PERKEMBANGAN SASTRA JAWA SEPANJANG ZAMAN
PERKEMBANGAN
SASTRA JAWA SEPANJANG ZAMAN
Oleh : Cornelia Tri S (2611416010)
Sastra
merupakan bagian terpenting dari sebuah kebudayaan dalam suatu daerah atau
negara tertentu. Maka dari itu banyak para ahli mengatakan bahwa didalam sastra
kita dapat menilai suatu nilai ataupun perilaku yang berkembang dari suatu
asyarakat daerah itu. Walaupun sastra memiliki suatu peranan penting dalam
mengenal suatu bangsa, masyarakat sekarang ini khususnya jawa (kerena,
pembahasan berhubungan dengan satra jawa) sering mengabaikan atau malah
meninggalkan satranya sendiri. Jawa sendiri memiliki karya-karya satra yang
banyak disebut orang-orang sebagai karya yang adiluhung dan besar, namun sayangnya seperti yang sudah disampaikan
bahwa masyarakat jawa justru sudah melupakan atau bahkan tidak tahu lagi
tentang keberadaan karya tersebut. Karena, banyak orang yang beranggapan bahwa
sastra jawa itu kuno dan hanya digemari oleh para kalangan tua-tua.
Masyrakat
Jawa modern ini semakin melupakan sastranya sendiri. sampai-sampai banyak orang
berpendapat bahwa masyarakat jawa sudah tidak lagi memiliki sastra lagi. Hal
ini disebabkan karena karya – karya lisan yang masih ada memiliki bahasa yang
sangat sulit dipahami oleh masyrakat itu sendiri. Contohnya karaya sastra yang
masih berlaku dalam kalangan masyarakat hanya tersisi dalam bentuk tembang,
naskah wayang kulit, dan berbagai bentuk teater yang bersifat kejawaan.
Sastra
juga merupakan sarana bagi seseorang untuk mengajari dan belajar tentang suatu
sikap ataupun warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Contohnya :
Serat Wedhatama karangan KGPAA Mangkunegara IV
(Wikipedia) yang berisi suatu ajaran untuk para anak-anaknya agar
menjalani hidup selaras dengan jaran agama islam dengan baik. Masih banyak lagi
contoh dimana sastra bukan hanya melulu berbentuk puisi, prosa, cerita, dan
segala tulisan yang indah.
Jika
dilihat dari sejarahnya sastra berkembang dari adanya pertunjukan ketoprak
lesung yang ditujukan untuk para penderita pes didaerah Yogyakarat oleh Paku
Buwana X. Dari situ banyak orang yang mulai mengemari kesenian ketoprak
tersebut dan akhirnya menyebar keseluruh Jawa. Adapula di daerah Jawa Timur disebut
Ludruk yang hampir sama dengan
ketoprak yang memiliki cerita yang dilihat dari sudut pandang orang cilik dan mengandung humar dalam pertunjukannya.
![]() |
Kethoprak |
a
Sastra
Jawa Tradisional
b
Sastra
Jawa Modern
Kedua jaman tersebut memang
menjadi tonggak dimana karya-karya sastra dalam bahasa jawa menjadi kebutuhan
masyrakat jawa pada zaman tersebut. Akan muncul pertanyaan, mengapa harus
dibagi menjadi dua zaman? dan bagaimana pada zaman sebelum tradisional ? Pembagian
tersebut dilator belakangi oleh beberapa faktor:
a
Pertambahan
jumlah penduduk jawa yang sangat pesat
b
Jumlah
orang yang bisa membaca sudah mulai banyak
c
Pertumbuhan
sikap nasionalis yang besar (karena pada zaman modern Indonesia masih dalam
masa penjajahan).
d
Habisnya
pujangga (Ranggawarsito yang terakhir).
Melihat faktor diatas kita
tahu bahwa masyrakat pada zaman tersebut (18 – 19’an) merindukan adanya hiburan
melalui karya-karya sastra.
Sebenarnya puncak kejayaan
sastra jawa terjadi pada saat keratin Yogyakarta maupun Solo masih memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat jawa pada masa itu.
Karena, karya-karya seperti babad, suluk, maupun serat merupakan bacaan wajib
untuk anak-anak priyayi maupun anak-anak keturunan keratin yang didalanmnya
mengandung banyak petuah-petuah yang penting bagi kehidupan. Hal itulah yang
menyebabkan sastra mendapat tempat yang tinggi di masyarakat.
Mengingat karya sastra
tradisonal yang memiliki nilai yang sangat adiluhung,
penulisan yang indah , dan terdapat fisafat didalamnya. J.J Ras mengatakan
bahwa sastra tradisional termasuk kedalam sastra klasik. Itulah yang
menyebabkan setelah meninggalnya pujangga terakhir keraton Ranggawarsita tidak
ada lagi orang yang menggantikannya, karena dalam membuat sastra tradisonal ada
banyak patokan-patokan yang harus diperhatikan.
a
Adanya
sistem gatra khususnya pada karya lisan berbentuk tembang.
1
Guru
Gatra : Jumlah baris pada suatu tembang
2
Guru
Wilangan : Jumlah suku kata pada satu baris dalam tembang. (4-12 suku kata)
3
Guru
Lagu : jatuhny vocal terakhir dalam satu baris pada tembang.
b
Pemahaman
arti atau perasaan pada tembang tertentu. Contoh : Pada tembang Maskumambang,
tembang tersebut mempunyai ekspresi sedih dalam liriknya maupun yang
menyanyikannya.
c
Penulisannya
menggunakan bahasa keratonnan yang
dimana belum semua orang bisa.
Hal-hal
di atas menyebabkan karya sastra tradisional hanya dapat bertahan sampai zaman
Ranggawarsita saja, setelahnya mengalami masa vakum. Pada masa vakum salah satu penyebab lahirnya
zaman sastra jawa modern sebagai modernisasi
sastra jawa yang dianggap terlalu banyak aturan, walaupun pada perjalannya
masih banyak yang membandingkan atau masih memakai karya sastra klasik sebagai
patokan dalam pembuatanya. Karena, masih dianggap bahwa karya sastra klasik
sebagai peninggalan yang mencerminakan ke khasan jawa.
Sastra Jawa
Modern
Berakhirnya
era pujangga keraton, mulai masuknya budaya barat seiring datangnya Belanda di
Tanah Jawa, dan mulainya pemakaian Bahasa Indonesia. Menyebabkan karya sastra
dalam Bahasa Jawa berkurang bahkan menghilang. Menyebabkan para pengarang dari
luar keraton mulai bangkit lagi untuk mneghidupkan Sastra Jawa kembali, tetapi
dalam bentuk yang lebih modern. Kebanyakan pengarang yang memulai sastra modern
ini datang dengan latar belakang pendidikan sehingga kebanyakan karya yang
dihasilkan sudah dipengaruhi oleh genre karya sastra barat, berupa novel, esai,
sajak bebas, dan cerpen (cerkak) yang memang dimaksudkan untuk khalayak umum
agar mudah dipahami.
Sayangnya
hal tersebut belum dapat diterima oleh masyarakat jawa sendiri, yang belum
terbiasa dengan hal tersebut. Perkembangan Sastra Jawa pada era ini memang
lambat karena masih terpakunya para pengarang pada pedoman yang berlaku dalam
pembuatan karya-karya yang dahulu. Belum lagi penggunaan Bahasa Jawa yang sudah
mulai digeser oleh Bahasa Indonesia dan banayak pengarang atau punjangga puisi
kelahiran Jawa sendiri lebih senang memopulerkan karyanya dalam Bahasa
Indonesia, karena Bahasa Jawa sudah kuno dan bersifat kedaerahan. Walaupun
lambat dan terseok-seok dalam perkembangannya, Sastra Jawa tetap dan terus
berlanjut, karena kerinduan orang-orang dalam menikmati teks-teksa Bahasa Jawa
yang dahulu menjadi kebutuhan yang penting.Akhirnya terbitlah naskah-naskah
karangan C.F Winter (Bungai Rampai 1985) yang ditujukan untuk bahan ajar dan
bacaan yang mudah di mengerti oleh kahyalak umum, bukan hanya kalangan keraton
tapi juga rakyat kecil di luar keraton.
Setelah
terbitnya karya berbentuk prosa-prosa tersebut. Semakin banyak
pengarang-pengarang yang menerbitkan prosa lain. Cariyos Nagari Walandi karangan Rd. Abdullah , Randa Guna Wecana karangan Surya Wijaya (Bungai Rampai 1985), dan
masih banyak lagi yang berupa prosa. Tidak hanya pengarang dalam negri yang
ikut campur dalam kebangkitan sastra modern ini, tapi pengarang ataupun
pengedit seperti C.F Winter, D.F. Van Der Pant, dan pengarang dari Negeri
Belanda ikut dalam pembuatan karya maupun memprakasi pembuatan suatu karangan
ataupun memperbaiki karya-kara yang patut dipublikasikan sebagai bahan ajar.
Karena, pada zaman tersebut kebanyakan prosa yang diterbitkan di gunakan untuk
bahan ajar. Perlu diingat dalam
pembuatannya karya sastra modern tidak lagi menggunakan bahasa keraton yang
sulit tapi sudah menggunakan bahasa sehari-sari masyarakat (adapula yang
mengunakan bahasa ngoko pada pembuatannya).
Perlu
diingat juga tidak hanya pengarang yang berpengeruh atau berjasa dalam
kebangkitan lahirnya Sastra Jawa. Tidak dipungkiri dalam membuat sebuat buku
ataupun karangan seorang pengarang membutuhkan naungan dalam badan penerbitan.
Penerbit bentukan pemerintah yang pertama
memfasilitasi perkembangan
karya-karya sastra dalam Bahasa Jawa, yaitu Balai Pustaka. Memang ditujukan untuk memulai kebangkitan bahasa daerah dalam
berkarya. Berkat Balai Pustakalah masyrakat luas dapat mengenal Karya-karya
Jawa modern yang mulai dikembangkan oleh pujangga-pujangga luar keraton.
Peranan inilah yang menyebabkan juga bergejolaknya kehadiran beberapa
tokoh-tokoh yang mulai merindukan Bahasa Jawa sebagai bacaan sehari-hari.
Fasilitas inilah yang menyebabkan perkembangaan sastra modern ini sudah tidak
melambat namun berkembang pesat dalm prosesnya. Tidak hanya Balai Pustaka namun
ada beberapa penerbitan swasta yang memfasilitasi seperti:
a
Tan
Koen Swie : Kediri
b
Mardi
Mulya : Yogyakarta
c
Siti
Syamsiah, Rusche, Sadir Budi, Kalimasada, dan Mars: Surakarta
d
Van
Dorp : Semarang
e
G.
Klolff & Co : Surabaya
Pada
sastra modern ini terdapat satu tokoh besar yang banyak disebut sebagai penerus
dari Ranggawarsita, yaitu Ki Padmasusastra. Seperti kebanyakan pengarang
lainnya Ki Padmasusastra memiliki latar belakang pendidikan dari Negara
Belanda. Kembali lagi ke Jawa sebagai sekertaris D.F. Van der Pant. Ki
Padmasusastra memulai karirnya dengan membuat sebuah buku dengan judul Layang Parama Basa (Bunga Rampai 1985)
yang berisi. Adapun buku-buku yang lain seperti:
a
Serat Warnabasa : Tentang kosakata sopan santun yang dipakai masyrakat
Jawa pada zaman itu
b
Serat Patibasa : Tentang kata sinonim.
c
Serat Bauwarna : Sebuah buku ensiklopedi
d
Serat Urapsari
e
Layang Basa Lasa
f
Serat Tatacara : Tentang adat istiadat dan tingkah laku Masyarakat
Jawa pada zaman tersebut.
Masih
banyak lagi karaya yang terbit setelah Ki Padmasusastra.Namun, seiringnya
banyak buku dan naskah yang diterbutkan tidak semuanya merupakan karya sastra
yang baik. Ada pula buku yang hanya mementingkan nilai moral daripada penulisan
yang indah. Sebagai contoh Serat Panutan
karya Prawirasudirja (BR: 1985) dan Isin
Ngaku Bapa karya Kuswardiarja (BR: 1985), dan masih banyak lagi. Yang masih
menganut karya sastra pada zaman klasik yang mana kebanyakan karya sastranya
memiliki nasihat ataupun pedoman dalam karyanya.
Sampai
akhirnya Sulardi menerbitkan sebuah novel yang benar-benar bisa disebut novel
oleh para ahli yang berjudul
Serat
Riyanta.
Berkisah tentang seorang remaja bernama Riyanto yang menolak dinikahkan
dan memilih berkelana meninggalakan rumah. Sampai akhirnya dalam sebuah
kejadian kebakaran sebuah gedung pertunjukan bertemu dengan Raden Ajeng Srini,
yang ternyata adalah gadis yang hendak dijodohkan dengan Riyanto.
Alasan
kenapa Serat Riyanto menajdi tonggak kedua setelah karya-karya Ki Padmasusastra
adalah sudah tidak lagi menitik beratkan pada ajaran moral pada suatu karya
sastra Bahasa Jawa dan mempunyai plot yang bagus dan bisa disebut sebagai
novel.
Jarot karangan
Yasawidagda (BR: 1985).
Berkisah tentang anak seorang masinis yang pergi merantau setelah ibunya
meninggal dari Surakarta ke Jakarta. Karena tidak punya uang sepeserpun ia
berjualan candu.
Serat Ngulandara (penulis lupa pengarangnya)
Menceritakan keluarga Raden Bei Asisten Wedana yang akan pergi kesuatu tempat, tetapi
mengalami mogok dijalan dan ditolong oleh pemuda. Kelurga tersebut ingin
berterima kasih kepada pemuda tersebut
namun pemuda tersebt menolak.
Diketahui bahwa pemuda tersebut bernama Rapingun yang sebenarnya anak
seorang terpandang namun ingin pergi merantau dan menjadi supir yang Oei Wat Hien dan emudian menjadi supir Raden Bei Asisten Wedana
Candu merupakan gejala
sosial yang sedang terjadi pada zaman itu dan merupakan masalah yang sedang
dihadapi. Masih banyak lagi karya-karya yang merupakan hasil Sastra Jawa Modern
Periode II (dapat dibaca dalam buku J.J Ras Bunga
Rampai Sastra Jawa Mutakhir).
Dengan terbitnya novel-novel
bernuansa roman (pengaruh barat), Masyrakat Jawa sudah mulai menerima karya
sasra dalam Bahsa Jawa dengan bentuk yang baru. Adapun seorang pengarang lagi
yang memiliki jasa dalam perkembangan Sastra Jawa modern ini. Asmawinangun
dengan karya-karyanya Jejodoaan ingkang Siyal, Saking Papa dumugi
Mulya, Mungsuh Mungging Cangklakan, Perpisahan Pitulikur Taun, dsb. Dimana
dalam karya tersebut mengandung ajaran moral, tetapi tidak terlalu kentara.
Perkembangan ini terus
berjalan dengan kekreatifitasan para pengarang dalam membuat sebuah prosa,
walaupun masih menggunakan tema-tema yang sudah ada. Kawin paksa, perselisihan
generasi tua dan muda, kisah perantauan, persoalan candu, kebaikan dan
keburukan, kejahatan dan penyelesainnya, retaknya hubungan rumah tangga, kisah
seorang yatim piatu dalam menjalani hidup, penderitaan hidup, dan masih banyak
lagi. Berkat banyaknya pengarang-pengarang yang mulai menerbitkan buku, cerkak, ataupun novel maka dalam
penerbitannya Balai Pustaka mulai melakukan penyeklesian dalam menerbitkan
sastra Berbahasa Jawa.
Tidak hanya novel saja
yang diterbitkan, mulai
banyak penerbit yang memulai menerbitkan majalah Berbahasa Jawa. Balai Pustaka dengan majalah Kejawen pada tahun 1926-1942 dan
Surabaya dengan majalah Panjebar Semangat
pada tahun 1933 (yang bertahan hingga sekarang dan sudah merambah pada dunia cyber). Majalah-majalah ini menjadi sarana
bagi para pengarang yang ingin menunjukan karya mereka dalam hal cerkak,
ataupun puisi-puisi yang bebas dan untuk kalangan masyrakat yang menikmati
bacaan Bahasa Jawa dalam hal yang beda seiring berkmbangnya zaman.
Majalah-majalah pun mulai menerbitkan berbagai novel-novel maupun karya-karya
pada zaman sastra klasik.
Majalah Kejawen sebagai
toggak awal terbitnya majalah Bahasa Jawa dengan kepala redaksi majalah
tersebut Sumantri Hardjadibrata. Menerbitkan cerita pendek, beberapa puisi pada
zaman sastra modern awal, dan yang paling disenangi oleh masyrakat adalah kolom
jenaka yang berisi dialog antara Petruk dan Gareng dalam membahas masalah
sosial yang sedang hangat dimasyrakat. Pada awal penerbitannya majalah ini
hanya terbit seminggu sekali, karena semakin meningkatnya peminat dalam membaca
majalah Bahasa Jawa majalah ini tebir menjadi dua kali eminggu.
Majalah Penyebar Semangat
manjadi majalah Bahasa Jawa yang sangat aktif dalam membantu bangkitnya gairah bersastra Jawa pada waktu masa
penjajahan dan menjadi dinikmati oleh banyak kalangan dengan bahasa dan gaya
yang udah dimengerti. Walaupun mutu sastra dalam cerita-cerita pendek tidak
begitu tinggi namun hal ini tetap menandai bahwa karya sastra dalam bentuk
Bahasa Jawa masih eksis dan masih dinikmati oleh masyarkat luas dalam maupun
luar negri.
Terdapat perbedaan dalam majalah
Kejawen maupun Panyebar Semangat. Kejawen lebih banyak memuat karya-karya para
pembaca maupun staff dalam Balai Pustaka sendiri dengan tema yang bebas, namun
dalam Panyebar Masyrakat lebih banya tulisan bertemakan nasionalis (pada masa
pembentukan awal) karena pendiri Payebar Semangat tidak lain adalah Dr. Sutomo,
yang menggunakan majalah ini untuk menyebarkan semangat kemerdekaan pada
masyarakat yang saat itu masih dijajah oleh Belanda.
Purwadhie Atmadiharja dan
Subagiya tampil sebagai penuli cerita-cerita pendek yang sangat piyawai dan
sebgai pelopor penulis cerita pendek sesudah masa peperangan. Tidak hanya
cerita-cerita pendek yang berkembang, namun puisi-puisi sudah melepaskan
kekangannya dari pedoman satra klasik (tidak sepenuhnya lepas). Banyak masyarakat
yang dapat membuat puisi-pusis yang indah dan teater-teater kejawaan yang juga
sudah berkembang dan sudah bisa memproduksi sendiri naskah-naskah yang bermutu,
walaupun tidak sampai dicetak.
mencantumkan sumber referensi dan masih ada yang typo (retno)
BalasHapusuntuk typo bisa ditunjukan di paragraf dan kalimat mana
BalasHapusTerima kasih sudah memberikan komentar yang sangat berguna bagi penulis agar dapat menulis lebih baik lagi. \(^o\) (/o^)/
BalasHapusMasih ada sedikit kekurang tepatan dalam penulisan kata, seperti kata "penulis" yang hanya dituliskan "penuli".
BalasHapus