PERKEMBANGAN SASTRA JAWA MODERN PRA KEMERDEKAAN



Sastra jawa dilihat dari isinya merupakan hamparan objek studi yang rumit dan menarik. Karena masyarakat Jawa telah mengalami perubahan-perubahan penting seperti penambahan jumlah penduduk, jumlah huruf yang semakin bertambah. Penulisan prosa dalam bahasa jawa tidak dianggap sebagai sastra melainkan hanya sebagai bahan bacaan. Prosa yang diakui nilai sastanya hanya yang bisa membaca bahasa Belanda. Sastra merupakan sastra klasik yang adiluhung dan turun temurun dari generasi ke generasi. Setelah kemerdekaan, pengarang Jawa menulis prosa literer dan puisi memilih medium bahasa nasional daripada bahasa ibu mereka. Periode ini membawa perkembangan prosa dan puisi yang ditulis oleh orang-orang Jawa dalam bahasa indonesia. Pendukung sastra “Indonesia-Jawa” adalah pengarang-pengarang seperti Pamoedya Ananta Tur, Trisno Sumardjo, Muhammad Dimyati, Kirdjomuljo, Toto Sudarto Bachtiar, Rijono Praktiko, W.S Rendra, Subagio Sastrowardojo, Nh. Dini, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono dan pengarang lainnya.
Bentuk-bentuk sastra lisan seperti kentrung dan wayang  sekarang jarang dijumpai oleh mereka yang mempelajari sastra modern. Ranggawarsita merupakan pujangga terakhir yang melakukan pekerjaan “pujangga keraton” (G.W.J Drewes dalam Oriens Extremus, 1974) karena semakin miskinnya produksi naskah dalam bahasa jawa yang diterima sebagai sastra. Sastra jawa tertulis dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra tradisional dan sastra modern. Sastra tradisional masih terikat patokan-patokan yang turun-temurun dari generasi ke generasi. Sastra modern merupakan hasil rangsangan kreatif dalam masyarakat modern. Sastra tertulis tradisional diubah dalam tembang macapat dan menggunakan bahasa yang puitis (khusus tembung kawi) dan segala jenis anarkisme. Naskah-naskah yang digunakan biasanya karya-karya yang bersifat sejarah atau mendidik. Sastra ini dianggap sebagai sastra klasik. Sastra lisan juga bisa dikatakan “modern” karena dalam penyajiannya ditampilkan adaptasi cerita wayang yang mengandung “pasemon”  spontan dan yang memiliki nilai artisitik yang ditentukan oleh kreativitas pribadi si pelaksana, selera masyarakat dan ikatan waktu.  Yang bersifat tradisional ialah permainan dalang dalam pagelaran wayang kulit. Ki Dalang dianggap seni sastra karena pandai memainkan wayang walaupun kadang Ki Dalang tidak terpelajar. Selain wayang kulit ada juga wayang krucil dan wayang golek. Selain KI Dalang ada juga yang dinamakan  Kentrung dan Jemblung. Kentrung dan Jemblung adalah nama-nama yang berasal dari iringan musik khusus untuk penceritaan kisah, yaitu dengan rebana-rebana kecil dan besar. Tradisi wayang dan Tradisi kentrung mempunyai kesamaan, yaitu keduanya merupakan tradisi yang “hidup”. Ada juga yang dinamakan wayang wong. Wayang wong merupakan wayang yang dimainkan oleh sekelompok orang, lakonnya diganti dengan orang.
            Ada juga yang dinamakan Ketoprak. Ketoprak merupakan bentuk teater yang lebih mutakhir dan semakin tinggi popularitasnya. Nitipuspita (Mekar Sari no.17, November 1972) menerangkan bahwa kethopak lesung lahir pada tahun 1912. Ceritanya diambil dari cerita Ande-Ande Lumut dan Endang Tompe.Pada tahun 1924 dan 1926 ketoprak lesung berkembang menjadi teater ketika diperkenalkan di daerah Yogyakarta. Ceritanya diperbanyak dengan cerita-cerita dari tradisi pseudo-historis dari Babad Demak yang menggarap periode diantara kerajaan-kerajaan Majapahit dan Mataram. Seiring berkembangnya zaman, pada tahun 1938 sudah tidak ada joget, joget dihapuskan dan pemain wanita sudah tidak dimainan oleh pria. Teater ini juga semakin berkembang dan menghasilkan bentuk baru yang disebut dengan “Ketoprak Radio” . Dalam Ketoprak Radio, dialog-dialoh yang direncanakan disusun secara lebih baik dan diksinya juga lebih tepat. Namun, di dalam Ketoprak Radio ini tembang macapat lama-kelamaan sudah tidak dipentingkan lagi.

Selain itu, ada juga pertunjukkan yang dianggap sebagai sastra yang hidup, yaitu Ludruk di daerah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Bangil, Mojokerto dan Jombang. Ludruk ini mengangkat tema yang sama yaitu kehidupan Besut dan Asmunah. Pertunjukkan ini bersifat jenaka, dan filsafat yang menarik, penuh dengan dagelan dan juga penuh dengan kritik sosial. Bahasa pengantarnyamerupakan bahasa yang digunakan dalamkehidupan sehari-hari di Jawa Timur. Ada bagian penting yang tidak bisa dilewatkan dalam pertunjukkan Ludruk ini yaitu Parikan.
Perkembangan sastra modern di Jawa pada awalnya tidak berkembang dengan pesat. Karena ada genre-genre baru yang bersangkutan didatangkan dari luar negeri di dalam periode yang sama dan ketika masyarakat Jawa belum siap menerimanya dan membutuhkannya. Pada abad ke-19, hubungan-hubungan intelektual dengan Bangsa Eropa mempengaruhi penulisan beberapa karangan yang ada di luar lingkup sastra tradisional, atau kegiatan yang berjalan di dalam dan sekitar Instituut voordeTaal di Surakarta dari tahun 1832 sampai dengan tahun 1843. Naskah-naskah yang dihasilkan oleh C.F. Winter, yaitu versi-versi prosa atas beberapa karya klasik dalam tembang macapat. Kegiatan ini merangsang untuk menyusun naskah-naskah yang berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah-kaidah sastra klasik. Contohnya Lampah-Lampahipun Raden Mas Arya  Purwa Lelana (Batavia,1865) karangan M.A Candranegara dengan tujuan untuk pendidikan. Ada juga bentuk prosa lainnya yaitu Cariyos Nagari Walanda (Batavia, 1876) yang ditulis oleh Rd. Abdullah Ibnu Sabar bin Arkebah. Janda yang cerdik (Randa Guna Wecana) dengan pengarangnya yaitu Surya Wijaya. Ada karyanya yang beliau buat yang berjudul Surya Ngulam, Seca Wedaya, Lelampahaning Satria yang masih dirangkai dalam tembang macapat. Pada tahun 1866, beliau menulis sebuah prosa yang berjudul Serat Dama Yasa. Kemudian beliau melanjutkan hasil karyanya yang berjudul ‘Janda Yang Cerdik’ yang dibantu diperbaiki oleh Ki Padmasusastra.Karya-karya sastra yang ada diluar tradisi klasik adalah biografi Rangawarsita yang ditulis olehKi Padmasusastra, auotobiografi Suradipura, seketaris G.A.J. Hazeu, dan Serat Raga Prasaja. Kaya-karya ini ditulis dalam bentuk prosa dengan menggunakan bahasa jawa ngoko yang tidak formal oleh Raden Sasrakusuma. Kemudian, ada karangan-karangan yang tidak menggunakan ide-ide Eropa tetapi karya ini sangat menarik karena dibuat dalam bentuk prosa dan menggunakan bahasa jawa ngoko, yaitu kisah perjalanan yang sangat panjang yang ditulis oleh Soma Reja.

Pada tahun 1990-an Ki Padmasusastra merupakan tokoh terbesar dalam bidang pengajaran bahasa jawa. Beliau awalnya adalah asisten dari D.F. van der Pant. Namun, lama-kelamaan beliau dapat melampaui majikannya tersebut. Karya-karya yang ditulisnya seperti Layang Parama Basa, Seat Wernabasa, Serat Patibasa, dan Serat Bauwana. Karya-karyanya tersebut dijadikan sebagai contoh dan sumber bagi para penyusun buku-buku pelajaran dan penerbitan kamus. Kumppulan dialognya berjudul Serat Urapsari, Layang Basa Salan dan Serat Tata Cara. Ki Padmasusastra juga telah menghasilkan “bacaan sederhana” dalam bentuk prosa seperti Randa Guna Wecana, Serat Rangsang Tuban. Cerita-cerita novel pada saat itu belum menarikdan semata-mata hanyalah untuk hiburan saja. Novelmerupakan genre sastra yang butuh perkembangan sangat panjang termasuk di negeri barat. Tradisi penulisan novel bisa subur jika memenuhi syarat-syarat, antara lain yaitu, jika ada sekelompok penulis novel berbakat dan kreatif, sejumlah penerbit dan percetakan yang kuat uangnya, disitribusi yang berjalan dengan lancar, masyarakat pembaca yang luas yang mampu menyisihkan uangnya untuk bacaan tersebut. Tetapi, di daerah Jawa syarat-syarat tersebut masih urang berlaku. Genre baru ini dapat timbul ketika Balai Pustaka atau bisa disebut dengan Kantoor voor Volkslectuur telah memberikan rangsangan terhadap penulis cerita yang dapat dianggap sebagai “bahan bacaan yang bermanfaat bagi rakyat” dan mengantar buku-buku yang dicetaknya dengan cara menaruh buku-buku tersebut di dalam perpustakaan-perpustakaan sekolah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa genre barat masuk ke dalam sastra jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa ke dalam masyarakat Jawa.
Peranan Balai Pustaka sebagai badan penerbit yang menyediakan kebutuhan sekolah dimulai pada tahun 1911. Balai Pustaka memberikan ringkasankarya-karya asli dalam bahasa Jawa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Untuk kepentingan dokumentasi, dibelakang setiap judul ditambahkan nomor seri, tahun penerbit, dan jumlah halaman. Tujuan pengantar ini hanya melengkapai pembaca dengan informasi barang sedikit yang diperlukan, supaya naskah-naskah yang tercakup dalam antologi dapat ditempatkan di dalam wacana sastra dewasa ini pada umumnya.  Penulisan sastra jawa modern merupakan masalah yang baru dimulai, karena ditemukan buku-buku dengan unsur-unsur fiksi yang dipadu dengan ajaran moral yang tidak jelas. Contoh buku yang hanya mementigkan ajaran moral dan belum banyak mengandung arti sastra yaitu Karyanya Prawirasudirja yang berjudul Serat Panutan dan Isin Ngaku Bapa. Karya Kuswadiarja yang berjudul Rara Kandreman, Karya Harjawisastra yang berjudul Pamoring Dusun, Karya Mangunwijaya yang berjudul Wuryalocita. Karya lain yang ditulis oleh Mangunwijaya yaitu Trilaksita dan Gita-Gati. R. Ng Kartasiswaya mengambil sikap pendidik dengan karyanya yang berjudul Darma Sanyata. Karya Sumaatmaja yang berjudul Serat Sadrana. Dan buku karya R. Samuel Martahatmaja yang berjudul Rukun Arja. Karya yang ditulis oleh Wiraatmaja dan Suwardi yang dirangkum dalam sebuahbuku yang kecil yang berjudul Rara Rarasati tuwin Bok Randa Setyadarma. Kemudian, ada buku yang lebih kecil lagi yaitu Karyanya Wirydiarja yang berjudul Waris kaliyan Lalis.
Sebuah roman sejarah Karya Suradipura yang berjudul Bedahipun Keraton Nagari Ngayogyakarta. Sastradiarja juga memberikan nasihat melalui karyanya yang berjudul Lelampahanipun Sida. Ada pula karya lain yang lebih menarik yaitu Karya R. Suyitna Martaatmaja yang berjudul Catur Tunggil, Cariyosipun PembalangTamak dan Tan Lun Tik lan Tan Lun Cong. Sebuah buku kecil yang menunjukkan kelemahan orientasi Balai Pustaka adalah karya Sindupranata yang berjudul Lelakone Amir. Karya R. Siswawinata yang berjudul Margining Kauteman. Karya R.M.Kartadiarja yang berjudul Tuhuning Katresnan. Semua buku-buku kecil yangditunjukkan untuk anak sekolah dan masyarakat desa yang sederhana harus diberi bahan bacaan yang bersifat mendidik. Mutunya sering kali “buku budi pekerti” dari tahun-tahun sebelum 1940 di negeri Barat. Dengan demikian, para ahli sastra tidak menganggap itu sebagai karya sastra melainkan hanya buku bacaan saja. Kemudian yang lazim dianggap sastra merupakan hasil-hasil sastra tertulis tradisional dalam bentuk tembang macapat. Dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sangat lambat dan sulit proses berkembangnya suatu genre Barat yang terdiri dari cerita-cerita untuk dibaca dan bukunya untuk didengar. Kisah-kisah tentang perjalanan dan lukisan-lukisan tentang tempat atau catatan mengenai peristiwa yang mengesankan ditulis dengan pendekatan dan gaya bahasa yang bersifat jurnalistik. Balai Pustaka juga memasukkan genre ini pada awal penerbitan. Dengan cara penulisan seperti ini suatu saat akan mucul genre khusus yang bercorak esei yang asih populer pada saat ini. Hal yang sama dapat dikatakan tentang saduran tradisi lisan dan tertulis yang bersifat sejarah pseudo-sejarah. Tradisi ini hanya bersifat anekdot yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh sejarah, barang peninggalan, monumen atau makam, atau dapat mengambil sebuah babad. Contohnya adalah karya Pujaarja dengan judul Dongeng Cariyosipun Tiyang Sepuh ing Jaman Kino. Karya Mukmin yang berjudul Ki Ageng Paker. Karya R. Gandawardaya yang berjudul Babad Maja dan Babad Nglorog. Dan karya Suwignya yang berjudul Kyai Ageng Pandanarang.
Dalam periode sesudah perang, jenis ini dilanjutkan dalam bentuk kisah sejarah semu yang populer, yang sering dimuat dalam majalah-majalah berbahasa jawa dan masih terlalu sederhana untuk diterima sebagai novel sejarah dan juga dalam bentuk esei. Periode baru muncul setelah diterbitkannya novel karya R. Sulardi yang berjudul Serat Riyanta yang berisi kisah dengan plot yang benar dan apik dan temanya juga jelas. Temanya yaitu tentang pemberontakkan generasi muda terhadap perkawinan adat seperti direncanakan oleh orang tuanya. Serat Riyanta juga sangat menarik sebagai lukisan masyarakat bangsawan Surakarta pada awal abad ke-20.
Buku Jayegutara yang berjudul Mitra Musibat menceritakan tentang ketagihan candu dan segala akibat sosialnya. Dunia penyelundupan candu gelap juga diperkenalkan oleh Yasawidagda didalam bukunya yang berjudul Jarot. Karya lain yang ditulis olej Yasawidagda yaitu Purasani, Kirti Njunjung Drajat, Ni Wungkuk ing Benda Growang, Kraton Pawon dan Bocah Mangkunegaran yang disebutkan sebagai buku yang termasuk golongan karya yang bersifat jurnalistik.
Dalam bukunya yang berjudul Mrojol Selaning Garu, Sasraharsana menceritakan kisah hidup mengenai percobaan yang dihadapi oleh Ki Kasan Ngali. Dalam Banda Pusaka, Ssraharsana menceritakan tentang Wahyana yang dibesarkan oleh pembantunya dan berhasil menjadi Wedana. Kamsa menulis Supraba lan Suminten yang menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang terjerumus ke dalam kehidupan gelandangan dan menjalani pekerjaan kasar namun pada akhirnya ia menjadi juru tulis, kawin dan menjadi wedana. Karya Tubiran Yatawiharja yang berjudul Kontrolir Sadiman. Karya Danuja dengan judul Tumusing Lampahanipun Tiyang Sepuh. Dan karya M. Prawirasumarja yang berjudul Ihtiyar Ngupados Pasugihan. Semua karya-kaa tersebut ditulis dengangaya yag serupa. Arjasaputra menuliskan karyanya yang berjudul Swarganing Budi Ayu. Martayuwana menulis Roman Arja. Kebaikan yang akhirnya menghasilkan ganjaran merupakan tema yang diangkat oleh Adi Wardaya dengan bukunya yang berjudul Kutamaning Kenya. Dan karya Atmasiswaya yang berjudul Ngantepi Tekad. Ada sebuah buku yang merupakan suatu usaha untuk menjembatani cerita-cerita babad dan wayang yang kuno tetapi masih digemari dengan cerita fiksi dan roman modern yaitu karyanya Imam Supardi yang berjudul Satyawadu. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu cerita-cerita roman belum diakui sebagai sastra. Sastradiharja dalam bukunya yang berjudul Suwarsa Warsiyah, mengajak kita baik dalam tema maupun gaya penceritaannya kembali dalam abad ke sembilan belas.
Suratman Sastradiarja menuliskan bukunya yang berjudul Sukaca yang menceritakan tentang orang yang tidakbeguna tetapi pada akhirnya mendapat nasib yang sepantasnya. Karya lain yang ditulis oleh Suraman yaitu Katresnan, Kanca Anyar dan Bocah ing Gunung yang menggunakan bahasa Jawa ngoko dan ditunjukkan untuk para pembaca yang usianya jauh lebih muda. Buku-buku lainnya yang ditulis dengan gaya yang serupa yaitu Karya Sasrasutiksna yang berjudul Glompong Lucu, karya Kamsa Wiryasaksana yang berjudul Lelakone Bocah Kampung dan buku-buku karangan Kamit Nataasmara yang berjudul Crah Bubah dan Rasa Sasmita. Hal yang menarik dalam buku-buku kevil ini yaitu gaya percakapannya yang segar dan tidak dibuat-buat. Namun, hampir saja masih belum dianggap sebagai “kesusastraan”.
Asmawinangunmerupakan penulis terbaik pada tahun 1925 sampai dengan tahun 1930. Beliau sangat pandai dalam melukiskan suasana, dialog-dialognya yang hidup dan bahsanya yang enak. Karya-karya yang dibuatnya yaitu Jejodohan Ingkang Siyal, Saking Papa Dumugi Mulya, Mungsuh Mungging Cangklakan dan Perpisahan Pitulikur Tahun. Gaya yang serupa yaitu karyanya Dwijasasmita dengan judul Tuking Kasusahan. Kusumadigda dengan judul Gawaning Wawetakan. Suradi Wiryaharsana dengan judul Wisaning Agesang. Suradi dengan judul Anteping Wanita. Dan Sukarna dengan judul Panca-kawarna.
Selama tahun tiga puluhan, perkembangan yang dimulai dalam periode sebelumnya selalu berkembang dan para penulis masih tetap menggunakan tema-tema yang telah lazim digunakan. Penggunaan huruf-huruf latin pada awalnya hanya dilakukan pada buku-buku yang ditujukan kepada anak-anak dan buku-buku yang bersifat jurnalistik. Namun, pada tahun 1925 penggunaan huruf-huruf latin sudah umum digunakan. Bahasa Jwa ngoko yang semula belum dipakai banyak pengarang dan tidak dipaka dalam buku-buku yang ditujukan kepada anak-anak, setelah Kusumadidga (1928) dan Sukarna (1929) memilih menggunakan bahasa Jawa ngoko yang dituliskannya dalam buku-bukunya untuk para pembaca yang lbih dewasa., buku-buku yang dimaksud sebagai sastra merupakanpembaruan yang penting. Setelah tahun 1930 gaa ini semakin banyak diikuti oleh penulis-penulis. Setelah tahun 1930 menggunakan bahasa Jawa Krama didalam cerita prosa merupakan perkecualian yang langka. Penyususan plot yang baik masih menjadi masalah bagi para penulis, sehingga banyak buku yang tetap dianggap sebagai cerita tentang suatu peristiwa yang menarik yang dianggapnya patut diceritatakn kepada masyarakat luas. Membangun plot yang memuaskan merupakan sebuah jalanyang terbuka bagi mereka yang mampu membaca sastra dalam bahasa Barat dan mempunyai waktu luang. Dalam periode ini, masih ada buku yang tercetak dalam huruf Jawa yaitu Dwikarsa yang merupakan karangan dari R. Sastraatmaja. Juga buku-buku karya Siswamiharja yang berjudul Serat Tumusing Panalangsa dan Maryati lan Maryana. Jakalelana juga menuliskan karyanya dengan menggunakan bahasa jawa krama yaitu Becik Ketitik Ala Ketara dan Gambar Mbabar Wewados.  Penulis lain dari tahun tiga puluhan yaitu Sugeng Cakrasuwigya dengan karyanya yang berjudul Ayu Ingkang Siyal. Jayadiharja dan Harjasecayuda sama-sama menuliskan karya yang berjudul Ngedol Maratuwa. M. Harjadisastra dengan karyanya yang berjudul Tri Jaka Mulya yang didalamnya menggunakan bahasa Jawa ngoko dan Demam Pancal Panggung yang dituliskannya menggunakan bahasa Jawa krama dan dicetak dengan huruf jawa.
Empat tahun kemudian, muncul Margana Jayaatmaja dengan karyanya yang berjudul Ngulandara, dengan menggunakan bahasa jawa krama. Jayasukarsa dengan karyanya yang berjudul Sri Kumenyar juga dituliskannya menggunakan bahasa Jawa Krama.  Sri (M. Kusrin) dengan karyanya yang berjudul Larasati  Modern di dalam nya menggunakan bahsa Jawa ngoko. R. Srikuncara dengan karyanya yang berjudul Pameleh juga menggunakan bahasa Jawa ngoko. Di luar balai pustaka, M.T Suphardi menerbitkan Sala Peteng dan Rahayu Abeya Pati yang kedua-keduanya ditulis menggunakan bahsa jawa ngoko.



REFERENSI              :
Ras, J.J 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir, Jakarta: Grafitipers

Komentar

  1. iki kok kaya mindah buku tok amerga referensinya baru satu buku. tambah referensi dari yang lain! (widodo)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan

Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan