Perkembangan Sastra Jawa Modern di Masyarakat



            Sastra Jawa merupakan suatu obyek studi yang rumit namun menarik, baik ditinjau dari isinya maupun konsep-konsepnya. Di dalam masyarakat Jawa sendiri saat itu sedang mengalami perubahan-perubahan penting. Dahulu sastra Jawa hanya berada pada kalangan elit saja, karena dituliskan menggunakan bahasa Belanda. Berhubung bahasa Belanda merupakan bahasa asing, maka perkembangannya kurang karena tidak mampu mengekspresikan sastra yang kreatif. Setelah kemerdekaan bahasa Belanda mulai tersingkir dengan bahasa Indonesia, walaupun bahasa Indonesia sendiri dipelajari sebagai bahasa kedua setelah bahasa Belanda. Namun banyak pula penulis puisi dan prosa Jawa menuliskan dengan bahasa Indonesia.
          Seiring berjalannya waktu banyak ide-ide kreatif dari masyarakat modern yang mulai bermunculan. Awalnya perkembangan sastra jawa modern memang sangat lambat, dikarenakan terlalu banyak genre-genre baru dari luar negri. Dimana pada saat itu masyarakat jawa belum mampu menerima genre yang masih asing dikehidupannya.
          Sastra Jawa modern mulai muncul ketika Padmosusastro membuat Serat Rangsang Tuban (1912) yang berbentuk novel, dalam karyanya ini sudah tidak menggunakan bahasa puitis. Setelah itu, seolah-olah mulai terbuka lebar untuk para penulis menciptakan hasil karya sastra modern. Penulisan karya berbentuk novel seperti itu lebih mudah diterima masyarakat karena menghasilkan karya cerita fiksi yang runtut. Di negeri Belanda perkembangan novel harus melalui perjalanan yang sangat panjang dikarenakan banyaknya persyaratan yang tidak semua orang bisa memenuhinya. Namun ketika novel mulai masuke ke dalam masyarakat Jawa, syarat-syarat sulit itu tidak terpenuhi. Genre ini mulai muncul ketika badan penerbit milik pemerintah, yaitu Balai Pustaka, telah memulai memberikan tempat untuk para penulis cerita yang dapat digunakan sebagai “bahan bacaan yang bermanfaat untuk rakyat” , serta mengantarkan buku-buku untuk dipublikasikan dengan meletakkan buku-buku itu di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Didalam masyarakat Jawa sebagian perngarangnya adalah guru dan para pembacanya adalah murid-murid sekolah. Pada tahun 1911 peranan Balai Pustaka memang sangat penting sebagai penerbit yang menyediakan kebutuhan sekolah-sekolah. Balai Pustaka menerbitkan karya-karya asli dalam bahasa Jawa, karena ingin memberikan hal-hal penting tentang perkembangan penulis cerita pada saat itu.
          Namun dalam perkembangan karya sastra Jawa modern memang tidk pernah lepas dari seorang tokoh penting yang membuat semua itu menjadi populer, seperti Ki Padmosusatro dan DF Van Der Path. Penulis sejarah sastra Jawa modern merupakan masalah yang muncul begitu saja. Diantara beberapa pernerbitan-penerbitan yang pertama adalah Balai Pustaka, ada beberapa buku dengan beberapa unsur seperti fiksi yang dipadu dengan kecenderungan didaktik atau beberapa ajaran moral yang sudah mulai jelas.
          Ada beberapa pengarang dan bukunya yang jelas hanya mementingkan ajaran moral yang sangat tinggi, tetapi belum banyak mempunyai arti sastra adalah karya Prawirasudirja, Serat Panutan (BP 136, 1913, 96 hlm.) dan Isin Ngaku Bapa (BP 306, 1918, 84 hlm.) dan ada dua karya lagi yang ceritanya tidak begitu panjang adalah karya yang ditulis bersama oleh Wiraatmaja dan Suwadi, namun dirangkum disebuah buku kecil dengan judul Rara Rarasati tuwin Bok Randa Setyadarma (BP 185, 1916, 54 hlm.) dan satu lagi karya buku yang lebih kecil lagi karya Wiryadiarja, Waris kaliyan Lalis (BP 128, 1913, 39 hlm.). Buku yang berukuran mini atau buku yang tebalnya tidak sampai 150 halaman semacam itu merupakan bukan tidak lazim untuk disebut sebagai karya sastra Jawa, tetapi banyak juga suluk suci atau beberapa suluk yang memilik tujuan memperdalam akhlak, dan beberapa puisi-puisi Islam masa lalu juga memiliki ukuran yang mini. Bahkan beberapa novel Jawa zaman sekarang pun umumnya masih berbentuk mini, sebenarnya lebih tepat disebut novelet daripada novel. Namun ada juga sebuah buku kecil yang menunjukan kekurangan orientasi pada Balai Pustaka pada awal-awal periode ini dalah buku karya Sindupranata, Lelakone Amir (BP 270, 1918, 43 hlm., L) dan beberapa karya yang lain yang beberapa kali kita jumpai dalam novel-novel Jawa setelah tahun 1920.
          Adanya buku-buku kecil yang dikhususkan untuk para anak sekolah dan masyarakat desa yang begitu sederhana yang didalamnya mengandung unsur mendidik, dan budi pekerti dari mulai tahun 1940 dari negeri Barat. Namun para ahli sastra tidak dapat menerimanya sebagai karya sastra Jawa, karena para ahli menganggap bahwa buku itu hanya sebatas buku bacaan saja, para ahli sastra yang dianggap  sebagai karya sastra Jawa adalah hasil-hasil karya sastra tertulis yang masih tradisional seperti tembang dan macapat saja. Semakin terlihat bahwa perkembangan suatu karya yang bergenre sastra Barat itu sangat lamban. Sejak Balai Pustaka memasukan genre sastra Barat mulai bermunculan kisah-kisah perjalanan atau beberapa lukisan tentang peristiwa penting yang pernah terjadi sering kali ditulis dengan gaya penulisan yang bersifat jurnalistik. Dalam beberapa karya sastra yang bergenre sastra Barat didalamnya selalu memuat unsur informasi. Dari penulisan karya seperti inilah akan muncul ide-ide genre yang baru yang populer sampai saat ini.
          Dalam tradisi lisan dan tertulis sering kali hanya bersifat anekdot yang selalu dihubung-hubungkan dengan barang-barang peninggalan sejarah, tokoh-tokoh sejarang, dan beberapa monumen-monumen atau makam yang dianggap bersejerah atau mungkin keramat, atau sering juga di tulis dalam bentuk babad. Namun pasca perang, jenis-jenis karya seperti diatas diteruskan dalam beberapa bentuk kisah sejarang yang semu populer, yang sering juga dimuat dengan penulisan bersambung di dalam beberapa majalah-majalah berbahasa Jawa. Namun semua itu masih terlalu sederhana untuk disebut sebagai “novel sejarah” karena memang belum berbentuk esei dan beberapa diantaranya memang mempunyai nilai sastra khusus.
          Periode baru dimulai dengan diterbitkannya novel karya R. Sulardi yang berjudul Serat Riyanta (BP 432, 1920, 139 hlm.), ini merupakan buku pertama yang isinya tidak merusak ajaran moral dan didalmnya mengandung plot yang runtut dan tema yang sangat jelas. Penjelasan tema tentang perjodohan yang dilakukan orang tua kepada anaknya yang harus diterima untuk menjadi pasangan hidupnya kelak. Namun lepas dari cerita itu, Serat Riyanta pada awal abad kedua menarik lukisan bangsawan Surakarta.
          Beberapa hal yang menarik dari buku kecil pada akhir abad adalah percakapan yang segar dan tidak dibuat-buat, sangat jarang kita temui dari buku-buku sebelumnya. Asmawinangun adalah penulis terbaik pada periode 1925-1930, dalam melukiskan suasana, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dan dialog-dialog yang hidup ia memang sangat pandai. Kepandaiannya dalam hal tersebut membuat para pembaca tercekam oleh ceritanya. Salah satu karyanya yang populer saat itu adalah Jejodoan Ingkang Siyal (BP 755, 1926, 115 hlm., L). Setelah buku itu populer mulailah semua penulis menghasilkan karya yang enak dibaca oleh kalangan apa saja dan menceritakan kejadian di sekeliling pada zaman itu.
          Penggunaan huruf Latin yang awalnya hanya pada buku bacaan yang dikhususkan untuk anak-anak telah menjadi umum pada tahun 1925, menggunakan memilihan bahasa Jawa ngoko. Pada tahun 1930 beberapa buku yang menggunakan bahasa Jawa ngoko mulai diikuti para penulis dan mulai berkembang, lalu pada tahun 1960 penggunaan bahasa krama di dalam cerita prosa merupakan perkecualian yang begitu langka. Namun penyusunan urutan plot yang baik dan benar merupakan kesulitan beberapa penulis. Akibatnya, buku yang tetap hanya “cerita” saja tentang suatu kejadian saat itu. Jadi cerita semacam itu cepat selesai dan akibatnya buku-buku seperti itu menjadi buku mini.
          Ada beberapa buku pada periode ini masih tercetak dengan huruf Jawa: Dwikarsa (BP 896, 1930, 105 hlm) karangan R.Sastraatmaja, yang menceritakan tentang wanita yang sangat malang karena dimadu oleh sang suami yang sangat dicintainya. Ada juga karya dari Siswamiharja, Serat Tumusing Panalangsa (BP 885, 1930, 69 hlm.). Dan ada juga karya yang dituliskan menggunakan bahasa jawa krama seperti contohnya karya dari Jakalelana yang berjudul Becik Ketitik Ala Ketara (BP 906, 1930, 55 hlm., L). Empat tahun kemudian muncullah penulis Margana Jayaatmaja dengan karyanya Ngulandara (BP 1223, 1936, 112 hlm., L) beliau menuliskan menggunakan bahasa krama.
          Jelas sekali faktor utama dalam perkembangan cerita prosa modern adalah fasilitas penerbitan dan distribusi yang diberikan oleh Balai Pustaka. Penerbit-penerbit swasta, seperti Tan Koen Swie di Kediri, Mardi Mulya di Yogyakarta, Siti Syamsiah, Ruche, Sadur Budi, Kalimasada, dan Mars di Surakarta, Van Dorp di Semarang dan G. Kolff & Co di Surabaya, tidak aktif dibidang ini, namun setelah 1933 Penyebar Semangat di Surabaya mulai menjalakan perannya. Oleh karena itu, para seksi di Balai Pustaka mulai menyunting dan menilai mana naskah-naskah Jawa yang dapat diterima dan diterbitkan. Selama bertahun-tahun menetapkan patokan khusus yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, baik dari sudut ceritanya maupun gaya bahasanya.
          Pada tahun 1926-1942 Balai Pustaka menerbitkan majalah Kejawen yang awalnya seminggu sekali, namun pada tahun 1938 dan seterusnya menjadi dua kali seminggu. Beberapa cerita pendek dan puisi awal sekali dalam sejarah sastra Jawa modern diterbitkan didalam majalah ini juga. Saat itu kolom yang sangat populer adalah dialog-dialog lucu antara Petruk dan Gareng, yang selalu membahas masalah-masalah atau berita yang hangat disekitar masyarakat pada saat itu. Kolom ini ditulis langsung oleh kepala redaksi Sumantri Harjadibrata. Beberapa percapakan yang populer ini di kumpulkan dalam buku yang berjudul Obrolanipun Petruk (BP 1422, 1941, 80 hlm., L).
          Disampin pekerjaan kantornya yang sangat sibuk beliau juga menulis novel kecil. Di dalam karya-karyanya beliau menggunakan nama samaran yaitu Sri. Novel kecilnya yang berjudul Larasati Modern (1938), dan ada juga buku untuk anak-anak dengan judul Piet Pon Bles (BP 1327, 1939, 48 hlm., L). Ada juga penulis yang bernama Harjawiraga cucu dari Ki Padmasusastra. Harjawiraga merupakan penulis yang sangat subur, beliau juga memiliki nama samaran yaitu Yitnasastra dengan nama samarannya itu beliau menghasilkan karya yang berjudul Kesah Layaran dateng Pulo Papuwah. Baik harjawiraga maupun Sastrasuwignya menerjemahkan beberapa buku-buku tebal yang menggunakan bahasa asing ke dalam bahasa Jawa.
Pada tahun 1933 di Surabaya menerbitkan majalah mingguan Panyebar Semangat. Panyebar Semangat menjadi majalah independen berbahasa Jawa yang paling berpengaruh dalam tahun-tahun sebelum Perang Dunia II.
          Sekitar tahun 1936 jenis cerita pendek muncul dalam Kejawen dan Panyebar Semangat. Dalam majalah Kejawen dimuat secara anonim, seperti halnya kebanyakan tulisan-tulisan lainnya yang ada dalam majalah ini yang ditulis sendiri oleh staf Balai Pustaka yaitu Sumantri Harjadibrata. Namun dalam Panyebar Semangat sering sekali menggunakan tema-tema dengan menjurus ke nasionalisme, dalam penulisan ini kebanyakan pengarang lebih suka menggunakan nama samaran. Kualitas sastra pada masa ini tidak terlalu tinggi, dan masih panjang melalui jalan dan beberapa rintangannya. Dalam Panyebar Semangat genre ini dimulai oleh Sambo dengan cerita Netepi Kwajiban (PS no. 45, 9 Nov. 1935) dan beberapa tokoh yang menggunakan nama samaran. Mungkin mereka juga termasuk anggota “Studieclub” Dr. Sutomo yang sangat terkenal pada zaman itu. Namun selama kependudukan Jepang di Indonesia, penerbitan Kejawen dan Panyebar Semangat dihentikan. Satu-satunya majalah yang masih ada saat itu hanyalah Panji Pustaka yang juga diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sejak tahun 1943 majalah ini diterbitkan menggunakan lampiran berbahasa Jawa dan Sunda, yang dituliskan oleh dua penulis pada zaman itu Purwadhie Atmadiharja dan Subagiya Ilham Natadijaya (Soebagijo I.N). Dua penulis itulah yang sangat mempelopori generasi penulis cerita pendel setelah masa Perang. Pada tahun 1929 mulai muncul puisi dalam bahasa Jawa, dan ada juga tiga buah puisi yang terbit bergaya nontradisional yang anonim Kejawen. Selama kurun waktu 1930-1940, hanya ada tujuh puisi yang tercipta, baik tanpa nama maupun menggunakan nama samaran. Biasanya menulis dalam bahasa Indonesia dan memiliki ikatan kuat dengan penyair yang tergabung dalam grup Pujangga Baru, yang memperkenalkan bentuk soneta yang tidak begitu lama menjelang zaman kependudukan Jepang. Ada beberapa penyair yang juga menuliskan karyanya pada tahun 1941-1945 yaitu Nirmala, S.R. Sumartha dan Subagiya I.N. Dalam puisi-puisi periode ini merupakan puisi permulaan yang masih menggunakan bahasa Kawi; bergaya bombastis dan memiliki pola-pola bentuk yang digunakan saat itu yaitu bentuk stanza dan sajak, yang mana bentuk tersebut masih kaku dan keras.

          Naskah satu lakon pentas, yaitu Cariyos Menmen Lampahipun Cobaning Sesemahan (Budi Karya, Kediri, 1924, 82 hlm.), yang ditulis oleh Sastradiharja dan Kartawibawa. Sandiwara adalah sebuah komedi dalam tujuh babak yang menceritakan tentang seorang istri dari mantri polisi yang menjadi cemburu ketika mendengar bahwa suaminya sering berkunjung ke rumah carik. Naskah ini teater nontradisional yang mewakili masa awal ini. Naskah ini mungkin dibuat untuk dipentaskan oleh kelompok amatir.    
           


           
Daftar Pustaka
RASS,JJ. 1985.Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir.Jakarta:PT Grafitipers
           

            

Komentar

  1. Menurut saya isi bacaanya sudah sesuai dan runtut. Bahasa yang dipakai juga mudah dicerna atau dipahami oleh pembaca. Tetapi masih banyak penulisan kata-kata yang masih salah. ( Ari Fitrianingrum)

    BalasHapus
  2. Terdapat penulisan yang salah "tokoh-tokoh sejarang,"
    Yang benar tokoh-tokoh sejarah
    Pada kalimat disampin yang benar Disamping
    (Elma Ayu Suryani)

    BalasHapus
  3. Terdapat penulisan yang salah "tokoh-tokoh sejarang,"
    Yang benar tokoh-tokoh sejarah
    Pada kalimat disampin yang benar Disamping
    (Elma Ayu Suryani)

    BalasHapus
  4. Masih ada kalimat yang salah dan kurang efektif. (siti isnaeni)

    BalasHapus
  5. Masih ada beberapa kata yang kurang tepat dalam penulisannya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan

Sastra Jawa Modern Pra Kemerdekaan