Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan

Sastra dalam kehidupan masyarakat merupakan salah satu karya yang adiluhung, dimana sastra itu diturunkan dari generasi ke generasi. Kebanyakan bentuk karya sastra ini adalah bentuk puisi.  Setelah kemerdekaan, terdapat bentuk – bentuk sastra lisan seperti kentrung, berbagai teater, wayang kulit, dan lain-lain. Munculnya sastra lisan ini dikarenakan pengaruh bahasa Belanda yang menggantikan bahasa Indonesia. Maka jika dilihat pada masa setelah kemerdekaan banyak karya sastra yang lebih menggunakan bahasa nasional dibandingkan bahasa ibu mereka sendiri. Sampai akhirnya produksi karya sastra dalam bahasa Jawa mulai jarang ditemukan dan banyak orang beranggapan bahwa tidak ada lagi pujangga yang memproduksi karya sastra dalam bahasa Jawa. Padahal anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena masih banyak orang diluar keraton yang memproduksi karya Sastra Jawa.
Pada buku karya J.J RAS yang berjudul Sastra jawa mutakhir menjelaskan bahwa para ahli sosiologi mengakui mengenai sumber tingkah laku, nilai dan cita-cita yang beciri khusus pada lapisan masyarakat. Para pengarang karya sastra banyak yang melupakan  bahwa sastra merupakan gejala yanng berisi ganda. Kita tidak bisa untuk sepenuhnya memahami karya seorang pengarang kcuali kita masuk dalam anggota dari sidang pembaca. Sastra jawa ditinjau dari sudut pandang dan aspek sangat ruit dan menarik. Peristiwa yang penting berpengaruh pada masyarakat Jawa abad ini yaitu penambahan umlah penduduk yang sangatlah pesat,jumlah melek huruf semakin bertambah dari hari ke hari sejak 1900an. Kedua peristiwa tersebut mengakibatkan perubahan pada masyarakat yang sangat besar. Perkembangan seperti kebangkitan nasional, dan hilangnaya hubungan masyarakat feodal. Pengaruh barat yang mulai bermunculan seperti sastra lisan bentuk yang sejak dahulu mudah diikuti  bebas dan kalangan yang tidak terpelajar. Hingga sekarang sastra jawa tidak untuk dibaca tetapi didengarkan. Penulisan prosa bahasa jawa lambat laun menjadi suatu pekerjaan yang dilakukan dalam urusan pendidikan. Sastra biasa disebut sastra klasik adiluhung yang diwariskan dari nenek moyang atau generasi terdahulu yang berbentuk puisi,prosa.
Tokoh - tokoh yang berkecimpung didunia sastra modern seperti R.Ng. Ranggawarsita, Ki Padmasusastra, dan para tokoh dimasyarakat umum yang berkiprah didunia sastra dan membuat karya-karya sastra modern. Hasil keberhasilan Ranggawarsita dalam ikut campurnya mewarnai dunia sastra antara lain muncullah berbagai surat kabar seperti Penerbit Balai Pustaka (1917 ), surat Khabar Bromartani (1885),Surat Khabar Retnodumilah (1895),Surat Khabar Budi Utomo (1920). Selain memunculkan surat kabar, Ranggawarsita juga menorehkan beberapa karya yaitu serat Joko lodhang, Serat Kalatidha, Serat Sabdo jati yang dikemas dalam tembang Megatruh, serta tembang Sinom. Karya – karya Ranggawarsita yang kini bisa kita pelajari dan didalamnya terdapat berbagai pesan moral yang dapat kita gunakan untuk evaluasi kita dimasa yang akan datang. Sekarang tokoh yang masih berkecimpung didunia  sastra dan dapat kita nikmati karya –karyanya adalah Ki Padmasusastra. Tokoh sastra jawa yang satu ini lebih banyak menulis cerita daripada tembang. Karyanya yang terkenal dan dapat kita nikmati yaitu Rangsang Tuban, Layang Madubasa yang biasanya disajikan dalam bentuk Kethoprak dan karyanya yang lain adalah Serat Pathibasa.
Dalam perkembangannya sastra jawa modern sudah diakui oleh ahli sosiologi sebagai sumber informasi yang membahas tentang tingkah laku, nilai-nilai dan cita-cita yang khas di dalam masyarakat. Banyak peristiwa-peristiwa penting yang berpengaruh terhadap masyarakat jawa yang mengakibatkan adanya perubahan pada masyarakat yaitu perkembangan-perkembangan, seperti kebangkitan nasionalisme dan semakin lenyapnya hubungan masyarakat kalangan atas dan bawah. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain, penambahan jumlah penduduk yang begitu pesat dan jumlah melek huruf yang semakin bertambah.
Seiring berjalannya waktu genre-genre baru mulai bermunculan karena banyak mendapat pengaruh dari barat. Dulunya sastra hanya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan dan menganggap hasil karya itu bukan sebagai sastra melainkan menganggap sebagai bahan bacaan yang berguna bagi anak-anak muda. Kebanyakan orang dulu juga menganggap bahwa sastra itu sesuatu yang didengarkan bukan untuk dibaca. Tetapi karena jenis sastra sebagian besar berbentuk puisi yang pada mulanya untuk didengarkan dan dinyanyikan dan hanya diakui nilai sastranya hanya di kalangan elite. Sastra adalah sastra klasik yang adiluhung dan merupakan warisan dari generasi ke generasi terdahulu.
Sastra modern merupakan hasil dari rangsangan kreatif dalam masyarakat modern. Sastra jawa modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda. Para cendikiawan Belanda memberi saran kepada para pujangga jawa untuk menulis cerita berdasarkan mitologi, cerita wayang dan lain sebagainya.
Novel dan cerita pendek merupakan genre sastra barat yang belum lama menjadi bagian dari sastra jawa. Perkembangan sastra modern di Jawa mula-mulanya agak lambat karena genre-genre baru yang bersangkutan didatangkan dari luar negeri di dalam suatu periode ketika masyarakat jawa belum siap menerimanya dan juga belum membutuhkannya. Genre barat masuk ke dalam sastra jawa sejalan dengan masuknya pengajaran eropa ke dalam masyarakat jawa,. Novel merupakan genre sastra yang di negeri barat melalui periode perkembangan yang sangat panjang dan mengalami tradisi penulisan yang subur hanya mungkin terjadi pada sekelompok penulis novel yang berbakat dan kreatif.
Penulisan nontradisional dari masa awal menghasilkan cerita fiksi dengan kecenderungan mengikuti pendekatan ilmiah yang jelas dan kisah-kisah perjalanan yang dimaksud sebagai catatan tentang pengalaman istimewa. Di Jawa dan Malaya selama abad ke-19, hubungan-hubungan yang memiliki kepandaian atau pengetahuan yang tinggi dengan bangsa eropa mengakibatkan penulisan beberapa karangan yang ada di luar lingkup sastra tradisional.  Hubungan tersebut termasuk kegiatan yang berjalan di dalam dan di sekitar Instituut Voor De Javaansche Taal di Surakarta dari tahun 1832-1843, dan yang teristimewa adalah  naskah-naskah yang dihasilkan oleh C.F. Winter yang bertujuan menyediakan bahan bacaan yang agak mudah bagi pelajaran bahasa jawa, yaitu versi-versi prosa atas beberapa karya klasik dalam tembang macapat. Kegiatan ini menjadi perangsang untuk menyusun naskah-naskah berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah-kaidah sastra klasik.
Namun dalam perkembangannya hingga saat ini, Karya Sastra Jawa terbagi menjadi dua bagian antara lain sastra modern dan sastra tradisonal. Sastra tradisonal terikat pada suatu konvensi yang telah turun temurun dari generasai ke generasi berikutnya. Sastra tradisonla disajikan ke dalam sebuah puisi yang menggunakan bahasa puitis yang indah dan sebagian menggunakan bahasa kawi, contohnya adalah macapat. Namun cara penyampaian karya sastra tersebut dengan cara dinyanyikan. Sastra Jawa Tradisional pada waktu tertentu sering digunakan dalam sebuah acara pagelaran ataupun yang lainnya dengan membawakan cerita mengenai sebuah kisah pada masa lalu di suatu Kerajaan Mataram ataupun yang lain dalam bentuk babad, ataupun serat.
Sastra lisan yang bercorak tradisonal juga memiliki segi modern, dalam seni pagelaran wayang misalkan, walaupun konteks yang diceritakan merupakan sebuah karya tradisonal, namun dapat dikaitkan dengan kejadian- kejadian modern. Hal tersebut juga dikarenakan pengaruh lingkungan.
Naskah wayang yang dihasilkan baik masa lalu maupun masa sekarang tidak dapat dibandingkan dengan naskah yang ada pada suatu pertunjukan teatrikal bangsa barat yang di pertontonkan dengan sesuatu yang baru. Sastra Pewayangan yang ada di Masyarakat Jawa tidak perlu adanya sebuah perubahan karena adanya konvensi atau pakem yang berlaku, walaupun pementasan dengan lakon yang sama pernah dipentaskan oleh seorang dalang, dalang yang lainnya boleh menapilkannya. Selain wayang kulit dan wayang golek, sastra lisan yang berkembang di daerah pesisir yaitu kentrung dan jemblung yang menceritakan selain cerita sejarah: Ajisaka, Damarwulan, dll. Sedangkan jemblung menceritakan mengenai menak yang menjadi dasar reptoar wayang golek.
Tradisi wayang dan kentrung merupakan tradisi yang berkembang dikalangan masyarakat dengan menyajikan cerita yang dapat dimanipulasi dan disesuaikan secara bebas sesuai keadaan lingkungan sekitar dan secara perlahan dapat memoderenisasi teknik dan relevansi baru.   
Sastra Jawa kuna dipengaruhi bahasa Sansekerta, yaitu dari India sebelum abad ke-10. Karya sastra Jawa kuna telah banyak dikaji oleh pakar bahasa Jawa kuna. Pembahasan mengenai karya sastra Jawa Kuna di antaranya terdapat dalam buku karya P.J. Zoetmulder yang berjudul Kalangwan, karya Poerbatjaraka berjudul Kepustakaan Jawa atau Kapustakan Jawi, dan sebagainya. Karya sastra Jawa kuna berbentuk puisi atau kakawin yang menggunakan metrum India, selain dalam bentuk kakawin ada juga yang berbentuk Parwa (prosa). Sastra Jawa Kuna hidup pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Jawa atau pada abad IX sampai abad XVII. Satra Jawa Kuna mengandung unsur Instanasentris dan ceritanya berkaitan dengan kedewataan. Beberapa karya besar sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin antara lain:
·         Ramayana karya Yogiswara
·         Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
·         Hariwangsa karya Mpu Panuluh
·         Kresnayana karya Mpu Panuluh
·         Smaradahana karya Mpu Dharmaja
·         Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh dst.
Sedangkan dalam bentuk prosa ada sastra parwa yang diadaptasi dari epos-epos Mahabharata yang terbagi menjadi 18 parwa dan Ramayana yang terbagi menjadi tujuh kanda. Contoh Adiparwa,Sabhaparwa (Mahabharata), Uttarakanda (Ramayana).

2.      Sastra Jawa Tengahan
Sastra Jawa Tengahan hidup pada masa akhir Majapahit sampai akhirnya masukya Islam ke Jawa yang juga berbentuk puisi dan prosa. Bentuk puisi sastra Jawa Tengahan disebut Kidung sedangkan bentuk prosa disebut Serat. Sastra Jawa Tengahan menggunakan metrum Jawa. Pada sastra Jawa Tengahan memliki kesamaan dengan sastra Jawa Kuna yaitu sama-sama mengandung unsur istanasentris namun tidak terkait dengan hal-hal kedewaan. Contoh karya sastra Jawa Tengahan:
·         Kidung sundamala
·         Dew-ruci
·         Sri Tanjung
·         Kidung Ranggalawe
·         Kidung Harsawijaya dst.

3.      Sastra Jawa Era Islam
Hasil karya sastra Jawa era Islam banya dipengaruhi kebudayaan Islam, terutama pada karya sastra Pesisiran. Karya sastra Jawa era Islam sebut suluk dan wirid. Sastra Jawa Era Islam juga dikenal dengan sastra Jawa Baru. Sastra Jawa baru meninggalkan sastra dalam bentuk lisan hal ini berbeda sekali dengan sastra Jawa Kuna dan sastra Jawa Tengahan yang tidak meninggalkan sastra lisan. Pada era Islam sastra Jawa lebih banyak menyampaikan tentang ajaran agam Islam yang biasanya berwujud tembang, yang sekarang ini dikenal dengan macapat. Sastra Jawa Baru atau sastra Jawa era Islam yang tertulis sering disebut sastra kapujanggan. Selama abad XVIII dan XIX denl 13 tokoh pujangga besar diantaranya yaitu:
·         Pangeran Adilangu II
Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Mentawis
·         Carik Bajra
Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi
·         Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 - 1830)
Panitisastra, Dewa Ruci dll
·         Raden Ngabehi Yasadipura II (1756 - 1844)
Serat Centhini, Serat Lokapala dll
·         Raden Ngabehi Ranggawarsita (18 Maret 1802 - 23 Desember 1873)
Serat Jaka Lodhang, Serat Kalatidha dll

4.      Sastra Jawa Modern
            R.Ng. Ranggawarsita dikenal sebaga pujangga terakhir sastra Jawa. Serat Kalatidha merupakan salah satu karya sastra  termasyhur yang diciptakan R.Ng Ranggawarsita. Sastra Jawa modern muncul bersamaan dengan munculnya penerbit dan dan surat kabar, seperti penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Khabar Bromartani (1885), Surat Khabar Retnodumilah (1895), Surat Khabar Budi Utomo (1920) dan lain-lain. Pada masa ini tokoh sastra yang muncul adalah Ki Padmosusatra yang disebut sebagai “tiyang mardika ingkang marsudi kasussatran Jawi” atau orang merdeka yang menekuni kesusastraan Jawa. Beberapa karya Ki Padmosusastra antara lain: Rangsang Tuban, Layang Madusaba, Serat Pathibasa. Cariyos Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Welandi karya RMA Suryasuparta merupakan karya yang berupa kisah perjalanan, selain itu juga terdapat karya terjemahan dari sastra dunia, seperti Dongeng Setunggal Dalu. Sastra Jawa modern periode 1920 – 1945 didukung sepenuhnya oleh penerbit Balai Pustaka dan Majalah Panjebar Semangat.
             Dalam perkembangan sastra jawa terdapat beberapa peristiwa penting yang berpengaruh terhadap masyarakat masyarakat jawa adalah: 1) pesatnya pertambahan jumlah penduduk ; 2) kira-kira sejak tahun 1900 jumlah melek huruf semakin bertambah; kedua hal tersebut  telah mengakibtan adanya perubahan masyarakat yang sangat besar dalam hal kebangkitan nasionalisme, derap ke arah kemerdekaan, serta lenyap hubungan masyarakat feodal. Dalam perkembangannya sastra jawa dipengaruhi oleh Barat. Genre sastra barat seperti novel, cerita pendek, esei, atau sajak bebas sering dimaksudkan sebagai bacaan pribadi demi manfaat pribadi. Sastra jawa modern sebagai upaya perlawanan terhadap sastra jawa tradisional yang dinilai mengekang atau masih tunduk pada peraturan-peraturan tertentu. Sastra jawa modern mulai diperbanyak dan dibaca ke luar keraton.
Ras (1985) menyebut sastra Jawa Moder sebagai “sastra Jawa gagrag anyar” atau sastra Jawa model baru. Oleh Ras sastra Jawa modern dibagi menjadi dua periode, yakni masa kebangkitan dan masa setelah kemerdekaan. Sastra jawa masa kebangkitan dimulai dari kegiatan di Instituut voor de Javaansche Taal di Surakarta tahun 1832- 1843 terutama yang dihasilkan oleh CF, Winter. Kemudian muncul pengarang-pengarang yang menulis karya-karya lainnya seperti Candranagara, Suryawijaya, Padmasusastra, hingga ke karya-karya para pengarang yang masuk dalam penerbit Balai Pustaka.
Pada tahun 1920 novel yang pertama diterbitka berjudul  Serat Riyanto yang ditulis oleh RM Sulardi. Mulai tahun 1935 cerita bersambung mulai berbembang dikalangan pengarang yang kemudian disusul  dengan berkembangnya crita cekak yang dimulai pada tahun yang sama dan geguritan yang muncul  pada tahun 1941. Crita bersambung dimulaioleh Sri Susinah dengan karyanya yang berjudul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala” ( PS No. 44 Tahun III, 2 November 1935), untuk crita cekak dimulai oleh Sambo dengan karyan berjudul “Netepi Kuwajiban” (PS No 45 Tahun III,  9 November 1935) sedangkan geguritan dimulai dengan “Dawaning Sastra” karya R. Intoyo dalam majalah Kejawen No 26 tanggal 1 April 1941. Untuk periode sastra Jawa modern setelah kemerdekaan periode 1945 - 1966 dikuasai oleh generasi penuls tua yang mulai muncuk sebelum 1945, periodisasi Suripa Sadi Hutomo dan terakhir angkatan penerus yang mulai tampil setelah tahun 1966. Periode selanjutnya adalah periode sastra majalah, yakni 1966- sekarang.
Kebangkitan sastra jawa modern tak lepas dari unsur genre sastra barat yang ikut andil dalam karangan sastra jawa modern. Munculnya sastra Jawa modern sangat erat kaitannya dengan masa-masa kolonial atau negara-negara barat karena pada saat itu negara Indonesia terkhususnya di pulau Jawa telah dijajah oleh orang-orang barat sekian lamanya. Dari situlah muncul para pengarang jawa untul menciptakan suatu karya yang sama atau berkaitan seperti karya-karya dari barat. Sebelum munculnya sastra Jawa modern berkembang ada juga pujangga yang menciptakan karya-karya sastra namun para pujangga itu terdapat di sekitar kerajaan atau keraton saja hingga adanya pendapat bahwa pujangga Ranggawarsita adalah pujangga yang terakhir karena Ranggawarsita adalah pujangga keturunan keraton. Namun hal itu tidak dibenarkan sama sekali terbukti dari munculnya karya sastra Ki Padmasusastra yang berhasil mencuri perhatian para pembaca. Pada saat itu jugaorang-orang elit dijawa yang belajar kepada orang-orang barat tak hanya keturunan kerajaan saja sehingga mereka orang yang bukan keturunan keraton mampu menciptakan karangan-karangan yang sangat bagus. Karena perubahan jumlah penduduk serta peningkatan melek huruf yang menjadikan para pujangga modern menciptakan sebuah karya-karya dan berhasil mencapurnya dengan genre barat karena waktu dulu jawa tak hanya belajar tentang jawa saja melainkan juga terdapat hubungan intelektual terhadap bangsa-bangsa Eropa. Karya-karya sastra diera modern seperti  novel, cerita pendek, esei, atau sajak bebas yang memang dimaksud untuk menjadi bacaan para pembaca. Memang perkembangan karya sastra jawa dulunya sangat lambat. Kebanyakan karya sastranya berupa karya sastra tulis. Banyak sekali pujangga-pujangga yang mencoba menghasilkan suatu karya sastra. Karya sastra modern memang berubah menjadi karya sastra tulis tidak seperti karya sastra tradisional, dan juga karena salah satu pengaruh dari barat perubahan itu pun muncul dengan banyaknya para pujangga-pujangga yang mampu menghasilkan karya-karya sastra terlebih lagi difasilitasi dengan adanya Balai Pustaka atau penerbitan pada saat itu, walau hanya sederhana tetapi karya-karya pengarang bisa diterbitkan dan menjadi bacaan-bacaan masyarakata. Penerbitannya pun masih sangat sederhana dengan kertas-kertas atau buku-buku kecil. Para pembaca pun bisa menikmati karya dari mereka meskipun banyak sekali tentangan-tentangan dari kaum feodal yang beranggapan akan menghilangkan budaya jawa tradisional namun dengan sendirinya anggapan itu lama-kelamaan ditepis. Kedudukan kantor Balai Pustaka sangat berperan penting karya-karya pengarang harus mengalami proses percetakan terlebih dahulu agar bisa tersebar dan dapat dinikmati para pembaca. Balai Pustaka pada saat itu memang satu-satunya kantor penerbitan yang dapat menerbitkan karya sastra tulis.
Kantor Balai Pustaka terletak di Surakarta yang dahulu diberi nama Kantoor voor Volkslecture. Pada awalnya kantor tersebut menyediakan berbagai kebutuhan sekolah dimulai pada tahun 1911, untuk memberikan gambaran tentang perkembangan penulisan. Namun tak hanya Balai Pustaka ada juga kantor penerbitan Panyebar semangat yang telah berhasil menerbitkan novel pada saat itu. Berkatnya  karya sastra tulis akhirnya bisa diterima oleh masyarakat. Karya sastra modern ini sering dikenal sebagai gagrag anyar atau sastra gaya baru. Karena pada saat itu karya sastra jawa berupa tulisan-tulisan atau selebaran saja melihat hal itu lama-kelamaan timbul suatu ide untuk membuat suatu novel. Tokoh yang menjadi pelopor bangkitnya sastra jawa modern ialah Ki Padmasusastra yang pada saat itu tidak lagi menerbitkan tembang-tembang melainkan dalam bentuk prosa ataupun surat-surat kabar.  Adapula salah satu karya sastra jawa modern yang berbentuk prosa dimaksud agar mempermudah untuk membacanya. Prosa yang terkenal dan kala itu sudah menjadi cetakan adalah Cariyos Nagari Walandi karangan dari Rd.Abdullah Ibnu Sabar bin Arkebah yang berisi tentang perjalanan menuju negara Belanda. Karya sastra di era jawa modern ini memang sangat beragam tak hanya berisi tentang pesan dan moral saja melainkan juga pengalaman perjalanan seseorang yang diceritakan dengan runtut terkadang juga diceritakan dengan apa yang sudah terjadi jadi benar-benar suatu perjalanan. Misalnya karya sastra yang berjudul Ngulandara yang menceritakan suatu perjalanan anak orang penting namun ia rela manjalankan hidupnya dengan mengembara dan memyamar menjadi orang biasa saja dengan rela menjadi seorang sopir dan menjadi penjaga kuda. Dituliskan dengan perjuangan dalam perjalanan dimaksudkan sebagai bacaan saja tak hanya kisah perjalanan saja ataupun hanya membahas tentang cerita saja melainkan juga yang menceritakan apa yang ada pada kehidupan sehari-hari dan itu memang benar-benar terjadi dalam kehidupan masyarakat salah satu contoh karya sastranya ialah Surya Ngalam dan Seca Wardaya kedua karya sastra ini menggarap persoalan mengenai perkara pengadilan. Karya sastra dari Surya Wijaya ini bentuknya bermacam-macam dimulai dari karya sastra yang bertema roman pendidikan hingga ada yang berbentuk prosa ada juga yang masih berbentuk macapat jadi karyanya masih sangatlah klasik. Ada pula karya sastra klasik yang beliau karang dengan judul Janda yang Cerdik namun bahasa yang digunakan masih sangat puitis sehingga harus diperbaiki, ialah Ki Padmasusastra yang memperbaiki karya sastra itu karena beliaulah tokoh yang sangat berperan penting dalam bidang pengajaran bahasa Jawa. Semua karya-karyanya dijadikan contoh oleh para pujangga-pujangga karena karyanya sungguh bermanfaat dan sangat baik. Ki Padmasusastra menceritakan semua yang ada pada masyarakat Jawa sedemikian rupa tanpa  ada kekurangan sedikitpu bahkan biografi Ranggawarsito yang menulis beliau. Memang diera sastra jawa modern Ki Padmasusastra sangat berperan penting dalam munculnya sastra jawa modern. Terbukti dengan karya-karyanya yang hampir semua diterima oleh masyarakat meskipun beliau bukan dari kalanga keraton. Berkatnya banyak sekali para pengarang-pengarang luar keraton yang mempunyai karya-karya sendiri hingga bisa dipublikasikan dan dinikmati oleh masyarakat jawa.
Penulis terbaik di tahun 1925-1930 adalah Asmawinangun. Beliau tidak hanya pandai dalam memilih tema, tetapi beliau juga pandai melukiskan suasana, dialog-dialog yang dibuatnya terasa hidup, serta bahasa yang digunakan sangat enak, hal itu membuat beliau berhasil membuat para pembaca menjadi tercekam. Di dalam bukunya yang berjudul Jejodoan Ingkang Siyal (Balai Pustaka 755, 1926, 115 halaman, Latin)berisi tentang seorang gadis yang bertentangan dengan kemauannya sendiri, dikawinkan dengan seorang anakpetani yang kaya raya, namun perkawinan itu tidak memberikannya kebahagiaan. Setelah lama menunggu kedatangan seorang anak, akhirnya ia dikaruniai dua orang anak laki-laki. Dan kedua anakitu sangat dimanja oleh sang ayah, sehingga saat mereka tumbuh besar mereka terjerumus ke dalam kejahatan tindak pidana kecil-kecilan, yang menghancurkan kehidupan mereka dan ibunya. Saking Papa Dumugi Mulya (Balai Pustaka 782, 1928, 141 halaman, Latin) memiliki nada yang berbeda. Ini bercerita tentang dua orang anak desa Jupri dan Ciptadi yang telah kehilangan ayahnya, serta ditipu oleh ayah tiri mereka yang berprofesi sebagai petani kaya dengan nama Kartadipa. Seusai dipukuli habis-habisan oleh ayah tirinya, ia minggat dari desa kelahirannya, Jupri menyusulnya. Setelah mengembara selama bertahun-tahun akhirnya mereka bertemu dengan keadaan yang membahagiakan. Dan beberapa karya penulis lainnya.
Kemudian gaya yang agak serupa dikembangkan oleh beberapa penulis lainnya pada zaman ini, yang semuanya menghasilkan buku-buku yang besar-besar serta enak dibaca. Dan berpusat di sekitar masalah-masalah yang terjadi pada zamannya, yaitu Dwijasami, dengan Tuking Kasusahan (Balai Pustaka 774, 1927, 50 halaman, Latin), Kusumadigda disekitar dengan Gawaning Wawatekan (Balai Pustaka 788, 1928, 157 halaman, Latin), dan beberapa karya penulis lainnya.
Selama tiga puluh tahun, perkembangan yang dimulai dalam periode sebelumnya berjalan terus, tidak berhenti atau berubah banyak-banyak. Para penulis tetap menggunakan tema-tema yang telah menjadi lazim seperti perselisihan antara generasi muda dengan generasi tua, baik karena pandangan yang berbeda mengenai pemilihan teman hidup maupun mengenai karier pilihan snag anak. Selanjutnya akibat-akibat menyedihkan dari kawin paksa, beristri dua, sifat manja karena salah asuhan, atau kesukaan berjudi. Penderitaan yang disebabkan oleh terjadinya musibah, retaknya keluarga, atau karena dibesarkan sebagaianak yatim piatu, pengalaman selama hidp terasing dari tempat kelahiran, baik karena disengaja maupun terpaksa dan akhirnya, tentang kejahatan dan pembongkarannya,
Penggunaan huruf Latin, yang mula-mula dilakukan pada buku-buku untuk anak-anak, seperti karya Sindupranata, Lelakone Amir (1918), dan dalam buku-buku yang bersifat jurnalistik, seperti karya Yitnasastra, Kesah Layaran dateng Pulo Papuwah (1919), menjadi lebih umum sekitar tahun 1925, bahasa Jawa ngoko sejak awal mula umum digunakan untuk buku-buku anak-anak. Sindupranata (1918), Suratman Sastradiarja (1923, 1928, 1928), Sastrasutiksna (1925), Kamsa Wiryasaksana (1926), dan Kamit Nataasmara (1927, 1929, 1932). Maka ketika Kusumadigda (1928) dan Sukarna (1929) juga memilih gaya ngoko ini di dalam buku-buku yang ditulisnya untuk pembaca yang lebih dewasa, buku-buku yang dimaksud sebagai sastra, itu merupakan pembaruan yang penting. Setelah tahun 1930, contoh ini lama-lama diikuti oleh jumlah penulis yang semakin bertambah setelah tahun 1960 penggunaan bahasa krama di dalam cerita prosa merupakan perkecualian yang langka.
Penyusunan plot yang baik masih saja merupakan kesulitan bagi setengah penulis. Akibatnya, banyak buku yang tetap hanya “cerita” saja tentang suatu peristiwa yang menarik hati sang penulis serta yang dianggapnya patut diceritakan kepada masyarakat luas. Akan tetapi, cerita semacam ini biasanya cepat selesai dan akibatnya buku-buku seperti itu umunya hanya kecil-kecil. Bacaan yang luas, sebagai syarat untuk mengembangkan gagasan-gagasan yang diperlukan guna membangun plot yang memuaskan, merupakan sebuah jalan yang hanya terbuka bagi mereka yang mampu membaca sastra dalam bahasa Barat, dan mempunyai waktu luang untuk menikmatinya.
Beberapa buku dari periode ini masih tercetak dalam bahasa Jawa : Dwikarsa (Balai Pustaka 896, 1930, 105 halaman) karangan R. Sastraatmaja, yang berisi cerita tentang seorang wanita yang malang karena dimadu suaminya;juga buku-buku karya Siswamiharja, Serat Tumusing Panalangsa (Balai Pustaka 885, 1930, 69 halaman) dengan pokok masalah yang sama, dan Maryati lan maryana (Balai Pustaka 922, 1030, 78 halaman).
Jelaslah bahwa fasilitas penerbitan dan distribusi yang diterbitkan oleh balai Pustaka merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangfan cerita prosa modern. Sesungguhnya orang dapat mengatakan bahwa sastra modern yang sedang tumbuh itu ditopang oleh badan penerbit pemerintah ini dalm tahun 1911-1941. Penerbitan dan percetakan swara, sepertai Tan Koen Swie di Kediri. Mardu Mulya di Yogyakarta, Siti Syamsiyah, Rusche, Sadu Budi, Kalimasada, dan Mars di Yogyakarta, Van Dorp di Semarang, dan G. Kolff & Co di Surabaya, tidak aktif di bidang ini, dan baru setelah 1933 Panyebar Semangat di Surabaya mulai memainkan perannya. Oleh karena itu, seksi di Balai Pustakayang menilai dan menyunting naskah-naskah Jawa yang diterima  untuk diterbitkan melakukan fungsi yang sangat penting. Ketua redaksi, M. Suyud Martadiharja, yang ada pada tahun 1930 digantikan oleh M. Kusrin, bersama-sama dengan anggota stafnya, Harjawiraga dan Sastrasuwignya, R. Ranggawirawangsa dan Suharda, selama bertahun-tahun menetapkan patokan tentang mana-mana yang dapat diterima dan mana-mana yang tidak dapat diterima. Baik dari sudut cerita maupun gaya bahasa.
Referensi

Rass.J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Percetakan PT Temprint.


Komentar

  1. Banyak kata-kata yang salah dalam penulisan, misal tahun 1900an seharusnya 1900-an, kemudian kata "jawa" seharusnya menggunakan huruf J.
    Gunakan tanda baca yang benar, contoh puisi,prosa yang benar adalah puisi, prosa. (Chindria)

    BalasHapus
  2. penulisan eropa sebenarnya memakai huruf kapital apa huruf kecil ya?
    (tisrina)

    BalasHapus
  3. Lebih teliti lagi dalam penulisan. Pada paragraf terakhir, penulis menuliskan kata "perkembangfan" yang harusnya ditulis "perkembangan". (Dini Tegar P)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan