuk menikmatinya.
Beberapa buku dari periode ini masih tercetak dalam huruf Jawa: Dwikarsa (BP 896, 1930, 105 hlm.) karangan
R.Sastraatmaja, yang berisi cerita tentang seorang wanita yang malang karena
dimadu suaminya; juga buku-buku karya Siswamiharja, Serat Tumusing Panalangsa (BP 885, 1930, 69 hlm) dengan
pokok masalah yang sama, dan Maryati
dan Maryana (BP 922, 1930, 78
hlm).
Jakalelana menulis Becik
Ktitik Ala Ketara (BP 906,
1930, 55 hlm, L), dan Gambar
Mbabar Wewados (BP 1011,
1932, 63 hlm. L) yang kedua-duanya dalam bahasa Jawa Krama. Penulis lain dari
awal tiga puluhan adalah: Sugeng Cakrasuwigya dengan Ayu Ingkang Siyal (BP 904, 1930, 123 hlm.,L),
Jayadiharja dan Harjasecayuda, yang bersama-sama menulis Ngedol Maratuwa (BP 1004, 1932, 100 hlm.,L) yang
ditulis dengan ngoko, dan Demang
Pancal Panggung (BP 982,
1932, 64 hlm.) yang ditulis dalam krama dan dicetak dengan huruf Jawa.
Jelaslah bahwa fasilitas penerbitan dan distribusi yang diberiksan oleh Balai
Pustaka merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan cerita prosa
modern. Sesungguhnya orang yang dapat mengatakan bahwa bahwa satra modern yang
sedang tumbuh itu ditopang oleh badan penerbit pemerintah ini dalam tahun
1911-1941. Penerbitan dan percetakan sastra, seperti Tan Koen Swie di Kediri.
Mardi Mulya di Yokyakarta dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, seksi di
Balai Pustaka yang menilai dan menyunting naskah-naskah Jawa yang diterima
untuk diterbitkan melakukan fungsi yang sangat penting, karena selama
bertahun-tahun menetapkan patokan tentang mana-mana yang dapat diterma dan
mana-mana yang tidak,bagi dari sudut ceritanya maupun gaya bahasanya.
Inisiatif
Balai Pustaka yang lainya adalah penerbitan majalah Kejawen. Kejawen diterbitkan pada tahun 1926-1942,
mula-mula sekali seminggu, tapi sejak 1938 dan seterusnya menjadi dua kali
seminggu. Beberapa cerita pendek dan puisi yang awal sekali dalam sejarah
sastra Jawa diterbitkan dalam majalah ini.
Ada dua
autobiografi yang memberikan gambaran mengenai sastra yang berkembang di bawah
naungan Balai Pustaka sebelum tahun-tahunsebelum Perang Dunia II. Kudea buku
itu adalah Kembar Mayang (BP 1231/1231, 1937, 2 jilit
masing-masing 80 dan 128 hlm.) yang dikumpulkan oleh Sastrasuwigny, dan Eenvouding Hedendaagschi Javaansch
Proza (Leiden, 1946, 181
hlm.) oleh G.W.J Drewes. Dari terbitan Harjawiraga tampak bahwa tembang macapat
baginya masih merupakan medium penting untuk ekspresi satra. Tidak hanya dia
saja yang merasa demikian. Sejak berdirinya Balai Pustaka menerbitkan atau
menerbitkan ulang karya-karya yang termasuk tradisi klasik dalam jumlah yang
cukup besar. Di samping Harjawiraga, beberapa penulis lainya juga memberikan
sumbanganya yang baru, misalnya: Cakradireja dengan Warawurcita (BP 722, 1925, 95 hlm.) dan
tokoh-tokoh lain dengan karya-karyanya. Bentuk persajakan digunakan di sini
semata-mata sebagai sarana untuk mengisahkan sebuah cerita sederhana dengan
cara yang enak dan merdu. Hal yang sama dikatakan tentang dua karya yang terbit
sesudah perang dan juga patut disebut disini, yaitu karya Susanta Tirtapraja, Nayaka Lelana ( Kementerian P.P. dan K, 1955, 48
hlm. L) yang menuturkan kisah aksi militer Belanda kedua terhadap Republik
Indonesia pada bulan Desember 1948, dan karya Priyana Winduwinata, Serat Jaka Sura Tresnawati (BP 2250, 1966, 223 hlm.,L) yaitu
cerita sederhana yang diilhami oleh kisah Panji.
Saluran lain
yang pening untuk penerbitan karya sastra sebelum perang adalah majalah
mingguan Penyebar Semangat, yang di terbitkan di Surabaya
mulai tahun 1933 dan seterusnya. Di bawah pimpinan Supardi yang sangat cakap, Penyebar Semangat menjadi majalah independen
berbahasa Jawa yang paling berpengaruh dalam tahun-tahun sebelumnya Perang
Dunia II.
Dari tahun 1935 majalah ini menerbitkan dalam bentuk cerita bersambung sejumlah
novel yang diperbandingkan dengan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Pengarang-pengarang utama di dalam medium pers bebas ini adalah Sri Susinah
dengan Sandal Jinjit ing
Sekaten Sala (1935), yang
mengolah tema lama tentang pilihan bebas teman hidup dan Sri Panggung Wayang Wong (1914) Br. Yudyatma dengan Gumebyar Lir Kencana Sinangling (1939), Isbadi Paramayuda dengan Gegak Gaok (1939) dan tokoh-tokoh lain dengan
karya-karyanya.
Sekitar tahun 1936 jenis cerita pendek muncul dalam Kejawen dan Panyebar Semangat. Dalam kejawen dibuat secara anonim, seperti
kebanyakan sumbangan-sumbangan tulisan lainya dalam majalah ini ( yang biasanya
ditulis oleh Sumantri Harjadibrata sendiri atau oleh anggota staf Balai Pustaka
lainya). Dalam Penyebar
Semangat, genre ini kerap kali digunakan untuk tema-tema dengan
kecenderungan nasionalisme, dan sebagian besar pengarangnya lebih suka
menggunakan nama samaran. Di samping tema-tema dengan kecenderungan
nasionalisme, tema-tema horor atau sosial juga banyak digarap. Mutu sastra
cerita pendek dari masa ini tidak begitu tinggi. Jalan perkembangan yang masih
di tempuh memang panjang sekali. Dalam Penyebar
Semangat, genre ini dimulai
oleh Sambo dengan cerita Netepi
Kwajiban (PS no. 45, 9 Nov.
1935) pengarang pengarang yang menerbitkan karyaanya lebih dari satu kali ialah
Pangripta (Imam Supardi), Kelana Jaya, Zilvervos, Lum Min Nu, Daddy Suyani, I.
Suharta, Elly, dan Jaka Balung. Tokoh-tokoh yang bersembunyi di balik nama-nama
samaran ini barangkali anggota-anggota ”Studieclub” Dr. Sutomo yang terkenal
itu.
Selama pendudukan Jepang, penerbitan Kejawen dan Penyebar Semangat dihentikan. Satu-satunya medium
yang masih ada hanyalah Panji
Pustaka, yang diterbitkan
oleh Balai Pustaka. Dari tahun 1943 majalah ini terbit dengan lampiran bahasa
Jawa dan Sunda. Duo orang penulis muda yang tampil dalam periode ini adalah:
Purwadhi Atmadiharja dan Subagiya Ilham Natadijaya (Soebagijo I.N). mereka
inilah yang menjadi pelopor generasi penulis cerita pendek dari masa sesudah
perang. Puisi modern dalam bahasa Jawa barangkali lahir tahun 1929 dengan terbitnya
tiga buah puisi bergaya nontradisional yang anonim dan Kejawen. Selama kurun waktu 1930-1940 hanya
ada tujuh buah puisi menyusun, baik tanpa nama maupun dengan nama samaran (Pak
Jaya, Pak Gangok). R.Intaya (R.Intojo) yang biasanya menulis dengan bahasa
indonesia dan mempunyai ikatan kuat dengan penyair yang bergabung dengan group
Pujangga Baru, memperkanalkan bentuk sonetatidak lama zaman penduduk Jepang,
penyair lain yang menerbitkan karya dalam tahun-tahun 1941-1945 adalah Nirmala,
S.R Sumartha, dan Subagiya I.N. Puisi puisi ini dari periode permulaan ini
masih sering menggunakan kata-kata kawi; gayanya agak bombastis dan pola-pola
bentuk yang digunakan (bentuk stanza dan sajak) masih laku keras.
Teater nontradisional dari masa awal ini hanya diwakili oleh naskah satu lakon
pentas, yaitu Cariyos Menmen
Lampahipun Cobaning Sesemahan (Budi
Karya Kediri, 1924, 82 hlm), yang ditulis oleh Sastradiharja dan Kartawibawa.
Sandiwara ini adalah sebuah komedi dalam tujuh babak tentang istri seorang
mantri polisi yang menjadi cemburu ketika mendengar bahwa suaminya sering
bertandang kerumah carik. Naskah ini mungkin ditulis untuk pertunjukan oleh sebuah
kelompok amatir. Sejumlah lakon semacam ini karangkali pernah dituliskan,
tetapi, sayang, tidak pernah sampai ke percetakan.
DAFTAR PUSTAKA
- J.J.RAS Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir Jakarta: Percetakan PT Temprint.
Kata "eropa" seharusnya menggunakan huruf E.
BalasHapusKata "instituut" juga menggunakan huruf I.
Untuk penulisan judul suatu karya diawali dengan hurif besar "janda yang cerdik" menjadi "Janda yang Cerdik".
Kata "mejikannya" seharusnya "majikannya".
Kemudian ada kata yang diulang-ulang "bagi para para penyusun" seharusnya adalah "bagi para penyusun"
Tidak ada kata "sebsagai" yang ada hanya kata "sebagai"
Kata-kata "barudapat" harus dispasi menjadi "baru dapat"
Kata "kedalam" harus dipisah "ke dalam"
Tidak ada kata "tahin" yang ada kata "tahun"
Suklit ? Saya tidak pernah mendengar kata ini
Kata surakarta yang benar menggunakan huruf S. (Chindria)
Untuk penulisannya seharusnya disamakan ukuran hurufnya
BalasHapusSebaiknya menggunakan rata kanan dan kiri
Dalam penulisan daftar pustaka masih terdapat kekurangan dalam mencantumkan penerbit dan tempat terbit
(susi)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskalimatnya 100% dari buku, tugasnya kan membaca dan menceritakan kembali (Nur karisma)
BalasHapus