PERKEMBANGAN SASTRA JAWA MODERN


Dalam perkembangannya sastra jawa modern sudah diakui oleh ahli sosiologi sebagai sumber informasi yang membahas tentang tingkah laku, nilai-nilai dan cita-cita yang khas di dalam masyarakat. Banyak peristiwa-peristiwa penting yang berpengaruh terhadap masyarakat jawa yang mengakibatkan adanya perubahan pada masyarakat yaitu perkembangan-perkembangan, seperti kebangkitan nasionalisme dan semakin lenyapnya hubungan masyarakat kalangan atas dan bawah. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain, penambahan jumlah penduduk yang begitu pesat dan jumlah melek huruf yang semakin bertambah.
Seiring berjalannya waktu genre-genre baru mulai bermunculan karena banyak mendapat pengaruh dari barat. Dulunya sastra hanya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan dan menganggap hasil karya itu bukan sebagai sastra melainkan menganggap sebagai bahan bacaan yang berguna bagi anak-anak muda. Kebanyakan orang dulu juga menganggap bahwa sastra itu sesuatu yang didengarkan bukan untuk dibaca. Tetapi karena jenis sastra sebagian besar berbentuk puisi yang pada mulanya untuk didengarkan dan dinyanyikan dan hanya diakui nilai sastranya hanya di kalangan elite. Sastra adalah sastra klasik yang adiluhung dan merupakan warisan dari generasi ke generasi terdahulu.
Bentuk sastra jawa ada dua yaitu sastra lisan dan sastra tertulis. Bentuk sastra jawa lisan seperti kentrung yaitu kisah-kisah yang diceritakan semalam suntuk didesa-desa dan berbagai bentuk teater-teater seperti wayang purwa, wayang wong, ketoprak, ludruk. Sastra jawa lisan juga bisa dikatakan bersifat tradisional karena isi cerita-ceritanya mempunyai hubungan dengan naskah-naskah tertentu dari sastra klasik. Selain itu juga teknik pagelaran yang sering terikat oleh kaidah-kaidah lama yang keras dan juga menunjukan unsure tradisional yang sangat jelas. Yang membuat sangat kuat sifat tradisionalnya adalah permainan dalang dalam wayang kulit. Walaupun seorang dalang hanya dari desa yang tidak berpendidikan tetapi para penontonnya menganggapnya sebagai ahli seni sastra.
 Sastra jawa tertulis dibagi menjadi dua macam yaitu sastra tradisional dan sastra modern. Sastra tradisional adalah sastra yang masih terikat oleh patokan-patokan yang ditaati turun-temurun dari generasi ke generasi. Sastra jawa tertulis tradisional sebagian besar diubah dalam matra macapat. Jenis sastra ini sering menggunakan kata-kata puitis khusus dan segala jenis majas yang digunakan untuk menyindir atau menyinggung. Selain itu juga ada yang mengatur perpanjangan atau perpendekan kata-kata serta ada kemungkinan untuk menyimpang dari susunan kata yang wajar agar bisa memenuhi kebutuhan irama atau matra.  Disetiap matra memiliki pola lagunya sendiri bagaimana naskah tersebut harus dinyayikan.  Pemilihan matra dengan lagunya tergantung pada isi naskahnya, misalkan teguran, nasihat, serius, cinta asmara, nada keras dan lainnya. Pada waktu dan tempat tertentu macapat diselenggarakan secara teratur, misalnya sekali setiap selapan atau tiga puluh lima hari sekali. Acara macapat diselenggarakan dengan dukungan lembaga-lembaga resmi, tetapi juga secara pribadi atau dalam perkumpulan-perkumpulan.
Sastra modern merupakan hasil dari rangsangan kreatif dalam masyarakat modern. Sastra jawa modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda. Para cendikiawan Belanda memberi saran kepada para pujangga jawa untuk menulis cerita berdasarkan mitologi, cerita wayang dan lain sebagainya.
Novel dan cerita pendek merupakan genre sastra barat yang belum lama menjadi bagian dari sastra jawa. Perkembangan sastra modern di Jawa mula-mulanya agak lambat karena genre-genre baru yang bersangkutan didatangkan dari luar negeri di dalam suatu periode ketika masyarakat jawa belum siap menerimanya dan juga belum membutuhkannya. Genre barat masuk ke dalam sastra jawa sejalan dengan masuknya pengajaran eropa ke dalam masyarakat jawa,. Novel merupakan genre sastra yang di negeri barat melalui periode perkembangan yang sangat panjang dan mengalami tradisi penulisan yang subur hanya mungkin terjadi pada sekelompok penulis novel yang berbakat dan kreatif.
Penulisan nontradisional dari masa awal menghasilkan cerita fiksi dengan kecenderungan mengikuti pendekatan ilmiah yang jelas dan kisah-kisah perjalanan yang dimaksud sebagai catatan tentang pengalaman istimewa. Di Jawa dan Malaya selama abad ke-19, hubungan-hubungan yang memiliki kepandaian atau pengetahuan yang tinggi dengan bangsa eropa mengakibatkan penulisan beberapa karangan yang ada di luar lingkup sastra tradisional.  Hubungan tersebut termasuk kegiatan yang berjalan di dalam dan di sekitar Instituut Voor De Javaansche Taal di Surakarta dari tahun 1832-1843, dan yang teristimewa adalah  naskah-naskah yang dihasilkan oleh C.F. Winter yang bertujuan menyediakan bahan bacaan yang agak mudah bagi pelajaran bahasa jawa, yaitu versi-versi prosa atas beberapa karya klasik dalam tembang macapat. Kegiatan ini menjadi perangsang untuk menyusun naskah-naskah berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah-kaidah sastra klasik.
Contoh tentang karya-karya yang ada di luar tradisi sastra klasik ialah biografi Ranggawarsitayang ditulis oleh Padmawarsita atas anjuran D.Van Hinloopen Labberton. Ranggawarsita sendiri seorang penulis prosa bermutu, meskipun masih dalam kawasan sastra klasik. Kemudian autobiografi Suradipura, sekretaris G.A.J. Hazeu dan Serat Raga Pasaja, yang berisi catatan-catatan autobiografi ditulis dalam prosa dengan bahasa jawa ngoko yang informal oleh Raden Sasrakusuma, seorang guru sekolah, untuk kepentingan anak laki-lakinya sendiri yang juga seorang guru. Sebuah karangan yang mungkin tidak secara langsung diilhami oleh ide-ide eropa ialah kisah panjang yang ditulis oleh Soma Reja tentang perjalannya dari Wanareja (Banyumas) ke jogyakarta , ketika disana ada sebuah pemberontakan melawan Belanda sedang direncanakan tetapi dapat dibasmi. Tema buku ini tidak lazim dalam sastra jawa, tetapi yang membuatnya menarik adalah karena tertulis dalam bentuk prosa serta dalam bahasa jawa ngoko pula.
Ki Padmasusastra adalah salah satu seorang tokoh besar yang memberi pengajaran bahasa jawa sekitar tahun 1900. Ki Padmasusastra disebut tiyang mardika ingkang marsudi kasusastran Jawi ing Surakarta yang artinya orang merdeka yang menekuni kesusasteraan Jawa di Surakarta. Ki Padmasusastra lahir di Surakarta, 20 April 1843. Ki Padmasusastra mulai belajar membaca dan menulis sejak usia 6 tahun.
Pada usia sekitar 43 tahun, Ki Padmosusastro  menerbitkan kalawarti Djawi Kandha (1886) di Sala. Dan mulai saat itu banyak terlahir karya-karyanya. Ki Padmosusastro adalah  orang yang tekun. Pergaulannya dengan orang-orang istana termasuk C.F. Winter, Roorda, dan Ranggawarsita sendiri sebagai gurunya membuat pandangan hidupnya menjadi sangat luas. Bahkan, seorang pejabat pemerintah Belanda yang mengurusi pendidikan pribumi, H. A. De Nooy menjadi kagum atas kepandaiannya, sehingga membawanya ke negeri Belanda (Jayanggeni, 1935). Selama di negeri Belanda Ki Padmosusastro berhasil menulis Serat Woordenlijst dan Urapsari (Supardi dalam Sri Haryatmo, 1998:112).
Sekitar tahun 1890 – 1925, banyak tulisan-tulisannya yang diabadikan dalam bentuk cetakan oleh beberapa penerbit. Ki Padmosusastro tidak hanya seorang penulis sastra fiksi dan sastra wulang, tetapi beliau juga sebenarnya seorang ahli  bahasa di masanya. Di antara tulisan-tulisan tentang bahasa berupa karya tata bahasa (grammar), kamus, kumpulan leksikon, dan hukum-hukum kebahasaan lainnya. Tulisan-tulisan tentang hukum ketatabahasaannya, seperti Piwulang Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra, Layang Paramabasa (1897), Zemenspraken (1900), Serat Carakabasa (1904), Serat Pathibasa (1912) dan lain-lain. Disamping menerbitkan karya sastra murni yang disusun oleh penulis lain, sebagai seorang pendidik Padmasusastra juga telah berjasa dengan menghasilkan bacaan sederhana dalam bentuk prosa.
Penulisan sejarah sastra jawa modern merupakan masalah yang baru saja dimulai. Diantara penerbitan-penerbitan pertama balai pustaka, dijumpai terutama buku-buku dengan unsure-unsur fiksi yang dipadu dengan kecenderungan didaktik atau ajaran moral yang jelas. Buku yang jelas hanya mementingkan ajaran moral dan belum banyak mempunyai arti sastra adalah karya Prawirasudirja. Buku berukuran mini bukannya tidak lazim dalam sastra jawa. Banyak suluk suci atau suluk yang bertujuan membangun akhlak, puisi – puisi islam dari masa lalu, juga berukuran kecil.
Sebuah roman sejarah yang ditulis oleh Suradipura ialah Bedahipun Karaton Nagari Ngayogyakarta. Sebuah buku kecil menunjukkan kelemahan orientasi balai pustaka dalam periode awal ini adalah karya Sindupranata, Lelakone Amir, sebuah kisah mengenai seorang anak yatim piatu yang memang bagus penulisannya yang jelas ditunjukkan pada masyarakat pembaca anak sekolah. Semua buku kecil ditujukan pada anak sekolah dan masyarakat desa yang sederhana, yang harus diberi bahan bacaan yang bersifat mendidik. Contoh karya Prawirasuderja yaitu Carios Tanah Pareden Dieng, Karya R.R.A.Suryasuparta, Serat Carios Kekesahan Saking Tanah Jawi Dateng Nagari Walandi. Dalam buku-buku ini di dalamnya terdapat unsure informasi sangat menonjol, jalur fiksinya menduduki tempat yang tidak penting. Tetapi rasanya tidak salah jika dimasukkan ke dalam survey karena semua karya itu merupakan bagian dari arus pokok dalam sastra modern.
Hal yang sama dapat juga dikatakan tentang saduran tradisi lisan dan tertulis yang bersifat sejarah yang kerap kali hanya bersifat anekdot yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh sejarah, monumen, barang peninggalan, atau juga dapat mengambil bentuk sebuah babad. Dalam periode sesudah perang, jenis ini dilanjutkan dalam bentuk kisah sejarah yang populer, yang dimuat bersambung dalam majalah berbahasa jawa.
Dalam diterbitkannya novel karya R.Sulardi yang berjudul Serat Riyanta, mulailah periode baru. Buku ini pertama yang tidak dirusakkan oleh kecenderungan ajaran moral yang berisi kisah dengan plot yang benar-benar bagus yang dibangun dengan tema yang jelas.
Buku Jayengutara, Mitra Musibat berisi tentang persoalan di dalam masyarakat jawa, ketagihan candu beserta segala akibat sosialnya.Dalam buku Mrojol Selaninggaru, Sasraharsana menceritakan hidup mengenai cobaan yang harus dihadapi oleh seorang guru agama. Dalam Banda Pusaka, Sasraharsana menceritakan pengalaman seorang anak laki-laki setelah kematian ibunya yang dibesarkan oleh pembantu rumah tangga keluaarganya yang seorang janda. Dalam buku Swarganing Budi Ayu, Arjasaputra menceritakan seorang gadis miskin kawin dengan seorang lelaki kaya raya tetapi setelah kematian suaminya jatuh miskin lagi.
Suaratman Sastradiarja menulis Sukaca yang mengisahkan mengenai orang yang tidak berguna, tetapi akhirnya mendapat nasib yang sepantasnya. Hal yang menarik dalam buku-buku kecil ini ialah gaya percakapannya yang segar dan tidak dibuat-buat sehingga tentu saja hampir tidak menerimanya sebagai kesusastraan. Penulis terbaik dari tahun 1925-1930 adalah Asmawinangun yaitu seseorang yang pandai melukiskan suasana, dialog-dialognya yang hidup dan bahasanya yang enak berhasil memikat para pembacanya. Didalam buku Jejodoan ingkang sial ia menceritakan kisah mengharukan tentang seorang gadis yang bertentangan dengan kemauannya sendiri yaitu dikawinkan dengan anak seorang petani kaya raya. Perkawinannyapun tidak memberikan kebahagiaan kepadanya.
Gaya yang agak serupa juga dikembangkan oleh beberapa penulis pada zaman ini yang menghasilkan buku-buku yang benar-benar enak dibaca seperti Dwijasasmita dengan Tuking Kasusahan. Setelah tahun 30an perkembangan yang dimulai dari periode sebelumnya berjalan terus sampai banyak perubahan. Para penulis tetap menggunakan tema-tema yang telah menjadi lazim. Penggunaan huruf latin mula-mula hanya dilakukan pada buku anak-anak dan bersifat jurnalistik seperti karya Sindupranata, Lelakone Amir dan karya Yitnasastra, Kesah Layaran Dateng Pulau Papuah yang menjadi lebih umum sekitar tahun 1925.
Bahasa jawa ngoko sejak awal digunakan untuk buku anak-anak yang kemudian ketika Kusumadigda dan Sukarna memilih gaya ngoko ini di dalam buku-buku yang ditulisnya untuk pembaca yang lebih dewasa. Buku-buku yang dimaksud sebagai sastra merupakan pembaruan yang sangat penting. Penyusunan alur yang baik merupakan kesulitan bagi setengah penulis. Bacaan yang luas sebagai syarat untuk mengembangkan gagasan-gagasan yang diperlukan untuk membangun alur yang memuaskan, merupakan sebuah jalan yang hanya terbuka bagi mereka yang mampu membaca sastra dalam bahasa barat dan mempunyai waktu luang untuk menikmatinya. Beberapa buku dari periode ini yang masih tercetak dalam huruf jawa yaitu Dwikarsa karangan R.Sastraatmaja yang berisi tentang Seorang Wanita Yang Malang Karena Dimadu Suaminya.
Empat tahun kemudian muncullah Margana Jayaatmaja dengan Ngulandara dalam Krama, Sri (M.Kusrin) dengan Larasati modern dalam ngoko. Dengan inisiatif dari Balai Pustaka yang menerbitkan majalah kejawen sekitar tahun 1926-1942. Beberapa cerita pendek dan puisi yang sudah diterbitkan dalam majalah ini dalam sastra jawa modern. Cerita yang sangat populer adalah dialog antara Petruk dan Gareng yang menceritakan masalah-masalah masyarakat yang masih hangat pada saat itu yang ditulis sendiri oleh Sumantri Harjadibrata. Semua percakapan kedua pelawak itu kemudian dikumpulkan dalam buku yang diberi judul Obrolanipun Petruk.
Harjawiraga (cucu Ki Padmasusastra) adalah seorang penulis yang subur dengan menggunakan nama samaran Yitnasastra yang menulis Kesah Layaran Dateng Pulo Papuwah. Setelah itu, ia juga menulis sebuah buku yang berjudul Bangun Nak Nik yaitu buku khusus untuk anak-anak. Selain itu juga ada dua buku dalam tembang macapat yang dikhususkan untuk pembaca anak muda dengan judul Sapu Ilang Suhe. Dan pada akhirnya lahir sebuah karangan yang bermanfaat tentang aturan – aturan persajakan dalam tembang macapat yang berjudul Patokaning Nyekaraken. Harjawiraga juga menerjemahkan beberapa buku yang tebal – tebal dari bahasa asing diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Ada dua buah karya sastra yang memberikan gambaran mengenai sastra yang berkembang di bawah naungan Balai Pustaka selama sebelum perang dunia ke-2. Kedua buku tersebut berjudul Kembar Mayang dan Eenvoudig Hedendaagsch Javaansch Proza. Buku Kembar Mayang dikumpulkan oleh Sastrasuwignya, sedangkan  Eenvoudig Hedendaagsch Javaansch Proza dikumpulkan oleh G.W.J. Drewes. Sejak berdirinya Balai Pustaka dapat menerbitkan maupun menerbitkan ulang karya – karya dengan jumlah yang cukup besar termasuk pula tradisi klasik atau sastra klasik.
Selain Harjawiraga, beberapa penulis lainnya juga ikut memberi sumbangan baru, misalnya Cakradireja dengan judul Warawurcita, R.M. Panji Sumahatmaka dengan judul Ki Ageng Derpayuda, Muhamad Dohiri dengan judul Kembang Jaya, M. Kamit Nataasmara dengan judul Cobaning Ngaurip dan Wiryasumarta dengan judul Puji Ora Dadi. Namun karya – karya ini sesungguhnya tidak merupakan usaha untuk meneruskan tradisi besar pada abad ke-18 sampai abad ke-19. Bentuk persajakannya digunakan semata – mata sebagai sarana untuk mengisahkan sebuah cerita sederhana dengan cara yang enak dan merdu. Ada dua buah karya yang terbit setelah perang yaitu karya Susanta Tirtapraja yang berjudul Nayaka Lelana yang menuturkan kisah aksi militer Belanda kedua terhadap Republik Indonesia pada bulan Desember 1948 dan karya Priyana Winduwinata yang berjudul Serat Jakasura Tresnawati yaitu sebuah cerita sederhana yang diilhami oleh kisah panji.
Saluran lain untuk menerbitkan karya sastra sebelum perang yaitu majalah mingguan Panyebar Semangat yang diterbitkan di Surabaya dimulai pada tahun 1933. Majalah mingguan Panyebar Semangat dipimpin oleh Imam Supardi yang sangat cakap sehingga Panyebar Semangat menjadi majalah yang berdiri sendiri berbahasa jawa yang paling berpengaruh dalam tahun – tahun sebelum perang dunia ke-2. Majalah ini dari tahun 1935 menerbitkan cerita bersambung sejumlah novel yang dapat dibandingkan dengan terbitan Balai Pustaka. Pengarang – pengarang utama yang ikut ke dalam medium pers bebas ini adalah Sri Susinah dengan judul Sandal Jinjit ing Sekaten Sala (1935) yang mengolah tema lama tentang pilihan bebas teman hidup dan Sri Panggung Wayang Wong (1914), Br. Yudyatman dengan judul Gumebyar Lir Kencana Sinangling (1939), Anpirasi dengan judul Sawabe Ibu Pertiwi (1939), Isbandi Paramayuda dengan judul Gagak Gaok (1939), Mardanus  dengan judul Swijining Wadi (1940), Sri Biman dengan judul Gagak Seta (1940), Lum  Min Nu dengan judul Kereme Kapal Brantas (1940), Macan Setan (1941) dan Urip Saburine Layar (1941), yaitu kisah tentang kesulitan kehidupan para seniman ketoprak.
Cerita pendek muncul dalam Kejawen dan Panyebar Semangat sekitar tahun 1936. Kebanyakan sumbangan – sumbangan tulisan dalam Kejawen dimuat secara anonim yang biasanya ditulis oleh Sumantri Harjadibrata sendiri atau staff Balai Pustaka lainnya, Sedangkan dalam Panyebar Semangat, genre ini sering sekali digunakan untuk tema – tema yang berkaitan dengan nasionalisme. Yang sebagian besar pengarangnya lebih suka menggunakan nama samaran. Selain tema nasionalisme, tema – tema humor atau social juga sering dikerjakan. Dalam Panyebar Semangat, genre ini dimulai dengan cerita berjudul Netepi Kwajiban karya Sambo.
Selama pendudukan Jepang, penerbitan Kejawen dan Panyebar Semangat dihentikan dan hanya Panji Pustaka yang tidak dihentikan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Majalah ini terbit dengan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Sunda mulai dari tahun 1943. Purwadhie Atmadiharja dan Subagiya Ilham Natadijaya (SoebagijoI.N.) yaitu dua orang penulis muda yang terampil pada masa itu. Kedua orang penulis muda ini menjadi pelopor generasi penulis cerita pendek di masa sesudah perang.
Dalam Kejawen puisi modern dalam bahasa Jawa lahir pada tahun 1929 bersamaan dengan terbitnya tiga buah puisi bergaya nontradisional. Dari tahun 1930 – 1940 , hanya ada tujuh puisi yang menyusul terbit, baik tanpa nama maupun dengan nama samaran yang biasanya menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam tahun – tahun 1941 – 1945 ada beberapa penyair menerbitkan karyanya yaitu Nirmala S.R. Sumartha dan Subagiya I.N. Puisi – puisi pada masa itu masih menggunakan bentuk sajak sehingga terdengar masih kaku dan keras.
Setelah puisi kini berkembang ke teater nontradisional yang pada awalnya diwakili oleh naskah satu lakon pentas yang berjudul Cariyos Menmen Lampahipun Cobaning Sasemahan yang ditulis oleh Sastradiharja dan Kartawibawa. Sandiwara ini adalah pementasan teater komedi dalam tujuh babak yang menceritakan istri seorang mantri polisi yang cemburu ketika mendengar suaminya sering perkunjung kerumah carik. Naskah ini mungkin ditulis oleh kelompok amatir sehingga tidak pernah sampai ke percetakan.
Semenjak saat itu Sastra Jawa Modern terus berkembang sampai sekarang. Dan semakin banyak penulis – penulis muda yang kreatif dan inovatif bermunculan sehingga bias menciptakan karya – karya tulisan dengan ide – ide yang lebih modern dan mudah diterima di masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
RASS,JJ. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers

Komentar

  1. saya huruf 'b' menggunakan huruf kapital karena 'barat' yang dimaksud adalah budaya Barat bukan 'barat' arah mata angin. Dan menurut saya masih banyak kalimat yang copas pada teks. (Laeza Ulima)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Dalam penulisan pada kata Kwajiban yang benar adalah Kewajiban
    Pada kata bias yang benar adalah bisa.
    (Elma Ayu S)

    BalasHapus
  4. Jogjakarta huruf pertamanya harus kapital (Desy febrianti chasanah)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan

Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan