SASTRA JAWA MODERN PRA KEMERDEKAAN
Dalam fase perkembanganya
karya sastra jawa pra kemerdekaan dimulai pada abad ke-19 sejak kapujangga
Yasadipura sampai Ranggawarsita di akhir abad ke-19 masuklah kebudayaan Barat
yang nantinya akan sangat berpengaruh bagi kesustraan jawa seperti halnya
munculnya beberapa genre karya sastra yang memberikan warna tersendiri,
pengaruh tersebut muncul bersamaan dengan adanya pendidikan Eropa yang diadakan
bagi masyarakat di tanah Jawa. Genre- genre yang mereka bawa ternyata tidaklah
mudah di terima oleh kalangan masyrayakat Jawa, sehingga berjalan sangatlah
lamban dan memerlukan waktu sangatlah lama, karena mereka menganggap genre
tersebut masih belum dibutuhkan.
C.F Winter yakni salah
seorang yang ditugasi oleh pemerintah Belanda agar menjadi guru dalam suatu
lembaga yang mereka buat, C.f Winter menuliskan bahwa dalam menyediakan bahan
bacaan haruslah dengan metode yang mudah dipahami bagi pelajar bahasa Jawa,
sehingga dicetuskanya versi-versi prosa dalam beberapa karya klasik dalam
tembang macapat, dengan harapan adanya ide baru tersebut dapat menjadi suntikan
untuk muncul karya sastra Jawa baru yang terlepas dari kaidah-kaidah karya
sastra klasik. Hingga pada akhirnya ada beberapa karya sastra yang berbentuk
prosa, dan karya sastra yang bersifat mendidik.
Dalam proses pengembangan
karya sastra jawa modern pastilah tidak lepas dari seorang tokoh yang akan
membuat karya tersebut masyhur seperti halnya Ki Padmususastra dan D.F Van Der
Path yang sangat memberikan jasa dalam perkembangan karya sastra jawa moden,
semua dimulai dari D.F Van Der Path yakni seorang ahli bahasa dari Belanda yang
mengajar di sebuah sekolah Batavia yang merekrut Ki Padmasusatra untuk menjadi
asistennya di sekolah Batavia, kemudian mereaka berdua menulis ulang suatu karya
yang berjudul Randa Gunawacana karya dari Widjaja menjadi Serat Durcaraarja
karena cerita tersebut begitu masyhur.
Ki Padmasusastra adalah
seorang wartawan, cendekiawan, dan seorang guru yang mana sekarang ini beliau di anggap sebagai Bapak Satra Jawa
Modern beliau lahir di Surakarta tahun 1843, beliau juga seorang murid dari
Raden Ranggawarsita ketika beliau masih berada di Surakarta yang kemudian
beliau menerbitkan dan menyunting karya-karya dari Raden Ranggawarsita sebagai
wujud penghargaan terhadap gurunya tersebut. Pada tahun 1866 beliau menerbitkan
suatu karya dalam bentuk prosa fiksi dan biografi. Menurut Hutomo peranan Ki
Padmasusastra sangatlah besar, beliau tidak hanya menjadi seorang pendidik
namun beliau juga menjadi sesosok figur yang berjasa dalam menghasilkan “ bacaan sederhana” yang berwujud prosa,
seperti contoh Serat Kancil Tanpa Sekar
(1909).
Ia juga menulis sebuah novel
yang berjudul Serat Rangsang Tuban
yang mana menurut penerbit yakni N.V. Budi Utama, Surakarta, 1912 novel
tersebut diambil dari Serat Wedhaparaya
karya Empu Manehguna dari Lamongan yang menceritakan Kerajaan Tuban. Diawali
dari bab kedua yangmana Pangeran Sindupati, Raja kerajaan Tuban, yaitu Pangeran
Warihkusuma dan Pangeran Adipati Anom Warsakusuma. Yang kemudian oleh Pangeran
Warihkusuma dipindah ke Kerajaan Banyubir. Kisahnya diakhiri dengan perebutan
kerajaan Tuban oleh kedua Pangeran tersebut. Warihkusuma dengan Raden Undakawimba
putra Endang Westhi dan Pangeran Warsakusuma yang berakhir damai.
Penulisan nontradisional
dari masanya menghasilkan cerita fiksi dengan kecenderungan didaktik yang jelas
dan pada akhirnya berhujung kearah jurnalisme. Cerita prosa yang ditulis yang
semata-mata untuk hiburan saja, ternyata belum digemari dan masih harus
menempuh jalan panjang. Dan genre baru yang dibawa nyatanya belum mampu membuat
mereka mengatakan bahwa sebuah novel dikatakan novel yang sesungguhnya. Mungkin
suatu novel dapat menjadi sastra yang masyhur pada waktu itu jikalau saja ada
sekelompok penulis yang berbakat dan kreatif, sejumlah pencetak dan penerbit
yang kuat keuanganya, aparat distribusi yang berjalan dengan lancar, dan yang
paling penting adalah para pembaca yang memiliki kepeminatan yang tinggi
terhadap karya sastra yang diterbitkan, sehingga ada usaha dari para pembaca
untuk selalu membaca dan mengkaji karya tersebut, sehingga secara ekonomis
semua dapat berjalan sesuai alur. Namun sayangnya itu semua tidak terpenuhi
ketika novel dikenalkan di Jawa, genre ini baru dapat timbul ketika sebuah
badan penerbit yang dimiliki pemerintah yakni Balai Pustaka, telah memberikan
rangsangan terhadap penulisan cerita yang dapat dipakai sebagai “ bahan bacaan yang bermanfaat bagi masyarakat”, serta mengantarkan buku-buku yang
diterbitkan pada para pembaca seperti mengirimnya ke sekolah-sekolah dan
perpustakaan.
Peranan Balai Pustaka
sebagai badan penerbit yang menyediakan kebutuhan sekolah dimulai tahun 1911.
Pada masa itu pembelajaran moral dan keteladanan yang selalu menjadi topik
utama dalam pembahasan suatu cerita. Seperti contoh karangan R.Ng. Ranggawarsita
yang berjudul Darma Sanyata yang mana
mengisahkan tentang seorang gadis yang tumbuh di dalam kedewasaanya yang mana
buku tersebut penuih dengan suri tauladan bagi seorang wanita. Juga buku karya
R. Samuel Martahatmaja,yang berjudul Rukun
Arja yang mana berisikan ajaran moral dan filsafat.
Hingga pada akhirnya
munculan sebuah buku yang mana secara tidak langsung menunjukan kelemahan
daripada orientasi Balai Pustaka pada periode awal yakni karya Sindupranata, “ Lelakone Amir” mengenai anak yatim piatu
yang memang bagus penulisanya , tetapi sangatlah jelas bahwa klarya tersebut
ditujukan pada masyarakat pembaca anak sekolah.karya R. Siswawinata, “ Margining Kautamen” mengisahkan tenta ng
seorang istri bupati yang baik hati, dan lagi-lagi mengemukakan ajaran moral.
Karya R.M Kartadirja “ Tahuning
Katreesnan” yang mengisahkan dua orang kekasih yang berpisah karena si
gadis dikawinkan orangtuanya dengan orang lain, suatu motif yag berulang-ulang
kita jumpai dalam novel Jawa tahun 1920.
Semua buku itu ditujukan
pada masyarakat sebagi bahan bacaan yang bersifat mendidik, mutunya kerap kali
hanya sekedar buku budi pekerti dari tahun-tahun sebelum 1940 di negeri-negeri
Barat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika para ahli sastra Jawa menganggap
karya tersebut hanya senagai buku bacaan biasa, sedangkan yang dianggap sebagai
karya sastra selayaknya yakni hanyalah karya-karya sastra tertulis tradisional
dalam bentuk macapat. Namun bagi kita buku-buku itupun sudah dianggap menarik,
karena menunjukan betapa lamban dan
sulit proses berakarnya suatu genre sastra Barat yang terdiri dari cerita-cerita untuk dibaca bukan untuk didengarkan. Kisah-kisah perjalanan dan lukisan-lukisan tentang tempat atau catatan mengenai suatu peristiwa yang mengesankan kerap kaliditulis dengan pendekatan dan gaya yang bersifat jurnalistik. Sejak awal mula Balai Pustaka memasukan genre ini dalam acara penerbitanya. Seperti karya Prawirasudirja, Cariyos Tanah Pareden Diyeng, karya R.R.A Suryasuparta, Setar Kekesahan Saking Tanah Jawi dateng Nagari Walandi, karya R.R.A Reksakusuma Cariyosipun Banawi Sala, dll. Dalam buku-buku tersebut banyak sekali unsur informasi yang sangat menonjol, jalur fiksinya berpindah pada taraf yang tidak penting lagi. Namun meskipun demikian namun tidak ada salahnya jika tetap dicantumkan dallam suatu cerita, karena semua karya itu merupakan bagian dari arus pokok dalam sastra modern. Dari penulisan karya sastra jenis inilah yang nantinya akan muncul genre khusus yang bercorak esai seperti yang masih populer sampai masa kini.
sulit proses berakarnya suatu genre sastra Barat yang terdiri dari cerita-cerita untuk dibaca bukan untuk didengarkan. Kisah-kisah perjalanan dan lukisan-lukisan tentang tempat atau catatan mengenai suatu peristiwa yang mengesankan kerap kaliditulis dengan pendekatan dan gaya yang bersifat jurnalistik. Sejak awal mula Balai Pustaka memasukan genre ini dalam acara penerbitanya. Seperti karya Prawirasudirja, Cariyos Tanah Pareden Diyeng, karya R.R.A Suryasuparta, Setar Kekesahan Saking Tanah Jawi dateng Nagari Walandi, karya R.R.A Reksakusuma Cariyosipun Banawi Sala, dll. Dalam buku-buku tersebut banyak sekali unsur informasi yang sangat menonjol, jalur fiksinya berpindah pada taraf yang tidak penting lagi. Namun meskipun demikian namun tidak ada salahnya jika tetap dicantumkan dallam suatu cerita, karena semua karya itu merupakan bagian dari arus pokok dalam sastra modern. Dari penulisan karya sastra jenis inilah yang nantinya akan muncul genre khusus yang bercorak esai seperti yang masih populer sampai masa kini.
Dalam periode sesudah perang
banyak dimuat kisah sejarah semu populer di dalam majalah-majalah berbahasa
Jawa, tetapi masih terlalu sesderhana andaikata dimuat sebagai novel sejarah
dan juga bentuk esai yang mana beberapa dari esai tersebut mempunyai
nilai-nilai sastra tertentu.
Kemunculan R. Sulardi dengan
sebuah novelnya yang berjudul Serat
Riyanto yang mampu memberikan gebrakan baru dari segala karya sebelumnya
yang mungkin masih sangatlah klasik dan mulai menjenuhkan. Ini adalah buku
pertama yang sama sekali tidak dirusakan dengan ajaran moral, dan dengan kisah yang sangatlah bagus dengan alur atau
plot yang benar-benar bagus dan tertata rapi, di bangun dengan tema yang jelas
pula, dengan topik tema yang dikaitkan dengan masalah sosial yang akan masih
tetap hangan selama beberapa darsawarsa mendatang. R Soelardi lahir di
Wanagiri, sejak kecil ia sudah memiliki bakat sebagai seorang seniman, yang
kemudian ia terpikat hati dengan karya sastra terutama wayang kulit, karena
bakatnya tersrbut kemudian ia dingkat menjadi pelukis oleh Mangkunegaran VII,
pemain gamelan, pembuat wayang kulit dan menjadi seorang guru bahasa jawa di
Keraton Mangkunegaran VII. Umur 22 tahun Soelardi jatuh hati pada seorang gadis
bangsawan, namun sayang rasa cintanya tersebut tak terbalaskan klarena orangtua
putri vbangsawan tersebut tidak m,erestui, hanya karena Soelardi seorang
seniman dan tidak kaya. Karena rasa kecewanya tersebutlah Soelardi menulis
sebuah novel berbahasa Jawa yang berjudul Serat Riyanto. Dua tahun kemudian
Soelardi menikah dengan putri bangsawan lain, namun sayangnya nasib baik kurang
berpihak padanya, istrinya meninggal yang kemudian Soelardi memutuskan untuk
meninggalkan keraton. Kemudian Soelardi menghidupi dirinya dengan berkecimpung
di duniia sastra. Dalam karyanya yang berjudul Serat Riyanto ia berhasil
memadukan kritikan samar terhadap kebiasaan orang tua yang kerap memaksakan
anaknya dalam hal perkawinan, kisah hidup Soelardi seakan tercermin di dalam
karyanya. Di ceritakan ada seorang pemuda
bernama Riyanto yang mana ia terlahir dalam dunia keraton, dalam
memasuki usia dewasanya Riyanto selalu dipojokan oleh sang Ibu yakni Raden Ayu Natasewaya yang mana ia makin
khawatir dengan tingkah laku anaknya Riyanto yang gemar keluar malam, padahal
keluar malamnya Riyanto hanya sekedar menenangkan diri dari pojokan ibu agar
segera menikah dan tentu saja dengan seorang wanita pilihanya,. Dan untuk
menghindari perselisihan terbuka dengan ibunya Riyanto memilih
untuk pergi meninggalkan keraton. Pada penggalan inilah yang membuat para pembaca tertarik
dan menjadi ciri khas dari sastra jawa, yang mana seorang pemuda yang berada
dalam ambang kedewasaanya pergi berkelana, serta memperoleh pengalaman yang
akan berguna bagi pengembangan jiwa. Hingga pada kisah terjadinya kebakaran di
sebuah pertunjukan teater komedi yang mkana didalamnya semua orang merasa
sangat panik, disitulah ada seorang gadis yang terpisah dari kedua orang tuanya,
dari situ pula awal kisah dan perjumpaan Raden Mas Riyanto dengan Raden ajeng
Srini yang mana dalam kisah Serat Riyanto terjadi nuansa romance yang
mendominasi alurnya. Kemudian Raden Mas Riyanto menolong gadis tersebut dan
berjanji akan mengantarkanya pulang, namun tanpa sepengetahuan Riyanto saat
berada di sebuah warung Srini bertemu dengan keluarganya dan mereka langsung
pulang, tanpa Pamit Srini langsung pergi yang mana membuat Riyanto terheran.
Dibelakang hhari ternyata Raden Ajeng srini adalah teman dari almarhum ayah
Riyanto dan ternyata gadis seperti Srinilah ang diidamkan oleh ibunya, namun
banyak sekali polemik yang terjadi sebelum pada akhirnya Srini dan Riyanto
menikah. Terlepas dari cerita itu sendiri, Serat Riyanto menarik sebagai
lukisan mmasyarakat bangsawan Surakarta pada abad ke dua puluh.
Dalam cerita lainpun
disajikan topik permasalahan masih sam mengenaipermasalahn sosial, dalam buku
karya Jayengutara yang berjudul Mitra Musibat yang menceritakan kisah seorang
pecandu serta kaibat sosial yang nantinya akan ia alami. Pada masa itu
perdagangan candu pada masa kolonialisne adalah suatu monopoli negara yang
kerap dilakukan oleh para penyelundup profesional. Dunia tersebut diperkenalkan
oleh Yasawidagda, di dalam bukunya Jarot adalah seorang anak masinis yang
ditinggal mati ibunya dan berkeinginan untuk menyusul sang ayah yang berada di
Batavia. Karena dirinya tidak mempunyai uang serupiah pun akhirnya ia
memutuskan untuk bekerja, di dunia inilah Jarot mulai bergelut dengan dunia
candu.
Dalam bukunya Swarganing
Budi Ayu, Ariasaputra menceritakan bagaimana seorang gadis miskin yang bernama
Kamsirah yang memilih menikah dengan lelaki kaya, namun naas setelah kematian
suaminya Kamsirah harus hidup miskin kembali kkarena ulah dari anak tirinya
yang mana seorang pemboros. Martayuwana menulis Roman Arja yang mana mengisahkan sebuah keluarhga yang harus hnacur
tak terkendali karena sang ayah ynag harus terjatuh pada lintah darat.
Kemudian penulis terbaik
dari kurun waktu 1925-1930 yakniAsmawinangun, ciri khas penulisan yang
dimilikinya yakni ia tak terlalu pandai dalam memilih sebuah tema namun
keliaianya dalam melukiskan suasana sehingga ia mampu membawa para pembacanya
sebagi penikmat sekaligus seakan-akan sebagai pemeran dalam cerita yang ia
baca.
Didalam Jejodoan Ingkang Sial, sebuah buku yang
berisikan kisah mengharukan dari seorang gadis bertentangan dengan kemauanya
sendiri, dikawinkan dengan seorang petani kaya raya, namun sayangnya perkawinan
tersebut sama sekali tidak memeberikan suatu lkebahagiaan sama sekali. Setelah begitulama mendambakan seorang momongan yang tak
kunjung Tuhan anugrahkan hingga pada akhirnya ia melahirkan dua anak laki-lak,
namun sayang atas perlakuan manja dari sang ayah justru menjadikan mereka
menjadi anak yang kurang baik hingga
mereka terjerumus pada suatu tindak kejahatan, yang menhgancurkan kehidupan
mereka sendiri beserta sang ibu.
Banyak sekali bermunculan
karya sastra yang mengikuti gaya serupa yang dikembangkan oleh para penulis
lain pada zaman ini yang mana sangat enak karya mereka untuk dinikmati, dan mengisahkan
masalah-masalah yang terjadi pada zamanya, seperti contoh Dwijapingsasmita
dengan Tuking Kesusahan, Suradi
dengan Anteping Wanita, Kusumadigda
dengan Gawaning Wewatekan.
Selama tahun tiga puluhan,
perkembangan karya sastra yang dimulai terus berlanjut tanpa berhenti walaupun
perkembanganya tidaklah pesat atau tidak berubah banyak-banyak, dengan cara
penukisan dan mengangkat tema-tema yang lazim. Dalam penulisan penggunaan huruf
lati yang pada mulanya hanya digunakan pada buku-buku untuk anak-anak ataupun
buku yang bersifat jurnalis pada tahun1925 menjadi lebih umum. Bahasa Jawa
ngoko yang digumakan oleh beberapa penulis dalam penukisan buku anak-anak,maka
ketika Kusumadigda dan Sukarna juga memilih baahasa jawa ngoko yang disajikan
bagi para pembaca yang lebih dewasa, buku yang dimaksudkan sebagai karya sastra
dan itu semua adalah sutau pembaharuan penting . setelah tahun 1930 contoh ini
banyak sekali diikuti oleh para penulis lain sehingga pada tahun1960 an
penggunaan bahasa krama seakan menjadi perkecualian yang langka. Adapun kendala
yang dialami oleh para penulis yang kesulitan dalam menyusun suatu alur
sehingga menjadikan suatu karya tetap pada posisinya, menarik bagi sang penulis
akan tetapi pada nyatanya cerita macam itu biasanya cepa habis baca sehingga
cakupan ilmu di dalamnya kurang luas. Sehingga sulit tercapainya tahap
pengembangan gagasan-gagasan membangun plot atau alur yang sanngat
memuaskan, namun syangnya semua itu hanya dapat ternikmati bagi mereka yang
mampu membaca sastra dalam bahasa Eropa da memiliki waktu luang.
Pada periode ini peranan
Balai Budaya sangatlah penting dalam perkembangan karya sastra, fasilitas
penerbit dan distribusi yang diberikan oleh Balai Pustaka ibarat menjadi
penentuberkembagnya karya sastra prosa. Ada dua macam percetakan yang mana satu
percetakan di urus oleh badan pemerintahan dan yang satu lagi percetakan swasta
yang mana mereka tidakl sejalan dengan
percetakan yang dibawah naungan pemerintah. Baru pada tahun 1933
Panjebar Semangat di Surabaya mulai menunjukan peranannya walu sempat mengalami
problema pada tahun1942dan 1949 dari penguasa namun pada genggaman Imam Supardi
yang memiliki kecakapan sangatlah tinggi, akhirnya Panjebar Semangat menjadi
majalah yang independent berbahasa jawa yang paling berpengaruh dalam
tahun-tahun sebelum Perang
Dunia Tahun-tahun
iniah yang disebut sebagai tahun pers karena banyak bermunculan majalah-majalah
yang menyebar di jawa dengan karya-karya baru dari berbagai
pengarang yang mampu
menghasilkan suatu bacaan baru yang enak untuk dibaca.
Selama tahun tiga puluhan,
perkembangan yang dimulai dari perkembangan sebelum-sebelumnya tetap berjalan
ters tanpa henti. Para penulis tetap menggunakan tema-tema yang telah menjadi lazim, adanya perselisihan antara golongan tua dengan golongan muda, baik karena
berbedanya cara pandang mereka mengenai pemilihan pasangan hidup yang pada
umunya di masyarakat golongan tualah yang seakan pantas berkuasa sehingga
menentukan tanpa memperhatikan anak begitupun dalam berkarier golongan tuapun mendominasi
dan seringkali tidak serujuk dengan sang anak, masalah yang lain misalnya ketidakadaannya kebahagianan dalam kehidupan keluarga sang anak karena pernikahan paksa
dari sang orang tua, permasalahan poligami, perwatakan anak yang manja akibat
salah dalam asuhan, ataupun masalah perjudian.
Adapun masa disaat penulisan
huruf Latin yang mana dulunya hanya digunakan padaa buku anak-anak dan buku
yang bersifat jurnalistik namun pada akhirnya menjadi lebih umum pada tahun
1925. Dalam penggunaan bahasa juga mengalami pembaharuan yang aman dukunya
bahasa ngoko sering kali digunakan dalam buku anak-anak namun seiring
berjalannya waktu banyak para penulis yang menggunakan bahasa ngoko tersebut
untuk para pembaca dewasa, sehingga menjadi sangat jarang setelah tahun 1960
untuk menemukan suatu karya yang berbahasa krama.
Fasilitas dari penerbit dan
distribusi yang diberikan oleh Balai Pustaka ternyata menjadi faktor utama
dalam perkembangan prosa jawa moden. Karena pada dasarnya hanyalah Balai
Pustaka yang menopang perkembangan dari prosa jawa modern karena para penerbit
swasta tidak berperan dalam hal tersebut, sehingga pada akhirnya Balai Pustaka
yang menilai dan menyunting naskah-naskah jawa yang diterima untuk diterbitkan.
Adapun cara atau ide dari Balai Pustaka yakni menerbitkan suatu majalah .
Selama dalam naungan Balai
Pustaka ad dua antologi yang memberikn gambaran mengenai karya satra sebelum
tahun Perang Dunia II. Buku tersebut
yakni Kembar Mayang. Adapun karya lain yang ada sebelum perang dunia II seperti
halnya Panjebar Semangat yang mana suatu majalah yang terus berkembang dan
begitu independen berbahasa jawa yang sangatlah memberikan sumbangan besar di
sejarah sebelum perang dunia II. Majalah tersebut kemudian melunjurkan sebuah
novel dalam bentuk cerita bersambung.
Dan pada akhirnya munculah
sebuah cerkak daam majalah Kejawen dan Panjebar Semangat. Dari masing-masing
majalah tersebut memiliki gaya pembawaan yang berbeda pula majalah Kejawen yang
mengadopsi tulisan lainya, dan di dalam Panjebar Seamangat yang kebanyakan
menggunakan tema-tema yang bergenre
nasionalisme dan dari para pengarang yang lebih suka menyembunyikan nama mereka
ataupun menggunakan nama samaran. Dalam penggarapanya majalah Panjebar Semangat
tidaklah semulus harapan pada umumnya,
majalah ini pernah vakum sejenak namun Panjebar Semangat mampu bangkit
kembali dan memberikan warna-warna karya satra baru, tidak hanya tema-tema
nasiopnalis saja kadang kala tema-tema humoris atau sosiallpun sering digarap.
Namun sayangnya Panjebar
Semangat dan Kejawen dihentikan pada masa penjajahan Jepang dan digantikan oleh
Panji Pustaka yang mana dalam lampiranya menggunakan bahasa Jawa dan Sunda.
DAFTAR PUSTAKA
RASS,JJ. 1985. Bunga
Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers
Suwondo, Tirto,dkk. 2006. Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa.
Jogjakarta: PT Adiwacana
Ada beberapa penulisan kata yg typo dan masih berbelit-belit (Laeza Ulima)
BalasHapusMasih kurang teliti dalam penulisan, ada penulisan yang kurang maupun kelebihan misalkan mereaka, tenntang dan masih ada lagi, mohon di teliti kembali.
BalasHapusDalam penulisan awal paragraf sebaiknya menggunakan huruf besar.
Masih kurang teliti dalam penulisan, ada penulisan yang kurang maupun kelebihan misalkan mereaka, tenntang dan masih ada lagi, mohon di teliti kembali.
BalasHapusDalam penulisan awal paragraf sebaiknya menggunakan huruf besar.
Pada penulisan cendikiawan itu salah, yang benar cendekiawan (desy febrianti chasanah)
BalasHapusThe titanium boiling point in your kettle - iTanium
BalasHapusThis new method is used for kettle croc titanium flat iron kettlebells and kettlebells but titanium machining uses a mixture titanium hair of other ingredients to generate a great kettlebell balance. microtouch trimmer Tons of heat 2021 ford escape titanium hybrid and