Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan
Sastra, identik dengan tulisan yang
indah, maka muncul kata kesusastraan yang berasal dari kata
"su" yang berarti baik dan kata "sastra" yang berarti
tulisan. Jadi susastra adalah suatu
karya tulisan yang indah.
Sastra dalam kehidupan masyarakat
merupakan salah satu karya yang adiluhung,
dimana sastra itu diturunkan dari generasi ke generasi. Kebanyakan bentuk karya
sastra ini adalah bentuk puisi. Setelah
kemerdekaan, terdapat bentuk – bentuk sastra lisan seperti kentrung, berbagai
teater, wayang kulit, dan lain-lain. Munculnya sastra lisan ini dikarenakan
pengaruh bahasa Belanda yang menggantikan bahasa Indonesia. Maka jika dilihat
pada masa setelah kemerdekaan banyak karya sastra yang lebih menggunakan bahasa
nasional dibandingkan bahasa ibu mereka sendiri. Sampai akhirnya produksi karya
sastra dalam bahasa Jawa mulai jarang ditemukan dan banyak orang beranggapan
bahwa tidak ada lagi pujangga yang memproduksi karya sastra dalam bahasa Jawa.
Padahal anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena masih banyak orang diluar
keraton yang memproduksi karya Sastra Jawa.
Sastra Jawa yang tertulis sekarang
ini dibagi menjadi 2 yaitu : "sastra tradisional dan sastra modern. Sastra
tradisional ialah karya sastra yang masih terikat dengan ketentuan atau patokan
yang turun-temurun dari generasi ke generasi.
Sedangkan sastra modern yaitu suatu karya sastra yang sudah tercampur
dan dikreasikan dengan perkembangan zaman yang sudah modern". ( J.J.
Ras,1985:3 ) Contoh sastra tradisional adalah tembang macapat, dalam pembuatan
tembang macapat menggunakan tembung atau kata yang mengandung arti yang adiluhung, mengandung peringatan,
nasehat dengan memperhatikan irama seolah – olah seperti membaca mantra. Selain
tembang, ada pula salah satu contoh karya sastra lisan yang dapat kita lihat
dalam pagelaran wayang, saat seorang dalang menyajikan suatu lakon wayang,ia
menggunakan kata -kata dari bahasa jawa kuna yang dibawakan dengan intonasi
serta irama yang sangat apik.
Tokoh - tokoh yang berkecimpung
didunia sastra modern seperti R.Ng. Ranggawarsita, Ki Padmasusastra, dan para
tokoh dimasyarakat umum yang berkiprah didunia sastra dan membuat karya-karya
sastra modern. Hasil keberhasilan Ranggawarsita dalam ikut campurnya mewarnai
dunia sastra antara lain muncullah berbagai surat kabar seperti Penerbit Balai
Pustaka (1917 ), surat Khabar Bromartani (1885),Surat Khabar
Retnodumilah (1895),Surat Khabar Budi Utomo (1920). Selain memunculkan surat
kabar, Ranggawarsita juga menorehkan beberapa karya yaitu serat Joko lodhang,
Serat Kalatidha, Serat Sabdo jati yang dikemas dalam tembang Megatruh, serta
tembang Sinom. Karya – karya Ranggawarsita yang kini bisa kita pelajari dan
didalamnya terdapat berbagai pesan moral yang dapat kita gunakan untuk evaluasi
kita dimasa yang akan datang. Sekarang tokoh yang masih berkecimpung
didunia sastra dan dapat kita nikmati
karya –karyanya adalah Ki Padmasusastra. Tokoh sastra jawa yang satu ini lebih
banyak menulis cerita daripada tembang. Karyanya yang terkenal dan dapat kita
nikmati yaitu Rangsang Tuban, Layang Madubasa yang biasanya disajikan dalam
bentuk Kethoprak dan karyanya yang lain adalah Serat Pathibasa.
Sekarang ini selain pementasan
kethoprak prodak karya sastra jawa lain yang bisa kita nikmati adalah novel-novel
bahasa jawa seperti Serat Riyanta, Ngulandara, dan banyak novel-novel yang
lain. Novel, sejatinya merupakan genre sastra yang berasal dari negeri Barat.
Saat datangnya novel di Jawa, hal ini belum diterima oleh masyarakat Jawa
hingga akhirnya dibentuklah sebuah badan penerbit dari pemerintah yaitu Balai
Pustaka yang sekarang menerbitkan buku-buku yang bermanfaat bagi masyarakat.
Badan Balai Pustaka ini mulai menerbitkan buku-buku sejak tahun 1911. Sudah
banyak buku-buku yang telah diterbitkan oleh Balai Pustaka dan digunakan
sebagai bahan mengajar di sekolah-sekolah atau di kampus.
Selain menerbitkan buku untuk bahan
mengajar, ada pula buku cerita dan novel yang sarat akan pesan moral walaupun
tidak semua novel dan cerita itu memakai
bahasa sastra. Salah satu novel yang penuh pesan moral adalah novel
Serat Riyanta karya R. Sulardi yang menceritakan seorang anak muda yang masih
memiliki keturunan bangsawan Surakarta bernama Raden Mas Riyanta yang
diceritakan menghindari usaha perjodohan yang direncanakan oleh ibunya yaitu
Raden Ayu Natasewaya. Menurut ibunya, usia Raden Mas Riyanta sudah cukup untuk
menikah, namun anaknya itu belum mempunyai calon istri hingga ibunya mempunyai
niat untuk menjodohkannya dengan anak teman baik almarhum ayahnya yang bernama
Srini. Karena terus didesak oleh ibunya untuk menikah, akhirnya Raden Mas
Riyanta meninggalkan rumah untuk menghindari acara perjodohan yang direncanakan
oleh ibunya dan berkelana mencari arti hidup. Sampai ada suatu peristiwa yang
mempertemukan Raden Mas Riyanta dengan Srini. Ternyata Srini itu adalah wanita
yang dijodohkan dengannya. Dari cerita tersebut menceritakan kedewasaan seorang
pemuda yang berkelana mencari pengalaman hidup untuk bekalnya dimasa depan.
Cerita tersebut sangat digemari khalayak ramai.
Banyak sekali novel-novel bahasa
jawa yang sangat menarik untuk dibaca. Novel yang berisi ajaran tentang
kehidupan, sebagai hiburan, untuk menghidupkan karya sastra jawa. Selain karya
dari R.Sulardi, masih banyak karya cerita atau novel lain dari para penulis
lain seperti Sasraharsana dengan bukunya yang berjudul Mrojol Selaning Garu,
Kamsa dengan buku berjudul Supraba dan Suminten, karya Tubiran Yatawiharja
dengan judul Kontrolir Sadirman, Danuja dengan judul Tumusing Lampahipun Tiyang
Sepuh, M. Prawirasumarja dengan judul Ihtiyar Ngupados Pasugihan, dan masih
banyak lagi.
Semua karya -karya diatas
menandakan bahwa karya sastra jawa modern saat ini sudah berkembang. Penulis
karya sastra jawa kuno dan tengahan yang lebih banyak menceritakan tentang kehidupan
kerajaan,namun sekarang telah memasuki zaman modern, sehingga karya -karya
sastra sekarang dikemas dengan ide yang lebih menarik, berisikan cerita-cerita
kehidupan abad sekarang, dan diselingi dengan pesan moral. Walaupun karya-karya
itu ditulis dalam bentuk novel yang awalnya berasal dari bangsa Barat, namun
sekarang lebih digemari dan bahkan menjadi bahan bacaan pokok.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh yang
memproduksi sastra modern, yang kebanyakan dalam bentuk novel berbahasa Jawa.
Para tokoh itu antara lain: Arjasaputra, Martayuwana, Admasismaya, Suratman
Sastradiarja, dan masih banyak lagi yang lain. Selama kurang lebih 30-an tahun
terus mengalami perkembangan, walau tidak mengalami banyak perubahan dalam hal
tema, baik itu perselisihan antara generasi muda dan tua, akibat mempunyai
istri 2, perselisihan dengan anak, perjodohan,
retaknya keluarga, dan lain-lain. Namun, cerita itu masih tetap enak
untuk dibaca dan mengandung pesan – pesan moral yang dapat diterapkan dalam
kehidupan kita.
Penggunaan huruf Latin dalam
penulisan buku mulanya hanya dilakukan dalam buku anak-anak dan buku tentang
jurnalistik, seperti karya Yitnasastra,dengan judul Kesah Layaran dateng Pulo
Papuwah. Penggunaan bahasa Jawa ngoko digunakan pada buku anak –anak sebagai bahan
bacaan ringan, contoh karya Sindupranata, Suratman Sastradiarja,Sastrasutiksna,
Kamsa Wiryasaksana, Kamit Nataasmara. Ketika bahasa ngoko ini digunakan untuk
bahan bacaan orang dewasa sebagai karya sastra, hal ini menjadi perubahan yang
sangat besar dan akibatnya penggunaan bahasa krama sekarang sulit bahkan langka
untuk dicari.
Kendala yang sering dialami oleh
penulis- penulis adalah penentuan atau penemuan plot cerita. Sehingga cerita
yang disajikan hanya suatu kejadian yang menarik bagi penulis dan itu bisa
disampaikan kepada para pembaca. Kelemahan dari hal ini adalah ceritanya sekali
habis dibaca dan buku-buku yang dihasilkan kecil-kecil. Bacaan buku yang luas
pemahamannya dengan plot yang memuaskan, hanya terdapat pada karya-karya bangsa
Barat dan diperlukan waktu luang untuk menikmati bacaan –bacaan itu.
Ada beberapa buku yang masih
tercetak mengunakan huruf Jawa antara lain karya dari R.Sastraatmaja dengan
judul Dwikarsa, yang berisi kisah tentang seorang wanita malang yang dimadu
oleh suaminya. Selang beberapa tahun kemudian, muncullah Margana Jayaatmaja
dengan judul Ngulandara, yang banyak digemari oleh masyarakat. Mengetahui
banyaknya buku – buku menarik yang bagus untuk dibaca khalayak umum terutama
anak muda sekarang, tentu fasilitas dan peranan dari penerbit Balai Pustaka ini
merupakan faktor yang penting. Terdapat beberapa penerbit swasta yang ikut
menerbitkan buku-buku yang bermanfaat bagi khalayak ramai, antara lain Tan Koen
Swie di Kediri. Mardi Mulya di Yogyakarta, Van Drop di Semarang, G.Kolff &
Co di Surabaya, dan yang populer saat ini adalah Penyebar Semangat di Surabaya.
Tahun 1926-1942, Balai Pustaka
mempunyai inisiatif baru yaitu menerbitkan sebuah majalah yang berjudul
Kejawen. Awalnya majalah ini diterbitkan seminggu sekali, namun pada tahun 1938
diterbitkan menjadi 2 kali seminggu. Selain buku-buku bacaan ada juga beberapa
buku tentang antologi yang memberikan sebuah gambaran mengenai sastra yang
berkembang di Balai Pustaka selama tahun-tahun sebelum Perang Dunia II, kedua
buu itu adalah Kembar Mayang yang dikumpulkan oleh Sastrasuwignya dan
Eenvouding Hedendaagsch Javaansch Proza oleh G.W.J Derwes dan dari Harsawijaya
yang menerbitkan tembang macapat. Tidak hanya memproduksi buku-buku cerita
baru, Balai Pustaka juga menerbitkan ulang buku – buku klasik.
Satu lagi saluran lain yang terus
berkiprah menerbitkan karya –karya sastra sebelum Perang Dunia II adalah
Penyebar Semangat, yang menerbitkan sebuah majalah mingguan yang berjudul
Kejawen yang saat itu masih banyak diminati masyarakat luas hingga yang semula
hanya diterbitkan seminggu sekali menjadi 2 kali dalam seminggu. Beberapa
pengarang – pengarang utama seperti Sri Susinah, Br. Yudyatma, Mardanus, Sri
Biman, Lum Min Nu yang memberikan karyanya untuk bahan bacaan masyarakat. Tahun
1936 muncul sebuah cerita pendek dalam Kejawen dan Penyebar Semangat. Dalam
Kejawen dimuat secara anonim dan Penyebar Semangat ini isinya kebanyakan
bersifat nasionalisme dan sebagian bersar pengarangnya menggunakan nama
samaran. Disamping memuat hal-ha bersifat nasionalis, Penyebar Semangat ini
juga memuat hal-hal humoris.
Namun dalam sejarahnya, Penyebar
Semangat ini mengalami kendala yang sangat berat karena dalam pendudukan
Jepang, Kejawen dan Penyebar Semangat harus dihentikan dan satu-satunya medium yang
masih tersisa hanya Panji Pustaka yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pada
Tahun 1943 majalah ini terbit degan berbahasa Jawa dan Sunda. Adapun tokoh yang
mempelopori pada zaman ini adalah Purwadhie Atmadiharja dan Subagiya Ilham
Natadijaya, mereka adalah pemuda-pemuda pada zaman itu yang mempelopori cerita
pendek dan puisi pada masa setelah perang.
Pada tahun 1929 terbitlah 3 puisi bergaya nontradisional yang anonim
dalam Kejawen. Selama tahun 1930-1940 mereka telah menerbitkan 7 puisi baik
tanpa nama maupun dengan nama samaran mereka.
Selain cerita, puisi, ada juga
bentuk teater nontradisional yang ikut meramaikan dunia sastra modern. Salah
satunya yaitu Cariyos Menmen Lampahipun
Cobaning Sesemahan merupakan karya
dari Budi Karya pada tahun 1924 di Kediri dan ditulis oleh Sastradiharja dan
Kartawibawa. Namun sayangnya teater ini hanya berupa naskah yang mungkin
dipertunjukkan oleh sebuah kelompok teater amatir. Begitu banyak karya –karya
sastra modern yang beredar zaman dahulu dan sebagian masih bisa kita nikmati.
Itulah sederetan karya – karya sastra modern yang ada pada masa sebelum
kemerdekaan. Perkembangan karya yang terus menerus terjadi dan temuan ide-ide
yang kreatif, membuat orang –orang terinspirasi untuk memproduksi karya-karya
sastra.
Namun, dalam perkembangannya
munculnya Sastra Jawa ini terjadi proses yang sangat panjang. Pada masa
pemerintahan Belanda kehadiran Sastra Jawa ini memang diperhatikan. Pada akhir
abad ke-19 terjadi pergeseran sastra klasik ke sastra modern dan muncul cerita dongeng
walaupun masih sederhana. Dari cerita itu muncul beberapa pengarang
M.Ng.Martaadmadja, M.Ng.Reksatanaja, R.Pandji Soerjawidjaja, R.T.
Darmadiningrat, T.M. Ismangoen, R.Djajasoepana. perkembangan terus terjadi
hingga abad ke-20. Kemajuan ini semakin didukung pada tahun 1908 ketika
didirikannya Komisi Bacaan Sekolah dan Bacaan Rakyat (Commisse voor de Inlandsche School en Volkslectuur). Didirikannya
komisi itu untuk bidang Politik Etis dan kemudina berubah menjadi Balai
Pustaka.
Bergantinya nama itu muncul
beberapa pengarang baru yang bukunya diterbitkan seperti R.L. Djajengoetara, M.
Prawirawinata, M. Hardjasoewita, Soeradi Wirjahasana, dan masih banyak lagi.
Nama-nama pungawa Sastra Jawa pada masa itu dapat diketahui masyarakat,namun
tentang profesi, riwayat hidupnya tidak banyak orang yang mengetahui. Hal itu
mencerminkan sifat orang Jawa yang tidak suka pamer. Kebanyakan penulis cerita pada masa itu tidak mencantumkan
namanya atau menggunakan nama samaran. Karena Balai Pustaka itu dikabarkan
adanya bantuan dari kolonial, maka pihak kolonial mengajukan syarat agar buku
yang diterbitkan oleh Balai Pustaka itu buku yang layak untuk dibaca pelajar di
sekolah negeri. Buku – buku tersebut disalurkan melalui perpustakaan sehingga
pelajar dapat membaca buku dengan lebih
leluasa. Saat terbentuknya Balai Pustaka, muncul beberapa penerbit swasta yang
berani mengeluarkan isi tentang politik.
Dalam sejarah Sastra Jawa pada masa
Kolonial Belanda, nasib dari sastrawan maupun penulis terjamin dan karyanya
masih sangat dibutuhkan sehingga masih ada semangat mereka untuk menulis dan
menerbitkan buku. Namun bagi sebagian pengarang, menulis dan membuat buku
adalah pekerjaan sambilan. Ada beberapa pengarang yang bekerja sebagai guru dan
wartawan. Pada masa pemerintahan Belanda karya –karya dari punggawa Sastra Jawa
masih dibutuhkan dan dicari, namun saat masuk masa pemerintahan Jepang dan
setelah kemerdekaan, karya-karya mereka seakan tidak lagi diminati, sehingga
sekarang banyak sastrawan Jawa yang membuat karya bergantung pada minat
“pasar”. Sehingga sekarang mencari referensi buku sastra zaman dahulu relatif
sulit, karena karya sastra sekarang kurang diminati dan semakin jarang
sastrawan menulis buku. Padahal buku-buku tentang sastra masih diperlukan, tapi
karena minat pasar yang kurang sehingga para penulis dan karyawan enggan untuk
menulis.
Lika-liku perjalanan sastra jawa
modern dari sebelum kemerdekaan menandakan bahwa tidak ada yang bisa menjamin
secara pasti, oleh karena itu sekarang karya – karya mereka sedikit yang
dipasarkan. Berbagai tulisan yang mereka buat semata-mata sebagai bukti
kecintaan mereka terhadap kebudayaan. Para pengarang yang dulunya menyumbangkan
karya – karya untuk bahan bacaan dan bahan ajaran sekarang sulit untuk
ditemukan karyanya.
Banyaknya punggawa sastra jawa yang
ikut menyumbangkan tulisannya untuk dinikmati masyarakat umum, namun sulitnya
mencari data dari para punggawa sastra jawa yang telah bersusah payah
menerbitkan buku yang layak untuk dibaca masyarakat.
Ada beberapa biografi dari para
punggawa sastra jawa yang ikut andil menyumbangkan tulisannya, para punggawa
itu antara lain:
- ArdjasoepartaNama lengkapnya adalah M. Ardjasoeparta. Huruf “M” ini mungkin julukan orang dahulu ditujukan kepada orang yang berpendidikan. Beliau merupakan lulusan sekolah formal yang dibuat Kolonial Belanda. M. Ardjasoeparta yang merupakan lulusan dari sekolah formal Kolonial Belanda sehingga karyanya bisa diterbitkan di Balai Pustaka. M.Ardjasoeparta merupakan tipe orang yang menolak adanya kawin paksa, dan lebih menekankan pada kemandirian tokoh. Karya yang pernah diterbitkannya yaitu sebuah novel yang berjudul Swaraning Budi Ayu pada tahun 1923. Novel yang dibuat mendapat tanggapan baik dari masyarakat
- DjajasoekarsaNama lengkapnya adalah L.K Djajasoekarsa. “L.K” merupakan singkatan dari Lurah Kanjeng. Salah satu karyanya adalah novel berjudul Sri Kumenyar (Balai Pustak, 1938). Seperti kebanyakan pengarang sastra lainnya, sangat sulit mencari jati diri Djajasoekarsa. Namun iika melihat latar belakang sosial budaya pada tahun diterbitkan karyanya, ia merupakan seseorang yang intelektual dengan budaya Barat. Dalam novel yang ia tulis, juga mengisyaratkan untuk menerima pemikiran dan budaya-budaya Barat.
RAS.J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers.
Suwondo Tirto, dkk. 2006. Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern. Yogyakarta: Adi Wacana.
Menurut saya penulisan kajian referensi pada bagian judul buku seharusnya menggunakan huruf miring. Pada beberapa penulisan di- masih banyak yang harus dipisah atau tidak (Laeza Ulima)
BalasHapusMengapa bisa sulit mencari data dari para punggawa sastra?
BalasHapus(tisrina)
BalasHapuskata ini dapat dari mana mbak "
BalasHapusSastra, identik dengan tulisan yang indah, maka muncul kata kesusastraan yang berasal dari kata "su" yang berarti baik dan kata "sastra" yang berarti tulisan. Jadi susastra adalah suatu karya tulisan yang indah" saya membaca buku Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir kok belum pernah menemukan ? (Nur karisma)