Perkembangan sastra jawa modern pra kemerdekaan



Sastra  dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal dari akar kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ (menjadi susastra).
Su artinya baik, indah. Sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah. Sedangkan sastra jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktivitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa.
Sastra dalam masyarakat Jawa memiliki peranan cukup penting dalam pembangunan peradaban. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya karya sastra baik lisan maupun tulisan yang menyertai sejarah perjalanan peradaban masyarakat Jawa. Sastra menjadi media yang dianggap penting dalam mengajarkan dan menjaga nilai-nilai Jawa (kejawen) yang sempat dipengaruhi oleh nilai-nilai atau ajaran animisme – dinamisme, Hindu dan Budha. Sastra pula tak jarang digunakan untuk memperkokoh kekuasaan dan kedudukan politik para raja.
Sastra telah diakui oleh para ahli sosiologi sebagai sumber informasi mengenai tingkah laku, nilai – nilai, cita – cita yang pada anggota – anggota setiap lapisan yang ada di dalam masyarakat, pada kelompok – kelompok kekeluargaan atau pada generasi – generasi. Ditinjau dari aspek – aspek masyarakat itu, sastra jawa merupakan hamparan objek studi yang rumit dan sangat menarik, baik ditinjau dari isinya maupun dalam konteks “pengarang – sidang pembaca” atau “produsen – konsumen”, terutama karena masyarakat jawa telah mengalami perubahan – perubahan penting sejak permulaan abad.peristiwa- peristiwa penting yang berpengaruh terhadap masyarakat jawa dalam abad ini adalah :penambahan jumlah penduduk yang pesat sekali dan jumlah melek huruf yang semakin bertambah sejak sejak kira – kira tahun 1900. Kedua hal tersebut memang telah mengakibatkan perubahan masyarakat yang sangat besar, termasuk perkembangan – perkembangan seperti kebangkitan nasional, derap kearah kemerdekaan, serta semakin lenyapnya hubungan masyarakat feodal.
Pada zaman dulu, yang dikategorikan sebagai sastra adalah sastra klasik yang adiluhung dan yang merupakan warisan dari generasi – generasi terdahulu. Sehingga sebagian hasil – hasil karya rakyat jelata yang mendapatkan pendidikan dianggap bukanlah sastra akan tetapi lebih banyak dianggap sebagai bahan bacaan yang berguna bagi anak – anak muda. Sedangkan sastra klasik sendiri adalah jenis sastra yang sebagian besar tersusun dalam bentuk puisi yang pada mulanya memang dimaksudkan untuk dinyanyikan dan didengarkan. Dan dicadangkan bagi golongan elit saja. Karena prosa yang diakui nilainya hanya tersedia bagi mereka yang bisa membaca bahasa Belanda. Maka jenis bacaan seperti ini jarang sekali dapat memberikan dorongan kearah ekspresi sastra yang kreatif.
Bentuk – bentuk sastra lisan seperti kisah – kisah yang diceritakan semalam suntuk di desa desa (kentrung) dan berbagai bentuk teater (wayang purwa, wayang wong, ketoprak dan ludruk). Yang sangat kuat sifat tradisionalnya adalah ialah permainan dalang dalam wayang kulit. Ki dalang walaupun hanya seorang dalang desa yang tidak terpelajar oleh para penonton danggap ahli seni sastra. Seorang diri dia menyajikan pagelaran drama dalam rangkaian adegan yang berisi penceritaan dan lukisan yang bersifat stereotip.
Jenis – jenis sastra lisan, disamping sifatnya yang bercorak tradisional, juga mempunyai segi yang boleh dinamakan bersifat “modern”. Disebut tradisional karena biasanya isi dari cerita – ceritanya berhubungan dengan naskah – naskah tertentu dari sastra klasik. Dan sebuah pertunjukan dapat juga dikatakan modern yang diwujudkan secara lisan jika dalam pagelaran itu menyajikan adegan cerita yang mengandung “pasemon” spontan dan mempunyai sifat artistik yang ditunjukan oleh pribadi pelaksana dan ceritanya berkembang sesuai dengan perubahan – perubahan dalam masyarakat.
Semuanya ini sampai sekarang hanya sedikit mendapat perhatian dari mereka yang mempelajari sastra modern. Selama bertahun – tahun produksi naskah dalam bahasa jawa yang diterima sebagai sastra menjadi sangat miskin, sehingga beberapa bahkan sampai menyimpulkan bahwa orang jawa sudah tidak lagi memiliki sastra yang hidup didalam bahasa mereka sendiri.
Sastra jawa tertulis seperti yang ada dalam masyrakat sekarang ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu sastra tradisional yang terikat oleh patokan – patokan yang ditaati turun – temurun dari generasi ke generasi, dan sastra modern yang merupakan hasil dari rangsangan kreatif dalam masyarakat modern. Sastra tertulis tradisional sebagian besar digubah dalam matra macapat (tembung macapat).
Menurut Nitipuspita (Mekar Sari no. 17, November 1972), ketoprak lesung lahir pada tanggal 1912, awal mula terlahirnya kethoprak lesung yaitu guna untuk memberikan hiburan kedapa orang – orang yang terkena wabah pes, untuk sementara mereka ditempatkan dibarak – barak kayu sedangkan rumah – rumah bambu mereka harus diusnakan. Perkembangan kethoprak lesung menjadi teater sungguhan mulai diantara tahun 1924 dan 1926 ketikan jenis pertunjukan diperkenalkan di Yogyakarta dan di sini menjadi sangat populer. Sehingga banyak dibentuk rombongan – rombongan dan penambahan jumlah pemain.
Memasuki era kebangkitan sastra jawa modern, pendapat bahwa rangga warsita (1802 – 1874) merupakan pujangga penutup , suatu hal yang pada awalnya dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ia adalah orang terakhir yang melakukan pekerjaan “pujangga keraton” model feodal, berangsur – angsur memperoleh pengertian baru bahwa dengan kematian tokoh itu rangsangan terhadap sastra jawa telah berakhir. Tetapi pandangan seperti demikian itu salah, karena kita tidak melihat semua kegiatan sastra  yang berlangsung diluar kalangan istana – istana yang sempit itu. Hal itu berarti juga mengabaikan kenyataan bahwa ranggawarsita hidup dan berkayra dengan memiliki hubungan yang erat bersama orang – orang yang namanya berkaitan dengan kecenderungan – kecenderungan baru dalam perkembangan sastra jawa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ki Padmasusastralah  yang merupakan tokohyang terbesar dibidang pengajaran bahasa jawa sekitar tahun 1900. Ia memulai kariernya sebagai sekretaris D.F. van der pant, tetapi dapat melampaui majikannya. Buku tata bahasanya yang berjudul “layang parama basa” (Surakarta, 1987/1998), surveinya mengenai kosakata sopan santun bahasa jawa yang berjudul “serat warnabasa” (Surakarta, 1900), bukunya tentang kata – kata sinonim “serat patibasa”(balai pustaka no. 29), dan karya ensiklopedinya berjudul “serat buwana” (Surakarta, 1898), semuanya dimanfaatkan sebagai contoh – contoh dan sumber bagi para penyusun buku- buku pelajaran dan kamus – kamus dikemudian hari. Padmasusastra juga membuat biografi ranggawarsita atas anjuran D. Van hinloopen labberton.
Genre sastra barat, seperti novel, cerita pendek, esei, atau sajak bebas yang memang dimaksudkan sebagai bacaan pribadi demi manfaat atau kesukaan pribadi, belum lama benar merupakan bagian dari sastra jawa. Istilah sastra gagrag anyar atau sastra gaya baru yang kerap kali dipakai untuk menyebutkan hasil – hasil karya sastra modern pun telah menegaskan hal tersebut. Perkembangan sastra modern di Jawa mula – mula agak lambat karena genre – genre baru yang bersangkutan didatangkan dari luar negeri di dalam suatu periode ketika masyarakat jawa belum siap menerimanya dan membutuhkannya.
Di sekitar Institusi voor de Javaanshe Taal di surakarta dari tahun 1832 sampai 1843, teristimewa naskah – naskah yang tujuannya menyediakan bahan bacaan yang agak mudah bagi pelajaran bahasa jawa, yaitu versi – versi prosa atas beberapa karya klasik dalam tembang macapatkegiatan ini mungkin erangsang untuk menyusun naskah – naskah cerita baru yang terlepas dari kaidah – kaidah klasik. Kisah perjalanan lainnya yang dalam bentuk prosa yang tercetak adaalah cariyos nagari walandi (Batavia,1876) oleh Rd. Abdullah Ibnu Sabar bin Arkebah, mengenai perjalanan ke negeri Belanda. Sebuah  karya yang belum pernah di cetak dalam bentuk asli tetapi telah menjadi bacaan populer dikemudian hari. Ialah cerita janda cerdik (randa guna wecana) karangan Surya Wijaya.
Surya Wijaya adalah sekretaris A.B. cohen Stuart. Sebelumnya ia telah menulis sebuah roman pendidikan berjudul surya ngalam dan sebuah kumpulan cerita nasehat dengan judul Seca Wardana. Kedua karya ini terutama menggarap persoalan – persoalan mengenai perkara pengadilan. Karya ketiga, yang berjudul Lelampahaning Sarira, berisi kirah seorang penulis dari Surakarta ke Semarang dan Batavia dengan kapal. Ketiga karya ini masih disususn dalam tembang macapat, suatu bentuk yang lazim pada zaman itu. Karya keempat yang berjudul Serat Darma Yasa, yang ditulis pada tahun 1866, sudah berbentuk prosa.
Penulisan nontradisional dari masa awal itu terutama menghasilkan cerita fiksi dengan kecenderungan didaktik yang jelas dan kisah – kisah perjalanan yang dimaksud sebagai catatan tentang pengalaman istimewa yang cenderung kearah jurnalistik. Cerita prosa yang semata – mata untuk hiburan saja kurang digemari dan harus menempuh jalan yang panjang. Kecuali, barang kali serat Rangsang Tuban belum ada diantara karya – karya tersebut yang dianggap sebagai novel.
Novel memang merupaka sastra yang bergenre barat yang demikian pula memalui periode yang panjang. Tradisi penulisan novel mungkin akan berkembang dan bertumbuh subur, jika semua pihak dapat berkerjasama dengan baik, seperti adanya penulis yang berbakat dan kreatif, sejumlah penerbit dan percetakan yang kuat keuangannya, aparat distributor yang berjalan dengan lancar dan mungkin para konsumen yang mau menyisihkan uangnya untuk membeli dan membacanya.
Genre ini baru dapat timbul ketika penerbitan milik pemerintah, yaitu balai pustaka telah mulai memberikan rangsangan terhadap penulis cerita yang dapat dipakai sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi rakyat. Penerbitan tersebut menyalurkan buku – bukunya kepada para pembaca dengan cara dengan menaruhnya diperpustakaan – perpustakaan. Sehingga kita dapat katakan bahwa masuknya genre barat itu sejalan dengan pengajaran eropa kedalam jawa. Banyak pengarang nya adalah guru dan banyak diantara pembacanya adalah murid.
Peranan balai pustaka sendiri adalah sebagai badan penerbitan yang menyediakan kebutuhan sekolah itu dimulai pada tahun 1911. Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan  penulisan cerita yang mulai pada saat itu. Balai Pustaka memiliki kontribusi terbesar dalam penerbitan karya sastra Jawa. Dari sanalah lahir napas baru, antara lain lewat novel Serat Riyanta (1920) karya Sulardi, Ngulandara (1936) karya Margana Djajaatmadja, Tumusing Lelamahan Tiyang Sepuh (1927) oleh Danuja, Badan Sepata dan Sapu Ilang Suhe karangan R Harjawiraga serta Sala Peteng (1938) oleh Mt Supardi.
Banyak buku – buku berukuran kecil yang diterbitkan oleh balai pustakan sebagai buku bacaan para murid disekolah. Semua buku kecil itu di tujukan kepada anak sekolah dan masyarakat desa yang sederhana. Akan tetapi, kerap kali para ahli sastra tidak menerimanya sebagai karya sastra karena bahan bacaannya yang bersifat mendidik, dan kerap kali mutunya  mendekati buku budi pekerti. Bahkan para ahli menganggapnya tidak lebih banya buku bacaan saja.sedangkan yang dianggap sastra hanyalah hasil – hasil sastra yang tertulis tradisional dalam bentuk tembang macapat. Namun, bagi kita buku – buku yang disebut diatas sangat menarik karena menunjukan betapa lamban dan sulit proses berakarnya suatu genre Barat yang terdiri dari cerita – cerita untuk dibaca dan bukan untuk didengar.
Dengan di terbitkannnya novel karya R Sulardi yang berjudul serat riyanta, mulailah periode baru.
Ini lah buku yang tidak dirusak oleh didakti dan kecenderungan moral,temanya dikaitkan dengan masalah sosial yang masih tetap hangat selama dasawarsa mendatang, yaitu pemberontakan generasi muda terhadap perkawinan adat seperti yang direncanakan oleh orang tua dimana anak laki – laki dan perempuan yang harus menjadi pasarangan seumur hidupnya.
Penulisan terbaik dari kurun waktu 1925 – 1930 adalah Asmawinangun. Ia tidaklah pandai dalam pemilihan tema. Tetapi, dengan kepandaiannya melukiskan suasana, dialog – dialognya yang hidup , dan bahasanya yang enak ia berhasil mencengkam para pembacanya. Genre yang agak serupa juga dikembangkan oleh beberapa penulis lainnya pada zaman ini, yang semuanya menghasilkan buku yang benar – benar enak dibaca, dan berpusat disekitar masalah – masalah yang terjadi pada zamannya.
 Bahwa fasilitas penerbitan dan distribusi yang diberikan oleh balai pustaka merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan cerita prosa modern. Orang dapat mengatakan bahwa sastra modern yang sedang tumbuh ditopang oleh badan penerbit pemerintah ini dalam tahun 1911 – 1941. Penertiban dan percetakan swasta, seperti Tan Koen Swie di Kediri. Mardi Mulya di Yogyakarta, Siti Syamsiah, Rusche, Sadu Bumi, Kalimasada, dan Mars Surakarta, Van Drop di Semarang, dan G. Kolff & Co di Surabaya, tidak aktif dibidang ini. Dan baru setelah 1933 panjebar semangat  di Surabaya mulai memainkan perannya. Oleh karena itu, seksi balai pustaka yang menilai dan menyunting naskah – naskah jawa yang diterima untuk diterbitkan melakukan fungsi yang sangat penting.
Inisiatif balai pustaka yang penting lainnya ialah penerbitan majalah kejawen. Kejawen diterbitkan sejak tahun 1938 dan seterusnya menjadi dua kali seminggu. Beberapa cerita pendek dan puisi yang awal sekali dalam sastra jawa modern di terbitkan dalam majalah ini. Selama kependudukan jepang, penerbitan panjebar semangat dan kejawen dihentikan.satu – satunya yang ada hanyalah panji pustaka. pada abad ini karya-karya yang dihasilkan lebih kepada karya-pustaka seperti kamus dan lainnya. Pada masa ini tidak banyak ditemukan karya struktural atau klasik dan lebih banyak kepada karya sastra berbentuk prosa.
Referensi :
Ras.J.J.1985.Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers.

Komentar

  1. Sudah bagus namun maih terdapat kekeliruan pada struktur kalimat " Dengan di terbitkannnya novel karya R Sulardi yang berjudul serat riyanta, mulailah periode baru." ~~~ヾ(^∇^)

    BalasHapus
  2. Pada penulisan pada zaman dulu yang baku adalah pada zaman dahulu (Desy febrianti chasanah)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan

Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan